Selasa, 14 Maret 2017

IZIN DARI GUBERNUR UNTUK BUMN SAJA DICABUT, APA LAGI IZIN DARI WALIKOTA UNTUK SWASTA MURNI KAPITALIS



Bahwa objek gugatan a quo adalah Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh PT Semen Gresik (Persero) Tbk, Di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah tertanggal 7 Juni 2012, yang berisi pokoknya  adalah  memberikan  izin lingkungan kepada PT Semen Gresik  (Persero) Tbk, sejak  20  Desember 2012  menjadi PT   Semen Indonesia   (Persero)   Tbk,  untuk melakukan kegiatan: pertama, penambangan batu kapur; kedua, penambangan tanah liat; ketiga membangun pabrik dan utilitas; keempat membangun jalan produksi, dan kelima, membangun jalan tambang;

Bahwa terkait dengan Pasal 53 ayat (2) huruf b, Surat Keputusan a quo bertentangan dengan Asas Kepastian Hukum, Asas Tertib Penyelenggara Negara, Asas Kepentingan Umum, Asas Keterbukaan, Asas Proporsionalitas, Asas Profesionalitas, dan Asas Akuntabilitas;
D.   Adapun uraian mengenai alasan Para Penggugat mengajukan gugatan ini adalah sebagai berikut:
                                               Keputusan a quo bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 
                                 2004 tentang Sumberdaya Air Juncto  Keputusan Presiden  Republik  Indonesia  Nomor 26   
                                 Tahun  2011  Tentang Penetapan Cekungan Air Tanah;
1.           Bahwa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, Pasal 20 ayat (1) berbunyi: “Konservasi sumber daya air ditujukan untuk menjaga kelangsungan keberadaan daya dukung, daya tampung, dan fungsi sumber daya air;
Lebih lanjut, dalam Pasal 20 ayat (2), berbunyi: “Konservasi sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian sumber air, pengawetan air, serta pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air dengan mengacu pada pola pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai”;
2.        Bahwa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Pasal 21 ayat (1), berbunyi: “Perlindungan dan pelestarian sumber air ditujukan untuk melindungi dan melestarikan sumber air beserta lingkungan keberadaannya terhadap kerusakan atau gangguan yang disebabkan oleh daya alam, termasuk kekeringan dan yang disebabkan oleh tindakan manusia”;

