Bahwa objek
gugatan a quo adalah Surat Keputusan
Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan Kegiatan
Penambangan oleh PT Semen Gresik (Persero) Tbk, Di Kabupaten Rembang, Provinsi
Jawa Tengah tertanggal 7 Juni 2012, yang berisi pokoknya adalah
memberikan izin lingkungan kepada
PT Semen Gresik (Persero) Tbk,
sejak 20
Desember 2012 menjadi PT Semen Indonesia (Persero)
Tbk,
untuk melakukan kegiatan: pertama,
penambangan batu kapur; kedua, penambangan tanah liat; ketiga membangun pabrik
dan utilitas; keempat membangun jalan produksi, dan kelima, membangun jalan
tambang;
Bahwa terkait
dengan Pasal 53 ayat (2) huruf b, Surat Keputusan a quo bertentangan dengan Asas Kepastian Hukum, Asas Tertib
Penyelenggara Negara, Asas Kepentingan Umum, Asas Keterbukaan, Asas
Proporsionalitas, Asas Profesionalitas, dan Asas Akuntabilitas;
D. Adapun uraian mengenai alasan Para Penggugat
mengajukan gugatan ini adalah sebagai berikut:
Keputusan a quo bertentangan
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
2004 tentang Sumberdaya
Air Juncto Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 26
Tahun
2011 Tentang Penetapan Cekungan
Air Tanah;
1. Bahwa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
2004 tentang Sumberdaya Air, Pasal 20 ayat (1) berbunyi: “Konservasi sumber
daya air ditujukan untuk menjaga kelangsungan keberadaan daya dukung, daya
tampung, dan fungsi sumber daya air;
Lebih lanjut,
dalam Pasal 20 ayat (2), berbunyi: “Konservasi sumber daya air sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian
sumber air, pengawetan air, serta pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air dengan mengacu pada pola pengelolaan sumber daya air yang
ditetapkan pada setiap wilayah sungai”;
2. Bahwa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air, Pasal 21 ayat (1), berbunyi: “Perlindungan dan
pelestarian sumber air ditujukan untuk melindungi dan melestarikan sumber air
beserta lingkungan keberadaannya terhadap kerusakan atau gangguan yang
disebabkan oleh daya alam, termasuk kekeringan dan yang disebabkan oleh
tindakan manusia”;
Lebih lanjut,
Pasal 21 ayat
(2), berbunyi: “Perlindungan dan
pelestarian sumber air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui:
a.
Pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan
daerah tangkapan air;
b. Pengendalian pemanfaatan
sumber air;
c. Pengisian air pada sumber
air;
d. Pengaturan prasarana dan
sarana sanitasi;
e. Perlindungan
sumber air dalam hubungannya dengan kegiatan pembangunan dan pemanfaatan lahan
pada sumber air;
f.
Pengendalian pengolahan tanah di daerah hulu;
g. Pengaturan daerah sempadan
sumber air;
h. Rehabilitasi hutan dan
lahan; dan/atau;
i. Pelestarian
hutan lindung, kawasan suaka alam, dan kawasan pelestarian alam”;
3.
Bahwa dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dalam Pasal 25 ayat (1), berbunyi:
“Konservasi sumber daya air dilaksanakan pada sungai, danau, waduk, rawa,
cekungan air tanah, sistem irigasi, daerah tangkapan air, kawasan suaka alam,
kawasan pelestarian alam, kawasan hutan, dan kawasan pantai”;
4.
Bahwa berdasarkan Pasal 20 ayat (1), Juncto Pasal 21 ayat (2), Juncto Pasal
21 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Juncto Pasal
25 ayat (1), Konservasi sumber daya air dilaksanakan salah satunya di cekungan
air tanah. Sementara tindakan konservasi yang menjadi mandat Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air tidak termasuk
kegiatan-kegiatan bisa dilakukan berdasarkan Keputusan a quo yaitu: pertama, penambangan batu kapur; kedua, penambangan
tanah liat; ketiga membangun pabrik dan utilitas; keempat membangun jalan produksi,
dan kelima, membangun jalan tambang;
5.
