Minggu, 05 Februari 2017

KEMISKINAN DI DUMAI BUKAN KESALAHAN MASYARAKAT ???


Kemiskinan dalam perspektif ekonomi, didefiniskan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan. Sumber daya dalam konteks ini tidak hanya aspek finansial, melainkan semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan dalam arti luas. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang muncul bukan karena ketidakmampuan si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Struktur sosial tersebut tidak mampu menguhubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat yang ada disekitarnya. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini adalah buruh tani, pemulung, penggali pasir dan mereka yang tidak terpelajar dan tidak terlatih. Pihak yang berperan besar dari terciptanya kemiskinan struktural ini adalah pemerintah, karena pemerintah yang memiliki kekuasaan dan kebijakan cenderung membiarkan masyarakat dalam kondisi miskin, tidak mengeluarkan kebijakan yang pro masyarakat miskin, jikapun ada lebih berorientasi pada proyek, bukan pada pembangunan kesejahteraan. Sehingga tidak ada masyarakat miskin yang ‘NAIK KELAS’.
Ketika peran pemerintah daerah yang dituntut maka pihak Pemerintah daerah akan mengklarifikasinya yakni keterbatasan anggaran untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, sangat disayangkan pemerintah daerah menggunakan kata-kata KETERBATASAN ANGGARAN untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, akhirnya muncul persepsi negative masyarakat terhadap pemerintah pusat, dimana tidak seriusnya pemerintah pusat memberikan dukungan kepada pemerintah daerah.  Akhirnya persepsi ini dimanfaat kan oleh pemerintah daerah untuk menyengsarakan masyarakat didaerah.
Kebijakan desentralisasi sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 telah memberikan dampak positif maupun negatif terhadap aspek politik, ekonomi, maupun sosial. Terdapat beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah namun tidak sepenuhnya dilator belakangi oleh kajian terhadap kebutuhan masyarakat maupun unsur pemangku kepentingan (stakeholder) lain, yang pada akhirnya tidak memberikan dampak manfaat secara langsung. Salah satu fenomena yang terjadi saat ini adalah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang lebih dikenal dengan istilah Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) atau Corporate Social Responsibility (CSR).
Peraturan terkait tentang CSR salah satu nya diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dalam Pasal 15 (b) dinyatakan bahwa "Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan". Sanksi-sanksi terhadap badan usaha atau perseorangan yang melanggar peraturan, diatur dalam Pasal 34, yaitu berupa sanksi administratif dan sanksi lainnya, meliputi: 
 (a). Peringatan tertulis;   
 (b). pembatasan kegiatan usaha;  
 (c). pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau 
 (d). pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal
Dari perundang-undangan tersebut diatas terdapat kelebihan dan kekurangannya, menimbulkan optimisme juga kekhawatiran. Optimisme, karena berbagai pihak memandang besarnya potensi CSR dalam mendukung pemerintah meningkatkan kesejahteraan Masyarakat. Kekhawatiran muncul, karena bagaimanapun perusahaan ”tersandera” oleh aneka aturan CSR baik pada level pemerintah pusat, provinsi, hingga daerah. Padahal hampir di semua perusahaan, CSR dianggarkan dari ’keuntungan perusahaan’, belum semua perusahaan menganggarkannya secara khusus, karena bagaimanapun core perusahaan adalah bisnis. Perusahaan-pun berasumsi bahwa kewajibannya mensuskseskan program pemerintah dengan menunaikan aneka pajak.
Sebetulnya diikat oleh aturan apapun, CSR tidak akan maksimal jika perusahaan sendiri belum faham apa itu CSR, belum menempatkan staf secara khusus sebagai pengelola CSR, belum memiliki struktur CSR, belum memiliki code of conduct, belum memiliki sistem administrasi CSR.Karena yang saat ini terjadi multipihak berebut memanfaatkan dana CSR.
Secara sederhana definisi stakeholder adalah kelompok-kelompok yang mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh organisasi tersebut sebagai dampak dari aktifitas-aktifitasnya (Tanari, 2009). Stakeholder terdiri dari:
  1. Pelanggan: berhak mendapatkan produk berkualitas, dan harga yang layak.
  2. Masyarakat: berhak mendapatkan perlindungan dari kejahatan bisnis, dan mendapatkan hubungan yang baik dari keberadaan perusahaan
  3. Pekerja: berhak mendapatkan jaminan keamanan dalam bekerja, mendapatkan jaminan keselamatan, dan mendapatkan perlakukan yang adil dan non diskriminasi
  4. Pemegang Saham: berhak mendapatkan harga saham yang layak dan keuntungan saham.
  5. Lingkungan: berhak mendapatkan jaminan terhadap perlindungan alam, dan mendapatkan rehabilitasi
  6. Pemerintah: berhak mendapatkan laporan atas pemenuhan persyaratan hukum
  7. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM): berhak menjalankan fungsi kontrol baik terhadap regulasi maupun komitmen perusahaan.
Dalam konteks penerapan CSR, stakeholder wajib dirangkul dan dilibatkan baik dalam tahap perencanaan, implemantasi dan evaluasi. Jikapun stakeholder tidak d ilibatkan dalam proses perencanaan, setidaknya mendapatkan kontribusi berupa dampak positif dari program yang dilaksanakan. Andai terdapat satu stakeholder tidak mendapatkan manfaat atau kepuasan dari perusahaan, maka berpotensi menjadi masalah bagi keberlanjutan perusahaan dikemudian hari. (red.E)