Lebih   lanjut,   Pasal   21   ayat   (2),   berbunyi:   “Perlindungan     dan

pelestarian sumber air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a.  Pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air;
b.  Pengendalian pemanfaatan sumber air;
c.  Pengisian air pada sumber air;
d.  Pengaturan prasarana dan sarana sanitasi;
e.  Perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan kegiatan pembangunan dan pemanfaatan lahan pada sumber air;
f.   Pengendalian pengolahan tanah di daerah hulu;
g.  Pengaturan daerah sempadan sumber air;
h.  Rehabilitasi hutan dan lahan; dan/atau;
i.   Pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam, dan kawasan pelestarian alam”;
3.  Bahwa dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dalam Pasal 25 ayat (1), berbunyi: “Konservasi sumber daya air dilaksanakan pada sungai, danau, waduk, rawa, cekungan air tanah, sistem irigasi, daerah tangkapan air, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, kawasan hutan, dan kawasan pantai”;
4.  Bahwa berdasarkan Pasal 20 ayat (1), Juncto Pasal 21 ayat (2),  Juncto Pasal 21 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Juncto Pasal 25 ayat (1), Konservasi sumber daya air dilaksanakan salah satunya di cekungan air tanah. Sementara tindakan konservasi yang menjadi mandat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air tidak termasuk kegiatan-kegiatan bisa dilakukan berdasarkan Keputusan a quo yaitu: pertama, penambangan batu kapur; kedua, penambangan tanah liat; ketiga membangun pabrik dan utilitas; keempat membangun jalan produksi, dan kelima, membangun jalan tambang;
5.  Bahwa  Keputusan   Presiden   Republik   Indonesia   Nomor   26 Tahun 2011 tentang Penetapan Cekungan Air Tanah, di dalam lampiran I, Daftar Cekungan Air Tanah (CAT) Di Indonesia, di point 124 disebut Cekungan Air Tanah Watuputih, di koordinat  (bujur) III 029' 0.73" - 1110 32' 56.27", koordinat (lintang) -060 50' 41.56" - 60 50' 41.56", seluas  31  km²,  di  Kabupaten  Rembang  dan  Blora, masuk dalam  kategori B;
6.        Bahwa dengan demikian, Cekungan Air Tanah Watuputih adalah cekungan air yang harus dikonservasi; 
7.   Bahwa   wilayah   pertambangan  PT Semen Gresik (Persero) Tbk. Sejak 20 Desember 2012 menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk  yang memperoleh izin berdasarkan SK a quo tumpang tindih dengan Cekungan Air Tanah Watuputih, sebagai berikut:
 Keterangan: Peta Wilayah IUP PT Semen Indonesia dan PT Semen Indonesia Rembang Beserta Sebaran Cekungan Air Tanah Watuputih, Goa, Mata Air, dan Ponor di  Kabupaten Rembang;
 Keterangan: Peta Geologi Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih, Provinsi Jawa Tengah;
Bahwa berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di  atas
dan hasil penelitian ASC, Keputusan a quo bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air Juncto Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26  Tahun  2011  Tentang Penetapan Cekungan Air Tanah;
      Keputusan a quo bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Juncto Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
1.  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Pasal 20 ayat (1) huruf (c), berbunyi: “ Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memuat: c. rencana pola ruang wilayah nasional yang meliputi kawasan lindung nasional dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis nasional”;
Lebih lanjut, Pasal 20 ayat (6), berbunyi: “Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional diatur dengan peraturan pemerintah”;
2.  Bahwa Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
3.  Bahwa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Pasal 51  huruf
(e) menyatakan bahwa salah satu kawasan lindung nasional adalah kawasan lindung geologi;
Lebih lanjut, Pasal 52 berbunyi: “Kawasan Lindung Geologi terdiri atas:
a.  Kawasan cagar alam geologi;
b.  Kawasan rawan bencana alam geologi; dan
c.  Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah”;
Lebih lanjut, Pasal 53 angka (1) berbunyi: “Kawasan cagar alam geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5) huruf a terdiri atas:
a.  Kawasan keunikan batuan dan fosil;
b.  Kawasan keunikan bentang alam; dan
c.  Kawasan keunikan proses geologi”;
Lebih lanjut, Pasal 60 angka (2), berbunyi: “Kawasan keunikan  bentang alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b ditetapkan dengan kriteria:

a.  Memiliki bentang alam gumuk pasir pantai;
b.  Memiliki bentang alam berupa kawah, kaldera, maar, leher vulkanik dan gumuk vulkanik;
c.  Memiliki bentang alam goa;
d.  Memiliki bentang alam ngarai/lembah;
e.  Memiliki bentang alam kubah;
f.   Memiliki bentang alam kars”;
4.  Bahwa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Pasal 51  huruf
(e) menyatakan bahwa salah satu kawasan lindung nasional adalah kawasan lindung geologi;
Lebih lanjut, Pasal 52 berbunyi: “Kawasan Lindung Geologi terdiri atas:
a.  Kawasan cagar alam geologi;
b.  Kawasan rawan bencana alam geologi; dan
c.  Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah”;
Lebih lanjut, Pasal 52 ayat (5), berbunyi: “Kawasan lindung geologi terdiri atas:
a.  kawasan cagar alam geologi;
b.  kawasan rawan bencana alam geologi; dan
c.  kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah”;
Lebih lanjut, Pasal 53 ayat (3), berbunyi: ”Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5) huruf c terdiri atas:
a.  Kawasan imbuhan air tanah; dan
b.  Sempadan mata air”;
5.  Bahwa dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bentang alam  karst dan kawasan imbuhan air tanah adalah kawasan lindung geologi yang seharusnya dilindungi sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana tata Ruang Wilayah Nasional;
6.  Bahwa hasil penelitian Air Bawah Tanah di Gunung Watuputih oleh Dinas Pertambangan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah pada Maret 1998 menunjukkan bahwa Gunung Watuputih dan sekitarnya secara fisiografis tergolong dalam tipe bentang alam karst. Di dalam bentang alam karst terdapat fenomena alam unik dengan adanya goa- goa alam dan sungai bawah tanah;
Bahwa berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di atas dan
hasil penelitian ESDM Jateng, Keputusan a quo bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
      Keputusan a quo bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan;
1.  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan dalam Pasal 22 ayat (1), Juncto Pasal 36 ayat (2) Juncto Pasal 36 ayat (1) Juncto Pasal 40 ayat
(10) Juncto Pasal 41, mengatur prosedur keluarnya izin lingkungan sebagai berikut:
 1.  Bahwa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Pasal 37 ayat (2), berbunyi: “Izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal  36 ayat (4) dapat dibatalkan apabila:
a.  Persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;
b.  Penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam keputusan komisi tentang kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL; atau
c.  Kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan”;
2.  Bahwa dalam Keputusan a quo terdapat cacat hukum sebagai berikut:
a.  Keputusan a quo bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air Juncto Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2011 tentang Penetapan Cekungan Air Tanah;
b.  Keputusan  a quo  bertentangan  dengan Undang-Undang  Republik
Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Juncto Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
c.  Keputusan a quo bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan;
d.  Keputusan a quo bertentangan dengan Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2030 Juncto Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2011 tentang Penetapan Cekungan Air Tanah;
e.  Keputusan a quo bertentangan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Tahun 2011-2031 Juncto Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun  2011  tentang Penetapan Cekungan  Air Tanah;
f.   Keputusan a quo bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik;
Penjelasan dari point a-f, di atas bisa dilihat di bagian E.1-E.6 gugatan ini;
3.  Bahwa dalam Keputusan a quo terdapat kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi sebagai berikut:
a.  Bahwa dalam dokumen ANDAL, ditemukan informasi sebagai berikut:
-             Halaman I-10: “areal penambangan merupakan kawasan karst yang memiliki beberapa mata  air  sehingga dikategorikan kawasan lindung sehingga perlu dikaji kelas-kelas karst yang boleh ditambang”;
-             Halaman II-19: “Di kawasan IUP merupakan kawasan imbuhan/resapan air tanah, tempat masuknya air ketika terjadi hujan menuju akuifer yang dikeluarkan dalam bentuk mata air”;
-             Berdasarkan hasil pemetaan dengan metode APLIS terdapat dua kategori imbuhan air tanah sedang (40-60%) dan imbuhan air tanah tinggi (60-80): Imbuhan sedang – Karstifikasi sedang, Imbuhan tinggi – Karstifikasi tinggi;