Bahwa
Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 26 Tahun 2011 tentang Penetapan Cekungan Air
Tanah, di dalam lampiran I, Daftar
Cekungan Air Tanah (CAT) Di Indonesia, di point 124 disebut
Cekungan Air Tanah Watuputih, di koordinat
(bujur) III 029' 0.73" - 1110 32' 56.27", koordinat (lintang)
-060 50' 41.56" - 60 50'
41.56", seluas 31 km²,
di Kabupaten Rembang
dan Blora, masuk dalam kategori B;
6. Bahwa dengan demikian, Cekungan Air Tanah Watuputih
adalah cekungan air yang harus dikonservasi;
7. Bahwa
wilayah pertambangan PT Semen Gresik (Persero) Tbk. Sejak 20
Desember 2012 menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk yang memperoleh izin berdasarkan
SK a quo tumpang tindih dengan
Cekungan Air Tanah Watuputih, sebagai berikut:
Keterangan:
Peta Wilayah IUP PT Semen Indonesia dan PT Semen Indonesia Rembang Beserta
Sebaran Cekungan Air Tanah Watuputih, Goa, Mata Air, dan Ponor di Kabupaten Rembang;
Keterangan: Peta Geologi Cekungan Air Tanah
(CAT) Watuputih, Provinsi Jawa Tengah;
Bahwa berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di atas
dan hasil
penelitian ASC, Keputusan a quo bertentangan
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya
Air Juncto Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2011
Tentang Penetapan Cekungan Air Tanah;
Keputusan a quo bertentangan
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang Juncto Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
1.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007
Tentang Penataan Ruang Pasal 20 ayat (1) huruf (c), berbunyi: “ Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional memuat: c. rencana pola ruang wilayah nasional yang
meliputi kawasan lindung nasional dan kawasan budi daya yang memiliki nilai
strategis nasional”;
Lebih lanjut,
Pasal 20 ayat (6), berbunyi: “Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional diatur dengan
peraturan pemerintah”;
2.
Bahwa Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
3.
Bahwa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26
Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Pasal 51 huruf
(e) menyatakan
bahwa salah satu kawasan lindung nasional adalah kawasan lindung geologi;
Lebih lanjut, Pasal 52 berbunyi:
“Kawasan Lindung Geologi terdiri atas:
a. Kawasan cagar alam geologi;
b. Kawasan rawan bencana alam
geologi; dan
c. Kawasan yang memberikan
perlindungan terhadap air tanah”;
Lebih lanjut,
Pasal 53 angka (1) berbunyi: “Kawasan cagar alam geologi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 ayat (5) huruf a terdiri atas:
a. Kawasan keunikan batuan dan fosil;
b. Kawasan keunikan bentang
alam; dan
c. Kawasan keunikan proses geologi”;
Lebih lanjut,
Pasal 60 angka (2), berbunyi: “Kawasan keunikan
bentang alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b ditetapkan
dengan kriteria:
a. Memiliki bentang alam gumuk
pasir pantai;
b. Memiliki
bentang alam berupa kawah, kaldera, maar, leher vulkanik dan gumuk vulkanik;
c. Memiliki bentang alam goa;
d. Memiliki bentang alam
ngarai/lembah;
e. Memiliki bentang alam kubah;
f.
Memiliki bentang alam kars”;
4.
Bahwa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26
Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Pasal 51 huruf
(e) menyatakan bahwa salah satu kawasan lindung nasional
adalah kawasan lindung geologi;
Lebih lanjut, Pasal 52 berbunyi:
“Kawasan Lindung Geologi terdiri atas:
a. Kawasan cagar alam geologi;
b. Kawasan rawan bencana alam
geologi; dan
c. Kawasan yang memberikan
perlindungan terhadap air tanah”;
Lebih lanjut, Pasal 52 ayat (5), berbunyi: “Kawasan lindung
geologi terdiri atas:
a. kawasan cagar alam geologi;
b. kawasan rawan bencana alam
geologi; dan
c. kawasan yang memberikan
perlindungan terhadap air tanah”;
Lebih lanjut,
Pasal 53 ayat (3), berbunyi: ”Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air
tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5) huruf c terdiri atas:
a. Kawasan imbuhan air tanah; dan
b. Sempadan mata air”;
5.
