Sabtu, 29 Agustus 2015
POKJA ULP & TIPIKOR
Menurut Khalid Mustafa dalam Weblognya http://www.khalidmustafa.info Disimpulkan bahwa ada 3 hal yang menjadi penyebab seseorang tersandung pada Tipikor khususnya dalam bidang pengadaan barang/jasa pemerintah. Yaitu :
1. Jahat
Kelompok ini adalah kelompok yang paling membuat ulah dan masalah. Dalam pikiran mereka adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa mempedulikan lagi yang benar dan yang salah.Setiap jabatan maupun kesempatan yang dimiliki dianggap sebagai sebuah peluang untuk menambah pundi-pundi kekayaan mereka. Seribu satu cara licik mereka gunakan untuk mengakali hukum dan aparat penegak hukum.Apabila mereka adalah anggota legislatif, maka kekuasaan legislatif yang mereka miliki, khususnya hak budgeting akan digunakan untuk memuaskan nafsu serakah mereka terhadap harta. Memasukkan usulan anggaran “siluman,” memalsukan kebutuhan masyarakat, memalsukan proposal untuk bantuan sosial, menekan eksekutif untuk memenangkan perusahaan yang berada di bawah kendali mereka, memeras pengusaha jujur untuk memberikan upeti, melobi berbagai pihak untuk meningkatkan kapasitas yang nantinya akan diklaim sebagai keberhasilan mereka yang harus dibarter dengan memenuhi kepentingan jahat mereka, dan berbagai modus lain yang dapat mereka lakukan.Apabila mereka adalah anggota eksekutif, maka kekuasan negara yang mereka miliki dibelokkan untuk memenuhi keinginan hawa nafsu atas harta benda dan kekayaan yang tak pernah terpuaskan. Menggelapkan aturan perundang-undangan dengan prinsip kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah dan nantinya untuk mempermudah mereka minta “biaya” tertentu sebagai pelicin, memerintahkan anak buah untuk mengatur dan mengotak atik pengadaan dan persyaratan lelang, memeras pengusaha yang jujur dengan berbagai alasan supaya dapat menerima suap dan gratifikasi, menggelapkan proposal swakelola dengan memasukkan unsur keluarga dan nepotisme di dalamnya, serta berbagai akal bulus lainnya.Apabila mereka adalah anggota yudikatif, maka kekuasaan kehakiman yang berada di tangan mereka digunakan untuk memeras para pihak yang berkasus dalam bidang PBJ untuk mengubah putusan dan menjual hukuman pidana. Belum lagi kroni-kroni mereka yang menjadi pengusaha maupun pengacara digunakan untuk mencari-cari kesalahan dan memeras kesana kemari.Apabila mereka adalah Aparat Penegak Hukum, maka kekuasaan penegakan hukum ditangan mereka digunakan untuk mencari-cari kesalahan pelaku pengadaan yang nantinya ditukar dengan janji tidak dilanjutkannya penyelidikan maupun penyidikan. Laporan “angin lalu” ditelusuri, kalau tidak ada laporan, maka mencari-cari informasi yang kadang hanya selentingan berita. Salah pengumuman lelang bisa menjadi sebuah kesalahan yang setara dengan pidana mati. Surat panggilan diobral yang nantinya berhenti hanya dengan beberapa lembar kertas berwarna merah. Mereka ini adalah kelompok yang pantas untuk dipidana seberat-beratnya.
2. Terpenjara Perintah Atasan.
Kelompok ini terbanyak berada pada lingkup Pegawai Negeri Sipil, Pegawai BUMN/D, maupun pegawai swasta. Ancaman mutasi ke daerah terpencil, kehilangan jabatan, dikucilkan dari pergaulan, kehilangan tunjangan, dipecat dari pegawai, menjadi senjata ampuh untuk mengendalikan mereka.Mereka bagaikan kerbau yang dicocok hidungnya dan diarahkan kesana kemari oleh atasannya. Mata mereka dibutakan oleh iming-iming jabatan, kesempatan, harta, maupun kepastian nasib yang dijanjikan oleh orang yang sebenarnya sama mayanya dengan mereka juga.Patgulipat lelang, persyaratan yang aneh bin ajaib (termasuk membuat pagar keliling kantor senilai 600 juta, minta 10 orang bersertifikat SKA dan 15 orang bersertifikat SKT), jadwal yang simsalabim (pengumuman hanya 1 hari), dokumen yang berasal dari sumber antah berantah, menjadi makanan mereka sehari-hari.Tidak kurang dari mereka yang berpendidikan setinggi langit dengan gelar yang jauh lebih panjang dari namanya, pengalaman puluhan tahun, sertifikat yang kalau dijilid bisa mengalahkan novel Harry Potter, dan jam terbang dalam pengadaan yang mengalahkan pilot yang profesional. Namun hal itu hanya menjadi abu di atas kaca yang mudah dihilangkan dengan sapuan janji-janji.Mereka tahu itu salah, tetapi tidak memiliki (kemauan) kemampuan untuk menghindari.Mereka ini adalah orang-orang yang patut dikasihani, karena sebenarnya mereka adalah tameng atau korban dari golongan pertama. Mereka inilah sandal jepit yang diinjak-injak setiap hari untuk melindungi kaki-kaki durjana yang menginjak-injak kebenaran.