-  Halaman    III-20:    “Kawasan    UP    sebagian besar merupakan
kawasan resapan air yang air tanahnya mengarah ke arah timur atau di Desa Tahunan, Kecamatan Sale”;
-  Halaman III-20: “Maka dari itu perlu diketahui hubungan antara daerah resapan IUP ini dengan mata air di bagian timur yang merupakan mata air tahunan yaitu pada Sumber Semen dan Brubulan”;
-  Halaman III-20: “Daerah imbuh mata air Sumber Semen 635 l/detik seluas 7500 ha. Sumber Brubulan 100 l/dt seluas 220 ha”;
-  Halaman III-25: “Di daerah IUP: akuifer semi conduit, air meresap ke dalam lembah, masuk ke dalam lorong gua dan keluar  menjadi mata air. Berdasarkan  hasil  pengeboran  terdapat rongga (baca: gua)”;
-  Halaman III-30: “Mata air Brubulan mempunyai daerah tangkapan di IUP sebesar 40% berdasarkan interpretasi foto”;
-  Halaman III-38: “Mata air Brubulan Pesucen adalah mata air vital bagi masyarakat khususnya untuk mandi, mencuci dan irigasi”
-  Halaman III-78: Kawasan karst Tegaldowo;
1.      Mengalami proses pelarutan;
2.      Membentuk struktur pelarutan seperti lekukan dan rongga- rongga dalam berbagai ukuran;
3.      Membentuk sistem perguaan ciri utama karst;
-  Bahwa berdasarkan data-data di atas, tim penyusun Amdal menyimpulkan (halaman III-80):
1.  Bahwa lokasi petak termasuk kawasan budidaya. Lokasi kawasan kars lindung berada di luar petak rencana penambangan;
2.  Bahwa tidak ditemukan mata air, goa, baik basah maupun kering di dalam petak;
3.  Bahwa daerah penambangan bukan termasuk dalam kawasan kars lindung sehingga dapat dilakukan penambangan daerah penyelidikan;
Bahwa kesimpulan ANDAL yang menjadi dasar keluarnya SK Kelayakan Lingkungan yang kemudian menjadi dasar keluarnya Izin Lingkungan ternyata tidak berdasarkan informasi yang benar;
b.  Bahwa masyarakat bersama dengan tim Kementerian Lingkungan Hidup pada bulan Juli 2014 telah melakukan kunjungan lapangan  di area cekungan air tanah Watuputih, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang. Dalam kunjungan tersebut, masyarakat dan tim KLH  telah menemukan satu titik ponor yang berada dalam kawasan Izin Usaha Penambangan (IUP) PT Semen Gresik (Persero) Tbk,  sejak  20 Desember 2012 menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk;
i                        
                       Bahwa beberapa warga (Jumadi, Suroso, bersama warga lainnya) yang tergabung dalam 
                    Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Rembang pada 
                  tanggal 12 Agustus 2014 telah melakukan penelusuran lapangan di area CAT Watuputih, 
                    Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, dan menemukan dua titik 
                    ponor yang berada di kawasan IUP PT Semen Gresik (Persero) Tbk,  sejak  20 Desember 
                          2012 menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk;
 
1.  Bahwa selain cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi, Keputusan a quo bertentangan dengan asas partisipatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf k Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan  Lingkungan,  yang  berbunyi:    Yang  dimaksud  dengan
“asas partisipatif” adalah bahwa setiap  anggota masyarakat   didorong
untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung”;
Terkait dengan izin lingkungan, lebih lanjut dalam Pasal 39, berbunyi: “Ayat (1), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib mengumumkan setiap permohonan dan keputusan izin lingkungan”;
Ayat (2), Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  dilakukan dengan cara yang mudah diketahui oleh masyarakat; Penjelasan pasal 39 (1) Undang-Undang PPLH menyatakan bahwa tujuan “mengumumkan permohonan izin dengan cara yang mudah diketahui masyarakat” adalah memungkinkan peran serta masyarakat, khususnya yang belum menggunakan kesempatan dalam prosedur keberatan, dengar pendapat, dan lain-lain dalam proses pengambilan keputusan izin;
Bahwa dalam kasus ini, dengar pendapat tidak dilakukan, pengumuman tidak dilakukan, keberatan masyarakat yang ditunjukkan melalui beberapa protes tidak dihiraukan, bahkan keberatan resmi tidak menjadi pertimbangan;
Bahwa berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di atas Keputusan a quo bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
      Keputusan a quo bertentangan dengan Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2030 Juncto  Keputusan  Presiden  Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2011 tentang  Penetapan  Cekungan  Air Tanah;
1.  Bahwa Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010- 2030, pasal 30 berbunyi “Pola ruang wilayah provinsi menggambarkan rencana sebaran kawasan lindung dan kawasan budidaya”;
2.  Bahwa Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010- 2030, pasal 31 berbunyi: “Kawasan Lindung sebagaimana dimaksud pada pasal 30, meliputi:

a.  Kawasan     yang     memberi     perlindungan     terhadap   kawasan
bawahannya;
b.  Kawasan perlindungan setempat;
c.  Kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan kawasan cagar budaya;
d.  Kawasan rencana bencana alam;
e.  Kawasan Lindung Geologi;
f.   Kawasan lindung lainnya”;
3.  Bahwa Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010- 2030, di dalam pasal 40 dijelaskan “kawasan sekitar mata air sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 huruf d, tersebar di kabupaten/kota yang memiliki mata air”;
4.  Bahwa Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010- 2030, pasal 60 berbunyi: “Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 huruf e, terdiri dari:
a.   Kawasan lindung kars;
b.   Kawasan cagar alam geologi;
c.   Kawasan imbuhan air”;
Lebih lanjut dalam pasal 63 berbunyi: “Kawasan Imbuhan Air sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 huruf c, meliputi kawasan resapan air tanah pada Cekungan Majenang, Cekungan Sidareja, Cekungan Nusa Kambangan, Cekungan Cilacap, Cekungan Kroya, Cekungan Banyumudal, Cekungan Purwokerto-Purbalingga, Cekungan Kebumen-Purworejo, Cekungan Wonosobo, Cekungan Magelang-Temanggung, Cekungan Karanganyar-Boyolali, Cekungan Belimbing, Cekungan Eromoko, Cekungan Giritontro, Cekungan Semarang-Demak, Cekungan Randublatung, Cekungan Watuputih, Cekungan Lasem, Cekungan Pati-Rembang, Cekungan Kudus, Cekungan Jepara, Cekungan Ungaran, Cekungan Sidomulyo, Cekungan Rawapening, Cekungan Salatiga, Cekungan Kendal, Cekungan Subah, Cekungan Karang Kobar, Cekungan Pekalongan- Pemalang, Cekungan Tegal-Brebes, Cekungan Lebaksiu”;
5.  Bahwa Keputusan Presiden Republik Indonesia  Nomor 26  Tahun 2011 tentang Penetapan Cekungan Air Tanah, di dalam lampiran I, Daftar Cekungan Air Tanah (CAT) Di Indonesia, di point 124 disebut Cekungan  Air Tanah Watuputih, di  koordinat (bujur)  III  029'  0.73"   - 1110 32' 56.27", koordinat (lintang) - 060 50' 41.56" - 60 50' 41.56",  seluas 31 km2, di Kabupaten Rembang dan Blora, masuk dalam kategori B;
6.  Bahwa dengan demikian, Cekungan Air Tanah Watuputih adalah kawasan imbuhan air yang merupakan bagian dari kawasan lindung geologi;
7.  Bahwa wilayah pertambangan PT Semen Gresik  (Persero) Tbk, sejak  20  Desember 2012  menjadi PT   Semen Indonesia   (Persero)   Tbk , yang memperoleh izin berdasarkan SK a quo tumpang tindih dengan Cekungan Air Tanah Watuputih;
8.  Bahwa Cekungan Watuputih adalah kawasan lindung geologi yang seharusnya dilindungi sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2030;
9.  Bahwa hasil penelitian Air Bawah Tanah di Gunung Watuputih oleh Dinas Pertambangan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah pada Maret 1998 dijelaskan bahwa Gunung Watuputih dan  sekitarnya secara fisiografis tergolong dalam tipe bentang alam karst. Terdapat fenomena alam unik dengan adanya goa-goa alam dan sungai bawah tanah;
Bahwa berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di atas dan hasil penelitian ESDM Jateng, Keputusan a quo bertentangan dengan Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2030;
      Keputusan a quo bertentangan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Tahun 2011- 2031;
1.  Bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Tahun 2011-2031, Pasal 19 berbunyi: “Kawasan Lindung Geologi sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (2) huruf f berupa kawasan imbuhan air meliputi:
a.  Cekungan Watuputih; dan
b.  Cekungan Lasem;
2.  Bahwa dengan demikian, Cekungan Air Tanah Watuputih adalah kawasan imbuhan air yang merupakan bagian dari kawasan lindung geologi;