Bahwa dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bentang
alam karst dan kawasan imbuhan air tanah
adalah kawasan lindung geologi yang seharusnya dilindungi sebagaimana diatur
dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan
Ruang Juncto Peraturan Pemerintah
Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana tata Ruang Wilayah Nasional;
6.
Bahwa hasil penelitian Air Bawah Tanah di Gunung
Watuputih oleh Dinas Pertambangan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah pada
Maret 1998 menunjukkan bahwa Gunung Watuputih dan sekitarnya secara fisiografis
tergolong dalam tipe bentang alam karst. Di dalam bentang alam karst terdapat
fenomena alam unik dengan adanya goa- goa alam dan sungai bawah tanah;
Bahwa berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan di atas dan
hasil penelitian
ESDM Jateng, Keputusan a quo bertentangan
dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
Keputusan a quo bertentangan
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan;
1.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan dalam Pasal 22 ayat (1), Juncto Pasal 36 ayat (2) Juncto Pasal 36 ayat (1) Juncto Pasal 40 ayat
(10) Juncto Pasal 41, mengatur
prosedur keluarnya izin lingkungan sebagai berikut:
1.
Bahwa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Pasal 37 ayat (2),
berbunyi: “Izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4) dapat dibatalkan apabila:
a. Persyaratan
yang diajukan dalam permohonan izin mengandung cacat hukum, kekeliruan,
penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;
b. Penerbitannya
tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam keputusan komisi tentang
kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL; atau
c. Kewajiban
yang ditetapkan dalam dokumen amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan”;
2. Bahwa dalam Keputusan a quo terdapat cacat hukum sebagai berikut:
a. Keputusan a quo bertentangan dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air Juncto Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 26 Tahun 2011 tentang Penetapan Cekungan Air Tanah;
b. Keputusan a
quo bertentangan dengan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Juncto
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional;
c.
Keputusan a quo bertentangan
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan;
d.
Keputusan a quo bertentangan
dengan Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2030 Juncto Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2011
tentang Penetapan Cekungan Air Tanah;
e. Keputusan a quo bertentangan dengan Peraturan
Daerah Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Tahun
2011-2031 Juncto Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 26 Tahun
2011 tentang Penetapan
Cekungan Air Tanah;
f.
Keputusan a quo bertentangan
dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik;
Penjelasan dari point a-f, di atas bisa dilihat di bagian
E.1-E.6 gugatan ini;
3.
Bahwa dalam Keputusan a quo terdapat kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran
dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi sebagai berikut:
a.
Bahwa dalam dokumen ANDAL, ditemukan informasi sebagai
berikut:
-
Halaman I-10: “areal penambangan merupakan kawasan
karst yang memiliki beberapa mata
air sehingga dikategorikan
kawasan lindung sehingga perlu dikaji kelas-kelas karst yang boleh ditambang”;
-
Halaman II-19: “Di kawasan IUP merupakan kawasan
imbuhan/resapan air tanah, tempat masuknya air ketika terjadi hujan menuju
akuifer yang dikeluarkan dalam bentuk mata air”;
-
Berdasarkan hasil pemetaan dengan metode APLIS
terdapat dua kategori imbuhan air tanah sedang (40-60%) dan imbuhan air tanah
tinggi (60-80): Imbuhan sedang – Karstifikasi sedang, Imbuhan tinggi –
Karstifikasi tinggi;
- Halaman III-20:
“Kawasan UP sebagian
besar merupakan
kawasan resapan air yang air tanahnya mengarah ke arah timur
atau di Desa Tahunan, Kecamatan Sale”;
- Halaman
III-20: “Maka dari itu perlu diketahui hubungan antara daerah resapan IUP ini
dengan mata air di bagian timur yang merupakan mata air tahunan yaitu pada
Sumber Semen dan Brubulan”;
-
Halaman III-20: “Daerah imbuh mata air Sumber Semen
635 l/detik seluas 7500 ha. Sumber Brubulan 100 l/dt seluas 220 ha”;
- Halaman
III-25: “Di daerah IUP: akuifer semi conduit, air meresap ke dalam lembah,
masuk ke dalam lorong gua dan keluar
menjadi mata air. Berdasarkan
hasil pengeboran terdapat rongga (baca: gua)”;
-
Halaman III-30: “Mata air Brubulan mempunyai daerah
tangkapan di IUP sebesar 40% berdasarkan interpretasi foto”;
- Halaman
III-38: “Mata air Brubulan Pesucen adalah mata air vital bagi masyarakat
khususnya untuk mandi, mencuci dan irigasi”
- Halaman III-78: Kawasan
karst Tegaldowo;
1.
