Kemiskinan
dalam perspektif ekonomi, didefiniskan sebagai kekurangan sumber daya yang
dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan.
Sumber daya dalam konteks ini tidak hanya aspek finansial, melainkan semua
jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan dalam arti luas.
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang muncul bukan karena ketidakmampuan
si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan
struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si
miskin dapat bekerja. Struktur sosial tersebut tidak mampu menguhubungkan
masyarakat dengan sumber-sumber yang tersedia, baik yang disediakan oleh alam,
pemerintah maupun masyarakat yang ada disekitarnya. Mereka yang tergolong dalam
kelompok ini adalah buruh tani, pemulung, penggali pasir dan mereka yang tidak
terpelajar dan tidak terlatih. Pihak yang berperan besar dari terciptanya
kemiskinan struktural ini adalah pemerintah, karena pemerintah yang memiliki
kekuasaan dan kebijakan cenderung membiarkan masyarakat dalam kondisi miskin,
tidak mengeluarkan kebijakan yang pro masyarakat miskin, jikapun ada lebih
berorientasi pada proyek, bukan pada pembangunan kesejahteraan. Sehingga tidak
ada masyarakat miskin yang ‘NAIK KELAS’.
Ketika peran pemerintah daerah yang dituntut
maka pihak Pemerintah daerah akan mengklarifikasinya yakni keterbatasan
anggaran untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, sangat disayangkan
pemerintah daerah menggunakan kata-kata KETERBATASAN ANGGARAN untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat, akhirnya muncul persepsi negative masyarakat terhadap
pemerintah pusat, dimana tidak seriusnya pemerintah pusat memberikan dukungan
kepada pemerintah daerah. Akhirnya
persepsi ini dimanfaat kan oleh pemerintah daerah untuk menyengsarakan
masyarakat didaerah.
Kebijakan desentralisasi sejak diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 telah memberikan dampak positif maupun
negatif terhadap aspek politik, ekonomi, maupun sosial. Terdapat beberapa
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah namun tidak sepenuhnya
dilator belakangi oleh kajian terhadap kebutuhan masyarakat maupun unsur
pemangku kepentingan (stakeholder) lain, yang pada akhirnya tidak memberikan
dampak manfaat secara langsung. Salah satu fenomena yang terjadi saat ini
adalah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang lebih dikenal dengan istilah
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) atau Corporate Social
Responsibility (CSR).
Peraturan terkait tentang CSR salah satu nya diatur
dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal,
dalam Pasal 15 (b) dinyatakan bahwa "Setiap
penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan".
Sanksi-sanksi terhadap badan usaha atau perseorangan yang melanggar peraturan,
diatur dalam Pasal 34, yaitu berupa sanksi administratif dan sanksi lainnya,
meliputi:
(a). Peringatan
tertulis;
(b). pembatasan kegiatan
usaha;
(c). pembekuan kegiatan usaha
dan/atau fasilitas penanaman modal; atau
(d). pencabutan kegiatan usaha
dan/atau fasilitas penanaman modal
Dari perundang-undangan
tersebut diatas terdapat kelebihan dan kekurangannya, menimbulkan optimisme
juga kekhawatiran. Optimisme, karena berbagai pihak memandang besarnya potensi
CSR dalam mendukung pemerintah meningkatkan kesejahteraan Masyarakat.
Kekhawatiran muncul, karena bagaimanapun perusahaan ”tersandera” oleh aneka
aturan CSR baik pada level pemerintah pusat, provinsi, hingga daerah. Padahal
hampir di semua perusahaan, CSR dianggarkan dari ’keuntungan perusahaan’, belum
semua perusahaan menganggarkannya secara khusus, karena bagaimanapun core perusahaan adalah bisnis.
Perusahaan-pun berasumsi bahwa kewajibannya mensuskseskan program pemerintah
dengan menunaikan aneka pajak.
Sebetulnya diikat oleh
aturan apapun, CSR tidak akan maksimal jika perusahaan sendiri belum faham apa
itu CSR, belum menempatkan staf secara khusus sebagai pengelola CSR, belum
memiliki struktur CSR, belum memiliki code
of conduct, belum memiliki sistem administrasi CSR.Karena yang saat ini
terjadi multipihak berebut memanfaatkan dana CSR.
Secara
sederhana definisi stakeholder adalah kelompok-kelompok yang
mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh organisasi tersebut sebagai dampak dari
aktifitas-aktifitasnya (Tanari, 2009). Stakeholder terdiri dari:
- Pelanggan: berhak mendapatkan produk berkualitas, dan harga yang layak.
- Masyarakat: berhak mendapatkan perlindungan dari kejahatan bisnis, dan mendapatkan hubungan yang baik dari keberadaan perusahaan
- Pekerja: berhak mendapatkan jaminan keamanan dalam bekerja, mendapatkan jaminan keselamatan, dan mendapatkan perlakukan yang adil dan non diskriminasi
- Pemegang Saham: berhak mendapatkan harga saham yang layak dan keuntungan saham.
- Lingkungan: berhak mendapatkan jaminan terhadap perlindungan alam, dan mendapatkan rehabilitasi
- Pemerintah: berhak mendapatkan laporan atas pemenuhan persyaratan hukum
- Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM): berhak menjalankan fungsi kontrol baik terhadap regulasi maupun komitmen perusahaan.