3.  Bahwa   di dalam dokumen ANDAL disebutkan rencana    penggunaan
lokasi penambangan Batu Gamping di Desa Tegaldowo, Kajar, Kecamatan Gunem akan menggunakan luas lahan 520 ha. Padahal dalam Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011, pasal 27 ayat (2) dinyatakan: “Peruntukan industri besar seluas kurang lebih 869 ha (delapan ratus enam puluh sembilan hektar)  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a.  Kawasan industri Rembang seluas kurang lebih 173 ha (seratus tujuh puluh tiga hektar) berada di Desa Pasarbanggi Kecamatan Rembang;
b.  Kawasan industri Sluke seluas kurang lebih 291 ha (dua ratus sembilan puluh satu hektar) berada di Desa Leran dan Trahan Kecamatan Sluke dan seluas kurang lebih 200 ha (dua ratus hektar) di Desa Sendangmulyo Kecamatan Sluke; dan
c.  Kawasan industri pertambangan seluas kurang lebih 205 ha (dua ratus lima hektar) berada di wilayah Kecamatan Gunem”;
4.  Bahwa dalam rencana penggunaan lokasi penambangan Batu Gamping di Desa Tegaldowo, Kajar, Kecamatan Gunem di dalam dokumen ANDAL disebutkan akan menggunakan luas lahan 520 ha. Angka ini jauh lebih besar dari luas peruntukan yang diatur dalam Pasal 27 di atas yaitu seluas  205 ha;
5.  Bahwa dalam Pasal 27 ayat 2 huruf c disebutkan bahwa peruntukan industri besar kawasan industri pertambangan seluas kurang lebih 205 hektar berada di wilayah Kecamatan Gunem. Tetapi fakta di lapangan bahwa lokasi tapak pabrik industri pertambangan tersebut seluas  21,13 hektar berada di Desa Kadiwono, Kecamatan Bulu;
6.  Bahwa hasil penelitian Air Bawah Tanah di Gunung Watuputih oleh Dinas Pertambangan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah pada Maret 1998 menyebutkan bahwa Gunung Watuputih dan sekitarnya secara fisiografis tergolong dalam tipe bentang alam karst. Terdapat fenomena alam unik dengan adanya goa-goa alam dan sungai bawah tanah;
7.  Bahwa Keputusan a quo memberikan izin lingkungan kepada PT Semen Gresik (Persero) Tbk -sejak 20  Desember 2012 menjadi     PT Semen Indonesia (Persero) Tbk untuk melakukan kegiatan: pertama, penambangan batu kapur; kedua, penambangan tanah liat; ketiga membangun pabrik dan utilitas; keempat membangun jalan     produksi
dan  kelima,  membangun  jalan  tambang.  Kelima  kegiatan   tersebut
berada di kawasan imbuhan air yang merupakan kawasan lindung geologi;
Bahwa berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di atas dan hasil penelitian ESDM Jateng, Keputusan a quo bertentangan dengan Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2030;
      Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan Asas- Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB);
1.  Bahwa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 53 ayat (2) huruf b, berbunyi “Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik”. Lebih lanjut, penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf b tersebut, berbunyi: “yang dimaksud dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah meliputi asas: kepastian hukum; tertib penyelenggaraan negara; keterbukaan; proporsionalitas; profesionalitas; akuntabilitas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme”;
2.  Bahwa menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dalam Penjelasan Pasal 3, yang dimaksud dengan asas-asas dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah:
a.  Asas Kepastian Hukum;
Yang dimaksud dengan Asas Kepastian Hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara;
Bahwa Keputusan a quo yang dikeluarkan Tergugat tanpa memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,  yaitu: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air Juncto Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun  2011  tentang Penetapan Cekungan  Air Tanah, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007   tentang   Penataan   Ruang   Juncto   Peraturan   Pemerintah