Mengalami proses pelarutan;
2.
Membentuk struktur pelarutan seperti lekukan dan
rongga- rongga dalam berbagai ukuran;
3.
Membentuk sistem perguaan ciri utama karst;
-
Bahwa berdasarkan data-data di atas, tim penyusun
Amdal menyimpulkan (halaman III-80):
1.
Bahwa lokasi petak termasuk kawasan budidaya. Lokasi
kawasan kars lindung berada di luar petak rencana penambangan;
2. Bahwa tidak
ditemukan mata air, goa, baik basah maupun kering di dalam petak;
3. Bahwa
daerah penambangan bukan termasuk dalam kawasan kars lindung sehingga dapat
dilakukan penambangan daerah penyelidikan;
Bahwa kesimpulan
ANDAL yang menjadi dasar keluarnya SK Kelayakan Lingkungan yang kemudian
menjadi dasar keluarnya Izin Lingkungan ternyata tidak berdasarkan informasi
yang benar;
b.
Bahwa masyarakat bersama dengan tim Kementerian
Lingkungan Hidup pada bulan Juli 2014 telah melakukan kunjungan
lapangan di area cekungan air tanah
Watuputih, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang. Dalam kunjungan tersebut,
masyarakat dan tim KLH telah menemukan
satu titik ponor yang berada dalam kawasan Izin Usaha Penambangan (IUP) PT Semen Gresik (Persero) Tbk, sejak 20 Desember 2012 menjadi PT Semen Indonesia
(Persero) Tbk;
Bahwa beberapa warga (Jumadi, Suroso, bersama warga lainnya) yang
tergabung dalam
Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Rembang
pada
tanggal 12 Agustus 2014 telah melakukan penelusuran lapangan di area CAT
Watuputih,
Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, dan menemukan
dua titik
ponor yang berada di kawasan IUP PT Semen Gresik (Persero) Tbk, sejak 20 Desember
2012 menjadi PT Semen Indonesia
(Persero) Tbk;
1.
Bahwa selain cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan,
serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi,
Keputusan a quo bertentangan dengan
asas partisipatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf k Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan, yang
berbunyi: “ Yang
dimaksud dengan
“asas partisipatif” adalah bahwa setiap anggota masyarakat didorong
untuk berperan
aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung”;
Terkait dengan
izin lingkungan, lebih lanjut dalam Pasal 39, berbunyi: “Ayat (1), Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib mengumumkan
setiap permohonan dan keputusan izin lingkungan”;
Ayat (2), Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara yang mudah diketahui
oleh masyarakat; Penjelasan pasal 39 (1) Undang-Undang PPLH menyatakan bahwa
tujuan “mengumumkan permohonan izin dengan cara yang mudah diketahui
masyarakat” adalah memungkinkan peran serta masyarakat, khususnya yang belum
menggunakan kesempatan dalam prosedur keberatan, dengar pendapat, dan lain-lain
dalam proses pengambilan keputusan izin;
Bahwa dalam
kasus ini, dengar pendapat tidak dilakukan, pengumuman tidak dilakukan,
keberatan masyarakat yang ditunjukkan melalui beberapa protes tidak dihiraukan,
bahkan keberatan resmi tidak menjadi pertimbangan;
Bahwa
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di atas Keputusan a quo bertentangan dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
Keputusan a quo bertentangan
dengan Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2030 Juncto Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2011 tentang Penetapan
Cekungan Air Tanah;
1.
Bahwa Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010- 2030, pasal
30 berbunyi “Pola ruang wilayah provinsi menggambarkan rencana sebaran kawasan
lindung dan kawasan budidaya”;
2.