3. Tidak Tahu
Yang terparah adalah, banyak yang tidak tahu bahwa mereka tidak tahu. Saat disampaikan informasi, mereka tutup telinga karena (mungkin) yang menyampaikan berada di bawah level mereka. Atau menganggap itu tidak penting. Namun, saat terkena musibah, barulah terlihat wajah melongo mereka. Tatapan memelas, mata yang merah berair, raut penyesalan karena tidak belajar, bahasa tubuh lemas karena pasrah adalah tanda-tanda umum saat bertemu dengan kelompok ini.Ucapan “saya baru tahu pak,” “kalau tahu begini saya tidak mau jadi PPK,” “kok tidak disampaikan sebelumnya,” dan “saya menyesal baru tahu sekarang,” adalah kalimat-kalimat umum yang mereka sampaikan saat menjadi terperiksa, tersangka, terdakwa, dan bahkan saat jadi terpidana.Mereka lupa bahwa yang namanya belajar dan mencari tahu adalah fitrah manusia. Setiap jabatan, tindakan, perbuatan pasti ada ilmu dan pengetahuannya. Menjadi seorang PA/KPA, PPK, ULP, PPHP, Bendahara, Pengusaha, Anggota DPR/DPRD, APH, dll pasti membutuhkan pengetahuan yang spesifik. Pasti ada rambu-rambu yang mana boleh, tidak boleh, wajar, tidak wajar, wajib, sunnah, mubah, dll dll yang harus diketahui. Jabatan adalah amanah yang harus dijaga. Untuk menjaganya, butuh segenap kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki, bukan sekedar dijadikan dasar untuk memperoleh keuntungan. Belajar tidak mengenal usia, waktu, kesempatan, dan alasan. Segala yang ada di sekeliling kita adalah ilmu pengetahuan yang hanya dibatasi oleh keinginan.
Niat baik Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Dinodai Oleh POKJA ULP
Menyikapi Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Percepatan Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Menjadi Pengelola Pengadaan Barang/Jasa (Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat/Panitia Pengadaan/Pokja ULP, Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat/Penerima Hasil Pekerjaan) bukanlah hal yang menyenangkan bagi sebagian PNS. Banyak keluh-kesah serta suka dan duka tatkala seorang PNS menjalani tugas sebagai Pengelola Pengadaan Barang/Jasa. Mulai dari honor yang tak sebanding dengan besarnya beban dan risiko pekerjaan sampai dengan kuatnya arus intervensi dari pihak-pihak tertentu. Intervensi harus diimbangi dengan integritas.
Integritas dapat diartikan sebagai tindakan yang sesuai dengan norma, nilai, dan prinsip yang telah diatur. Integritas juga mengandung arti kejujuran. Dalam Pengadaan Barang/Jasa integritas merupakan persyaratan pertama yang harus dimiliki oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat/Panitia Pengadaan/Pokja ULP, dan Pejabat/Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP). Perwujudan dari integritas dituangkan dalam Pakta Integritas yang harus ditandatangani oleh PPK, Pejabat/Panitia Pengadaan/Pokja ULP, dan PPHP.
Pakta Integritas merupakan surat pernyataan yang berisi ikrar untuk mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme dalam Pengadaan Barang/Jasa (Pasal 1 angka 13 Perpres Nomor 70 Tahun 2012). Kenyataan yang seringkali terjadi, Pakta Integritas hanyalah selembaran kertas yang dijadikan dokumen pelengkap dalam proses Pengadaan Barang/Jasa. Lebih ironis lagi ada yang menandatangani Pakta Integritas tanpa membaca apalagi memahaminya terlebih dahulu.
Integritas seseorang seringkali goyah akibat adanya intervensi dari pihak-pihak tertentu. Intevensi sering diartikan sebagai tindakan campur tangan. Bentuk intervensi yang sering terjadi dalam proses Pengadaan Barang/Jasa adalah adanya perintah atau tekanan untuk memenangkan Penyedia tertentu. Istilah yang umumnya digunakan adalah “arahan/titipan” yang dibalut dengan kata “Kebijakan”.
Semua pihak yang terlibat seakan dipaksa untuk mengamankan kebijakan tersebut. Melawan kebijakan dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak loyal. Akibatnya bagi seorang PNS bisa saja dipindahtugaskan (mutasi) bahkan dibebastugaskan (non job). Loyalitas seringkali disalahtafsirkan sebagai sikap sesorang yang harus tunduk dan mengikuti apapun perintah atasan termasuk menabrak aturan sekalipun.