Republik  Indonesia  Nomor 26  Tahun  2008  tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2030 Juncto Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2011 tentang Penetapan Cekungan Air Tanah, Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Tahun 2011-2031 Juncto Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2011 Tentang Penetapan Cekungan Air Tanah, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum;
b.  Asas Tertib Penyelenggara Negara;
Yang dimaksud dengan Asas Tertib Penyelenggara Negara adalah asas yang menjadi landasan         keteraturan,       keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara; Bahwa                       keputusan   a   quo       yang   dikeluarkan   Tergugat    telah bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku yang menimbulkan          ketidakteraturan, ketidakserasian, dan ketidakseimbangan penyelenggaraan negara;
c.  Asas Kepentingan Umum;
Yang dimaksud dengan "Asas Kepentingan Umum" adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif;
Bahwa keputusan a quo yang dikeluarkan Tergugat tidak mendahulukan kepentingan umum, kesejahteraan masyarakat, dan keberlanjutan lingkungan. Beroperasinya pabrik semen   PT Semen Gresik  (Persero) Tbk, sejak  20  Desember 2012  menjadi PT   Semen Indonesia   (Persero)   Tbk akan mengakibatkan masyarakat kehilangan mata pencahariannya, hilang/berkurangnya sumber- sumber air, dan pencemaran lingkungan lainnya;
Bahwa proses keluarnya keputusan a quo yang dikeluarkan Tergugat juga tidak aspiratif, akomodatif, dan selektif dengan tidak melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Akibatnya, hingga gugatan ini diajukan, situasi di tapak pabrik tidak kondusif;
d.  Asas Keterbukaan;
Asas  Keterbukaan  adalah  asas  yang membuka  diri  terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan  tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara;
Bahwa tidak ada upaya dari Tergugat untuk memberikan informasi langsung kepada masyarakat disaat keputusan a quo tersebut dikeluarkan. Para Penggugat dan masyarakat Rembang pada umumnya baru mengetahui keberadaan dari keputusan a quo pada saat mengajukan permohonan akses informasi;