Bahwa Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010- 2030, pasal
31 berbunyi: “Kawasan Lindung sebagaimana dimaksud pada pasal 30, meliputi:
a. Kawasan yang
memberi perlindungan terhadap
kawasan
bawahannya;
b. Kawasan perlindungan setempat;
c. Kawasan
suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan kawasan cagar budaya;
d. Kawasan rencana bencana alam;
e. Kawasan Lindung Geologi;
f.
Kawasan lindung lainnya”;
3.
Bahwa Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010- 2030, di
dalam pasal 40 dijelaskan “kawasan sekitar mata air sebagaimana dimaksud dalam
pasal 36 huruf d, tersebar di kabupaten/kota yang memiliki mata air”;
4.
Bahwa Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010- 2030, pasal
60 berbunyi: “Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 huruf
e, terdiri dari:
a. Kawasan lindung kars;
b. Kawasan cagar alam geologi;
c. Kawasan imbuhan air”;
Lebih lanjut
dalam pasal 63 berbunyi: “Kawasan Imbuhan Air sebagaimana dimaksud dalam pasal
60 huruf c, meliputi kawasan resapan air tanah pada Cekungan Majenang, Cekungan
Sidareja, Cekungan Nusa Kambangan, Cekungan Cilacap, Cekungan Kroya, Cekungan
Banyumudal, Cekungan Purwokerto-Purbalingga, Cekungan Kebumen-Purworejo, Cekungan
Wonosobo, Cekungan Magelang-Temanggung, Cekungan Karanganyar-Boyolali, Cekungan
Belimbing, Cekungan Eromoko, Cekungan Giritontro, Cekungan Semarang-Demak,
Cekungan Randublatung, Cekungan Watuputih, Cekungan Lasem, Cekungan
Pati-Rembang, Cekungan Kudus, Cekungan Jepara, Cekungan Ungaran, Cekungan
Sidomulyo, Cekungan Rawapening, Cekungan Salatiga, Cekungan Kendal, Cekungan
Subah, Cekungan Karang Kobar, Cekungan Pekalongan- Pemalang, Cekungan
Tegal-Brebes, Cekungan Lebaksiu”;
5. Bahwa Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 26 Tahun 2011 tentang Penetapan Cekungan Air
Tanah, di dalam lampiran I, Daftar Cekungan Air Tanah (CAT) Di Indonesia, di point 124 disebut
Cekungan Air Tanah Watuputih,
di koordinat (bujur) III
029' 0.73" - 1110 32' 56.27", koordinat
(lintang) - 060 50' 41.56" - 60 50' 41.56", seluas 31 km2,
di Kabupaten Rembang dan Blora, masuk dalam kategori B;
6.
Bahwa dengan demikian, Cekungan Air Tanah Watuputih
adalah kawasan imbuhan air yang merupakan bagian dari kawasan lindung geologi;
7.
Bahwa wilayah pertambangan PT Semen Gresik (Persero)
Tbk, sejak 20 Desember 2012
menjadi PT Semen
Indonesia (Persero) Tbk , yang memperoleh izin
berdasarkan SK a quo tumpang tindih
dengan Cekungan Air Tanah Watuputih;
8.
Bahwa Cekungan Watuputih adalah kawasan lindung
geologi yang seharusnya dilindungi sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah
Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa
Tengah Tahun 2010-2030;
9.
Bahwa hasil penelitian Air Bawah Tanah di Gunung
Watuputih oleh Dinas Pertambangan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah pada
Maret 1998 dijelaskan bahwa Gunung Watuputih dan sekitarnya secara fisiografis tergolong dalam
tipe bentang alam karst. Terdapat fenomena alam unik dengan adanya goa-goa alam
dan sungai bawah tanah;
Bahwa berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan di atas dan hasil penelitian ESDM
Jateng, Keputusan a quo bertentangan
dengan Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2030;
Keputusan a quo bertentangan
dengan Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 tentang RTRW
Kabupaten Tahun 2011- 2031;
1.
Bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 14
Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Tahun 2011-2031, Pasal 19 berbunyi: “Kawasan
Lindung Geologi sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (2) huruf f berupa
kawasan imbuhan air meliputi:
a. Cekungan Watuputih; dan
b. Cekungan Lasem;
2.