Perintah yang tidak sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan wajib hukumnya untuk tidak diikuti. Hanyalah orang-orang berintegritas yang punya keberanian untuk “melawan” kebijakan yang salah tersebut. Itulah salah satu alasan mengapa integritas merupakan persyaratan pertama yang harus dipenuhi oleh Pengelola Pengadaan Barang/Jasa. Integritas salah satu faktor utama yang dapat menafikan intervensi.
Secara umum intervensi akan berpengaruh buruk terhadap tata pemerintahan yang baik dan bersih (Good Governance and Clean Government). Dalam Pengadaan Barang/Jasa, intervensi akan mengganggu terciptanya mekanisme pasar dan persaingan usaha yang sehat diantara para pelaku usaha.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mendefinisikan persaingan usaha yang tidak sehat sebagai persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Undang-Undang tersebut juga menekankan bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu. Demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga Negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar.
Intervensi dalam Proses Pengadaan Barang/Jasa bukan hanya pada tahapan Pemilihan Penyedia/Tender saja. Dari hulu hingga hilir seakan tak pernah luput dari intervensi. Mulai dari tahap perencanaan sampai dengan barang/jasa itu ada. Berikut Penulis akan mengurai secara garis besar praktik-praktik intervensi dalam setiap tahapan.
Tahap Perencanaan; Penyusunan perencanaan harus didasarkan pada kebutuhan (based on need) bukan semata-mata pada keinginan (based on want). Intervensi seringkali menyebabkan proses penganggaran seringkali hanya berdasarkan pada keinginan pihak-pihak tertentu. Identifikasi kebutuhan yang seharusnya menjadi dasar penyusunan kegiatan menjadi terabaikan.
Tahap Pemilihan Penyedia (Tender); Pada tahap ini arus intervensi sangat kuat. Proses pemilihan Penyedia seringkali dianggap hanyalah formalitas. Pemenang tender sebenarnya sudah ada sejak awal. Segala prosedur yang dijalankan hanyalah upaya untuk menggugurkan kewajiban saja. Panitia/Pokja ULP “dipaksa” memutar otak untuk memenangkan “titipan/arahan” dengan segala cara. Pengaturan dalam proses pemilihan Penyediapun dilakukan. Indikasi adanya pengaturan tersebut sebenarnya mudah dikenali.
Beberapa contoh adanya indikasi pengaturan dalam proses pemilihan Penyedia antara lain: pelelangan sengaja tidak dilakukan secara elektornik (electronic tendering); persyaratan dalam dokumen pemilihan tidak sesuai kententuan dan mengada-ada dengan tujuan mempersempit peluang Penyedia yang lain; pada lelang secara elektronik Penyedia mengalami kesulitan mengunggah dokumen penawaran. Ada indikasi sengaja dihalangi melalui sistem, sehingga hanya penyedia tertentu saja yang bisa menggunggah dokumen penawaran; Penyedia yang dimenangkan cenderung memiliki nilai penawaran mendekati nilai HPS (Harga Perkiraan Sendiri) dengan peringkat dibawah; dan masih banyak lagi indikasi lainnya.
Tahap Pelaksanaan Kontrak; setelah pengumuman pemenang dan tidak ada sanggahan/sanggahan tidak benar, selanjutnya PPK menerbitkan SPPBJ (Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa). SPPBJ merupakan langkah awal menuju Kontrak. PPK bisa saja tidak sependapat dengan keputusan Panitia/Pokja ULP dalam hal penetapan pemenang. PPK yang jeli seharusnya meneliti terlebih dahulu semua proses yang dilakukan oleh Panitia/Pokja ULP sebelum menerbitkan SPPBJ. Jika ada yang tidak sesuai dengan ketentuan/melanggar prosedur maka PPK mempunyai kewenangan untuk tidak menerbitkan SPPBJ. Selanjutnya permasalahan tersebut dibawa ke tingkat PA/KPA untuk diputuskan. Keputusan PA/KPA bersifat final.
Intervensi menjadikan PPK tidak dapat berbuat banyak walaupun sebenarnya mengetahui ada sesuatu yang salah. Kewenangan PPK seakan dikebiri. PPK tidak berkutik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya mengendalikan pelaksanaan Kontrak. Justeru sebaliknya, seringkali Penyedia atau pihak lain yang mengendalikan pelaksanaan Kontrak.
Kontrak yang berakhir dengan serah terima pekerjaan juga tidak luput dari intervensi. Berita Acara Serah Terima (BAST) Hasil Pekerjaan terpaksa harus ditandatangani oleh PPHP walaupun hasilnya tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Kontrak.
Harus diingat bahwa para pihak dalam proses Pengadaan Barang/Jasa maupun Pengelolaan Keuangan mempunyai tugas dan kewenangannya masing-masing. Pada suatu saat para pihak yang terlibat akan dimintai pertanggungjawaban sesuai dengan tugas dan kewenangannya tersebut.
Di Republik ini masih banyak orang benar dan punya integritas. Namun tidak sedikit orang benar yang berada di tempat, waktu, dan sistem yang salah akhirnya bermasalah karena tidak mampu mempertahankan kekokohan integitasnya.
Langganan:
Postingan (Atom)