e.  Asas Proporsionalitas;
Asas Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara; Asas Proporsionalitas ini memerintahkan kepada tergugat untuk memberikan ruang partisipasi kepada para penggugat seperti hak atas informasi dan hak atas partisipasi;
Bahwa Asas Proporsionalitas tidak dipenuhi oleh Tergugat sehingga merugikan Para Penggugat;
Bahwa keberadaan keputusan a quo Tergugat membuktikan Tergugat tidak proporsional dalam menjalankan kewenangannya. Bahwa pihak PT Semen Gresik (Persero) Tbk, sejak 20   Desember 2012 menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk telah melanggar prosedur perizinan dan tidak mendapat sanksi apapun. Dengan demikian keputusan a quo Tergugat telah melanggar Asas Proporsionalitas;
f.   Asas Profesionalitas
Asas Profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Bahwa sebagaimana terurai di atas, keputusan a quo dibuat tidak dengan mendasarkan pada peraturan dan perundangan yang berlaku, dengan demikian nyata-nyata Tergugat tidak bertindak profesional dalam membuat Keputusan a quo. Keputusan a quo dikeluarkan tergugat berdasarkan penilaian yang tidak professional terhadap AMDAL yang ternyata mengandung cacat hukum, kekeliruan,    penyalahgunaan,    serta    ketidakbenaran     dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;
Bertolak dari kedua pendapat tersebut, Majelis Hakim berpendapat bahwa:
1.  CAT merupakan suatu wilayah tertentu tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung, sehingga ketentuan Pasal 40 ayat (1) dan (2) mencakup untuk wilayah CAT;
2.  Asas kehati-hatian dan asas kecermatan dari Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) memberi arah kepada penyelenggara negara agar lebih mengutamakan “menghindari potensi kerusakan/bahaya daripada mengambil manfaat”. Dengan kata lain, untuk mendapatkan manfaat wajib menjauhi potensi kerusakan;
Bahwa dari pertimbangan tersebut, Majelis Hakim berpendapat bahwa kegiatan penambangan dan pengeboran di atas CAT pada prinsipnya tidak dibenarkan. Namun demikian, untuk kepentingan bangsa dan negara yang sangat strategis dapat dikecualikan dengan pembatasan yang sangat ketat dan cara-cara tertentu serta terukur agar tidak mengganggu sistem akuifer. Penentuan Izin Lingkungan selayaknya dilengkapi dengan persetujuan pejabat yang menetapkan status kawasan. Persetujuan berfungsi sebagai kebijakan dan politik lingkungan dan pembangunan, serta urgensi kepentingan bangsa dan negara;
Bahwa oleh karena itu, penyusun AMDAL perlu memperhatikan tuntutan Asas-asas  Umum  Pemerintahan  yang  Baik  (AUPB)  yang  telah    disinggung sebelumnya  untuk  memuat  pembatasan  dan  tata  cara  penambangan   yang dapat mendekripsikan dan menjamin bahwa kegiatan penambangan tidak mengancam rusaknya sistem akuifer pada kawasan tersebut dan terancamnya lingkungan hidup masyarakat. Tentu tidak layak apabila kegiatan penambangan pada kawasan CAT dilakukan dengan cara yang sama dengan penambangan pada kawasan lain bukan CAT. Selain itu, pada beberapa bagian dokumen AMDAL tidak memperlihatkan solusi yang konkret dan tidak tergambar cara alternatif penanggulannya terhadap masalah kebutuhan warga, antara lain kekurangan air bersih dan kebutuhan pertanian. Hal ini tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan dan asas kelestarian, asas kehati-hatian, serta asas kecermatan dalam penyusunan AMDAL yang dijadikan pendukung utama penerbitan objek sengketa;
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas terbukti penyusunan dokumen AMDAL mengandung cacat prosedur, sehingga keputusan objek sengketa yang diterbitkan berdasarkan dokumen AMDAL tersebut secara mutatis mutandis mengandung cacat yuridis pula. Oleh karena itu, patut dinyatakan batal;
Menimbang, bahwa mengenai permohonan penundaan pelaksanaan keputusan objek sengketa tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan dalam tingkat peninjauan kembali ini karena dengan putusan ini sudah tidak ada lagi proses litigasi;
Menimbang, bahwa Mahkamah Agung telah membaca dan mempelajari Jawaban Memori Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Termohon  Peninjauan Kembali, tetapi tidak ditemukan dalil yang dapat melemahkan dalil Memori Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka menurut Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali;
Menimbang, bahwa oleh sebab itu putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha    Negara    Surabaya    Nomor    135/B/2015/PT.TUN.SBY.,    tanggal    3 November 2015 yang menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Nomor 064/G/2014/PTUN.SMG, tanggal 16 April 2015, tidak dapat dipertahankan dan harus dibatalkan. Mahkamah Agung mengadili kembali perkara ini sebagaimana disebut dalam amar putusan di bawah ini;

MENGADILI,

Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon  Peninjauan   Kembali:   1.   JOKO   PRIANTO,   2.   SUKIMIN,   3.     SUYASIR,
4. RUTONO, 5. SUJONO, 6. SULIJAN, dan 7. YAYASAN WAHANA LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA tersebut;
Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya Nomor 135/B/2015/PT.TUN.SBY., tanggal 3 November 2015 yang menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Nomor 064/G/2014/PTUN.SMG, tanggal 16 April 2015;

MENGADILI KEMBALI,

1.      Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya;
2.      Menyatakan batal Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012, tanggal 7 Juni 2012, tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh PT Semen Gresik (Persero) Tbk, di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah;
3.      Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012, tanggal 7 Juni 2012, tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh PT Semen Gresik (Persero) Tbk,  di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah;
(Sumber; PUTUSAN MA Nomor 99 PK/TUN/2016)