Bahwa dengan demikian, Cekungan Air Tanah Watuputih
adalah kawasan imbuhan air yang merupakan bagian dari kawasan lindung geologi;
3. Bahwa di dalam dokumen ANDAL disebutkan
rencana penggunaan
lokasi
penambangan Batu Gamping di Desa Tegaldowo, Kajar, Kecamatan Gunem akan
menggunakan luas lahan 520 ha. Padahal dalam Peraturan Daerah Kabupaten Rembang
Nomor 14 Tahun 2011, pasal 27 ayat (2) dinyatakan: “Peruntukan industri besar
seluas kurang lebih 869 ha (delapan ratus enam puluh sembilan hektar) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi:
a. Kawasan
industri Rembang seluas kurang lebih 173 ha (seratus tujuh puluh tiga hektar)
berada di Desa Pasarbanggi Kecamatan Rembang;
b. Kawasan
industri Sluke seluas kurang lebih 291 ha (dua ratus sembilan puluh satu
hektar) berada di Desa Leran dan Trahan Kecamatan Sluke dan seluas kurang lebih
200 ha (dua ratus hektar) di Desa Sendangmulyo Kecamatan Sluke; dan
c. Kawasan
industri pertambangan seluas kurang lebih 205 ha (dua ratus lima hektar) berada
di wilayah Kecamatan Gunem”;
4.
Bahwa dalam rencana penggunaan lokasi penambangan Batu
Gamping di Desa Tegaldowo, Kajar, Kecamatan Gunem di dalam dokumen ANDAL
disebutkan akan menggunakan luas lahan 520 ha. Angka ini jauh lebih besar dari
luas peruntukan yang diatur dalam Pasal 27 di atas yaitu seluas 205 ha;
5.
Bahwa dalam Pasal 27 ayat 2 huruf c disebutkan bahwa
peruntukan industri besar kawasan industri pertambangan seluas kurang lebih 205
hektar berada di wilayah Kecamatan Gunem. Tetapi fakta di lapangan bahwa lokasi
tapak pabrik industri pertambangan tersebut seluas 21,13 hektar berada di Desa Kadiwono,
Kecamatan Bulu;
6.
Bahwa hasil penelitian Air Bawah Tanah di Gunung
Watuputih oleh Dinas Pertambangan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah pada
Maret 1998 menyebutkan bahwa Gunung Watuputih dan sekitarnya secara fisiografis
tergolong dalam tipe bentang alam karst. Terdapat fenomena alam unik dengan
adanya goa-goa alam dan sungai bawah tanah;
7.
Bahwa Keputusan a
quo memberikan izin lingkungan kepada PT Semen Gresik (Persero) Tbk -sejak
20 Desember 2012 menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk untuk
melakukan kegiatan: pertama, penambangan batu kapur; kedua, penambangan
tanah liat; ketiga membangun pabrik dan utilitas; keempat membangun jalan produksi
dan kelima, membangun
jalan tambang. Kelima
kegiatan tersebut
berada di
kawasan imbuhan air yang merupakan kawasan lindung geologi;
Bahwa
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di atas dan hasil penelitian
ESDM Jateng, Keputusan a quo bertentangan
dengan Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2030;
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan
dengan Asas- Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB);
1.
Bahwa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 53 ayat (2) huruf b, berbunyi
“Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik”. Lebih lanjut, penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf b
tersebut, berbunyi: “yang dimaksud dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik
adalah meliputi asas: kepastian hukum; tertib penyelenggaraan negara;
keterbukaan; proporsionalitas; profesionalitas; akuntabilitas sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme”;
2.
Bahwa menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dalam Penjelasan Pasal 3, yang dimaksud dengan
asas-asas dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah:
a. Asas Kepastian Hukum;
Yang dimaksud
dengan Asas Kepastian Hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap
kebijakan Penyelenggara Negara;
Bahwa Keputusan a quo yang dikeluarkan Tergugat tanpa
memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yaitu: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air Juncto
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2011
tentang Penetapan Cekungan Air
Tanah, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang Juncto Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 26
Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah
Nasional, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Daerah Jawa Tengah
Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2010-2030 Juncto Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2011 tentang Penetapan Cekungan Air
Tanah, Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 tentang RTRW
Kabupaten Tahun 2011-2031 Juncto Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2011 Tentang Penetapan Cekungan Air
Tanah, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum;
b. Asas Tertib Penyelenggara Negara;
Yang dimaksud
dengan Asas Tertib Penyelenggara Negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam
pengendalian penyelenggaraan negara; Bahwa keputusan a quo yang dikeluarkan Tergugat telah bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku yang
menimbulkan ketidakteraturan, ketidakserasian,
dan ketidakseimbangan penyelenggaraan negara;
c. Asas Kepentingan Umum;
Yang dimaksud
dengan "Asas Kepentingan
Umum" adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang
aspiratif, akomodatif, dan selektif;
Bahwa keputusan a quo yang dikeluarkan Tergugat tidak mendahulukan kepentingan
umum, kesejahteraan masyarakat, dan keberlanjutan lingkungan. Beroperasinya
pabrik semen PT Semen Gresik (Persero) Tbk, sejak 20
Desember 2012 menjadi PT Semen Indonesia (Persero)
Tbk akan mengakibatkan masyarakat
kehilangan mata pencahariannya, hilang/berkurangnya sumber- sumber air, dan
pencemaran lingkungan lainnya;
Bahwa proses
keluarnya keputusan a quo yang
dikeluarkan Tergugat juga tidak aspiratif, akomodatif, dan selektif dengan
tidak melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL). Akibatnya, hingga gugatan ini diajukan, situasi di tapak
pabrik tidak kondusif;
d. Asas Keterbukaan;
Asas Keterbukaan
adalah asas yang membuka
diri terhadap hak
masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan
tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia
negara;
Bahwa tidak ada
upaya dari Tergugat untuk memberikan informasi langsung kepada masyarakat
disaat keputusan a quo tersebut
dikeluarkan. Para Penggugat dan masyarakat Rembang pada umumnya baru mengetahui
keberadaan dari keputusan a quo pada
saat mengajukan permohonan akses informasi;
e. Asas Proporsionalitas;
Asas
Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban penyelenggara negara; Asas Proporsionalitas ini memerintahkan kepada
tergugat untuk memberikan ruang partisipasi kepada para penggugat seperti hak
atas informasi dan hak atas partisipasi;
Bahwa Asas Proporsionalitas tidak dipenuhi oleh Tergugat
sehingga merugikan Para Penggugat;
Bahwa keberadaan
keputusan a quo Tergugat membuktikan
Tergugat tidak proporsional dalam menjalankan kewenangannya. Bahwa pihak PT Semen
Gresik (Persero) Tbk, sejak 20 Desember
2012 menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk telah melanggar prosedur
perizinan dan tidak mendapat sanksi apapun. Dengan demikian keputusan a quo Tergugat telah melanggar Asas
Proporsionalitas;
f.
Asas Profesionalitas
Asas
Profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode
etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Bahwa
sebagaimana terurai di atas, keputusan a
quo dibuat tidak dengan mendasarkan pada peraturan dan perundangan yang
berlaku, dengan demikian nyata-nyata Tergugat tidak bertindak profesional dalam
membuat Keputusan a quo. Keputusan a quo dikeluarkan tergugat berdasarkan
penilaian yang tidak professional terhadap AMDAL yang ternyata mengandung cacat
hukum, kekeliruan,
penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen,
dan/atau informasi;
Bertolak dari kedua pendapat tersebut, Majelis Hakim berpendapat bahwa:
1.
CAT merupakan suatu wilayah tertentu tempat semua
kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan
air tanah berlangsung, sehingga ketentuan Pasal 40 ayat (1) dan (2) mencakup
untuk wilayah CAT;
2.
Asas kehati-hatian dan asas kecermatan dari Asas-asas
Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) memberi arah kepada penyelenggara negara
agar lebih mengutamakan “menghindari potensi kerusakan/bahaya daripada
mengambil manfaat”. Dengan kata lain, untuk mendapatkan manfaat wajib menjauhi
potensi kerusakan;
Bahwa dari pertimbangan tersebut, Majelis Hakim berpendapat
bahwa kegiatan penambangan dan pengeboran di atas CAT pada prinsipnya tidak
dibenarkan. Namun demikian, untuk kepentingan bangsa dan negara yang sangat
strategis dapat dikecualikan dengan pembatasan yang sangat ketat dan cara-cara
tertentu serta terukur agar tidak mengganggu sistem akuifer. Penentuan Izin
Lingkungan selayaknya dilengkapi dengan persetujuan pejabat yang menetapkan
status kawasan. Persetujuan berfungsi sebagai kebijakan dan politik lingkungan
dan pembangunan, serta urgensi kepentingan bangsa dan negara;
Bahwa oleh karena itu, penyusun AMDAL perlu memperhatikan
tuntutan Asas-asas Umum Pemerintahan
yang Baik (AUPB)
yang telah disinggung sebelumnya untuk
memuat pembatasan dan
tata cara penambangan
yang dapat mendekripsikan dan menjamin bahwa kegiatan penambangan tidak
mengancam rusaknya sistem akuifer pada kawasan tersebut dan terancamnya
lingkungan hidup masyarakat. Tentu tidak layak apabila kegiatan penambangan
pada kawasan CAT dilakukan dengan cara yang sama dengan penambangan pada
kawasan lain bukan CAT. Selain itu, pada beberapa bagian dokumen AMDAL tidak
memperlihatkan solusi yang konkret dan tidak tergambar cara alternatif
penanggulannya terhadap masalah kebutuhan warga, antara lain kekurangan air
bersih dan kebutuhan pertanian. Hal ini tidak sejalan dengan peraturan
perundang-undangan dan asas kelestarian, asas kehati-hatian, serta asas
kecermatan dalam penyusunan AMDAL yang dijadikan pendukung utama penerbitan
objek sengketa;
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas terbukti penyusunan
dokumen AMDAL mengandung cacat prosedur, sehingga keputusan objek sengketa yang
diterbitkan berdasarkan dokumen AMDAL tersebut secara mutatis mutandis mengandung cacat yuridis pula. Oleh karena itu,
patut dinyatakan batal;
Menimbang, bahwa mengenai permohonan penundaan pelaksanaan keputusan
objek sengketa tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan dalam tingkat
peninjauan kembali ini karena dengan putusan ini sudah tidak ada lagi proses
litigasi;
Menimbang, bahwa Mahkamah Agung telah membaca dan mempelajari Jawaban
Memori Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Termohon Peninjauan Kembali, tetapi tidak ditemukan
dalil yang dapat melemahkan dalil Memori Peninjauan Kembali dari Pemohon
Peninjauan Kembali;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka menurut
Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan peninjauan
kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali;
Menimbang, bahwa oleh sebab itu putusan Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara Surabaya
Nomor
135/B/2015/PT.TUN.SBY.,
tanggal 3 November 2015 yang
menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Nomor 064/G/2014/PTUN.SMG,
tanggal 16 April 2015, tidak dapat dipertahankan dan harus dibatalkan. Mahkamah
Agung mengadili kembali perkara ini sebagaimana disebut dalam amar putusan di
bawah ini;
MENGADILI,
Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan
Kembali: 1. JOKO
PRIANTO, 2. SUKIMIN,
3. SUYASIR,
4. RUTONO, 5. SUJONO, 6. SULIJAN, dan 7. YAYASAN WAHANA
LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA tersebut;
Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya Nomor
135/B/2015/PT.TUN.SBY., tanggal 3 November 2015 yang menguatkan Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Nomor 064/G/2014/PTUN.SMG, tanggal 16
April 2015;
MENGADILI KEMBALI,
1.
Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya;
2.
Menyatakan batal Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah
Nomor 660.1/17 Tahun 2012, tanggal 7 Juni 2012, tentang Izin Lingkungan
Kegiatan Penambangan oleh PT Semen Gresik (Persero) Tbk, di Kabupaten Rembang,
Provinsi Jawa Tengah;
3.
Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut Surat
Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012, tanggal 7 Juni 2012,
tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh PT Semen Gresik (Persero)
Tbk, di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah;