Sabtu, 31 Agustus 2019

Hasil Investigasi GAN INTEGRITY


https://www.ganintegrity.com/portal/country-profiles/indonesia/
Konstitusi Indonesia mengatur kebebasan berbicara dan pers, tetapi elemen-elemen dalam pemerintah berupaya untuk membatasi hak-hak ini menggunakan undang-undang pencemaran nama baik dan penistaan ​​(HRR 2016). Lingkungan media terbuka dan bersemangat dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ini; laporan media tentang kebijakan pemerintah seringkali sangat kritis (BTI 2016). Kebebasan pers dibatasi oleh ketentuan hukum dan peraturan (FitW 2016). Hukum pengkhianatan dan penistaan ​​agama sering digunakan untuk menekan mereka yang mengkritik pemerintah dan pasukan keamanan (FitW 2016); menyebabkan beberapa wartawan melakukan swasensor (FotP 2016). Pemilik pribadi dari banyak media memengaruhi nada liputan (FotP 2016). Kepemilikan asing atas media penyiaran dilarang, dan wartawan terkadang mengalami serangan fisik dan pelecehan oleh aktor negara dan non-negara (FotP 2016). Undang-undang penistaan ​​telah digunakan terhadap pengguna internet oleh pemerintah (FotP 2016). Lingkungan media dianggap ‘sebagian bebas’ (FotP 2016).

Indonesia memiliki salah satu masyarakat sipil paling bersemangat di Asia (BTI 2016). Aktivisme masyarakat sipil telah meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir; sebagian besar kelompok secara terbuka mengkritik kebijakan pemerintah, protes terhadap korupsi, dan memberikan perwakilan untuk orang miskin (BTI 2016). Kelompok-kelompok masyarakat sipil mengomentari kebijakan dan dapat menggunakan pengaruhnya (FitW 2016). Namun, organisasi dengan pandangan yang dianggap 'ekstrem' tunduk pada pemantauan pemerintah (FitW 2016)

Kamis, 22 Agustus 2019

Memahami Praktik-Praktik Yang Memicu Tindak Pidana Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah

Link https//bppk.kemenkeu.go.id/id/publikasi/artikel/147-artikel-anggaran-dan-perbendaharaan/20096-memahami-praktik-praktik-yang-memicu-tindak-pidana-dalam-pengadaan-barang-dan-jasa-pemerintah

Oleh: Dwi Ari Wibawa, SIP, M.M
Widyaiswara Muda
Abstraks
Pengadaan barang dan jasa yang baik diperlukan dalam menunjang berjalannya roda perekonomian bangsa. Berbagai temuan dan laporan dari aparat pemeriksa banyak menunjukkan penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa ini. Penyimpangan ini ditandai dengan banyaknya kasus penanganan tindak pidana yang ditangani oleh aparat hukum.
Ada beberapa praktik yang memicu tindak pidana dalam pengadaan barang dan jasa antara lain penyuapan, memecah atau menggabung paket, penggelembungan harga, mengurangi kualitas dan kuantitas barang dan jasa, penunjukan langsung, kolusi antara penyedia dan pengelola pengadaan barang dan jasa.
Untuk mengantisipasi berbagai resiko pengadaan barang dan jasa tersebut dapat dilakukan antara lain dengan menghindari resiko yaitu dengan mengimplementasikan pengadaan barang dan jasa yang tepat, memindahkan resiko kepada pihak lain yaitu dengan meminta penjelasan tertulis (fatwa) untuk permasalahan-permasalahan yang tidak jelas, atau dengan mengurangi resiko yaitu dengan melibatkan tenaga ahli sebagai penerima barang, melibatkan konsultan hukum dalam merancang kontrak, memperkuat sistem pengawasan internal dari KPA atau PPK.
Kata Kunci: Risiko, Pidana, Pengadaan
Pendahuluan
Pembangunan sarana maupun prasarana dalam menunjang roda perekonomian dan pelayanan masyarakat di Indonesia menjadi sebuah keharusan. Pembangunan sarana dan prasarana ini tentunya harus diimbangi dengan pengadaan barang dan jasa yang baik. Namun dalam pelaksanaannya seringkali dijumpai berbagai penyimpangan dalam proses pengadaan barang dan jasa Pemerintah. Berdasarkan berbagai data yang ada, kerugian keuangan negara yang ditimbulkan akibat penyimpangan terhadap ketentuan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah ternyata nilainya luar biasa besar. BPKP menyatakan bahwa jika dilihat dari belanja barang dan jasa Pemerintah telah terjadi kebocoran rata-rata 30% atau sekitar 25 Triliun Rupiah. Angka tersebut diperhitungkan hanya berdasarkan dari anggaran Pemerintah pusat saja dan belum diperhitungkan dengan anggaran pemerintah daerah.(Amirudin : 2010)
Penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa Pemerintah diindikasikan dengan banyaknya penanganan tindak pidana korupsi terkait pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun oleh penegak hukum lain di Indonesia. KPK menyatakan, kasus korupsiyang paling banyak dilakukan pejabat pemerintah umumnya dalam proyek pengadaan barang dan jasa. Pada periode 2004-2010, 44 persen kasus korupsi yang ditangani KPK merupakan kasus pengadaan barang dan jasa. Pengadaan barang dan jasa merupakan jenis korupsi tertinggi yang ditangani KPK. Tertinggi kedua adalah Kasus penyuapan yang mencapai 29 persen (http://www.merdeka.com).
Penyimpangan dalam proses pengadaan barang dan jasa yang merugikan keuangan negara merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi. Definisi korupsi itu sendiri diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Definisi didalam pasal tersebut memuat unsur-unsur; secara melawan hukum; memperkaya diri sendiri; orang lain atau suatu korporasi; yang dapat menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.
Faktor-faktor yang menjadikan pengadaan barang dan jasa sebagai ladang subur praktek korupsi, diantaranya adalah banyaknya uang yang beredar, tertutupnya kontak antara penyedia jasa dan panitia lelang dan banyaknya prosedur lelang yang harus diikuti. Proses pengadaan ini walaupun tercium adanya indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), tetapi pembuktiannya sangat sulit karena sistem administrasi dari pemberi dan penerima pekerjaan ini sangatlah rapi. Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu dilakukan proses yang terbuka dalam pengadaan barang dan jasa. Proses yang transparan ini akan memberikan kesempatan yang sama kepada penyedia barang dan jasa dan dalam pelaksanaannya akan mendapatkan pengawasan dari masyarakat (KPK : 2007)
Praktik yang Memicu Tindak Pidana dalam Pengadaan barang dan jasa
Terdapat 3 (tiga) unsur untuk dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, Pertama, menyalahgunakan kewenangannya, kedua, memberikan keuntungan baik kepada diri sendiri maupun orang lain, dan ketiga, menimbulkan kerugian keuangan negara. Bila proses yang sedang berjalan, walaupun belum final/akhir, namun sudah ada indikasi atau "dugaan kuat" adanya penyimpangan bisa atau dapat dikategorikan pelanggaran terhadap UU Korupsi.
Berikut adalah beberapa perbuatan yang bisa memicu terjadinya tindak pidana pada pengadaan barang dan jasa pemerintah antara lain :
a. Penyuapan
Menyuap adalah usaha yang dilakukan sesorang untuk mempengaruhi pejabat pemerintah (pengambil keputusan) supaya melakukan tindakan tertentu atau supaya tidak melakukan tindakan tertentu dengan memberikan imbalan uang atau benda berharga lainnya. Tindak pidana suap merupakan tindak pidana yang berada dalam satu jenis dengan tindak pidana korupsi dan merupakan jenis tindak pidana yang sudah sangat tua. Penyuapan sebagai istilah sehari-hari yang dituangkan dalam Undang-Undang adalah sebagai suatu hadiah atau janji ("giften" atau "beloften") yang diberikan atau diterima. Pelaku penyuapan dikategorikan menjadi penyuapan aktif (active omkoping) adalah jenis penyuapan yang pelakunya sebagai pemberi hadiah atau janji, sedang penyuapan pasif (passive omkoping) adalah jenis penyuapan yang pelakunya sebagai penerima hadiah atau janji.
Penyuapan biasanya dilakukan oleh rekanan kepada bupati, walikota, gubernur, dirjen, menteri, pengguna anggaran, kuasa pengguna anggaran, pejabat pembuat komitmen, panitia penerima barang dan jasa, atau kepada anggota pokja ULP. Tujuan penyuapan ini adalah agar pengelola pengadaan memenangkan penawaran dari rekanan, supaya pengelola kegiatan menerima barang/jasa yang diserahkan rekanan dimana kualitas dan atau kuantitasnya lebih rendah dibandingkan yang diperjanjikan dalam kontrak.
Larangan penyuapan diatur pada pasal 6 Perpres 54 tahun 2010 jo Perpres 70 tahun 2012 yaitu berkaitan dengan etika pengadaan. Para pihak yang terkait dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa harus mematuhi etika sebagai berikut :
a. melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk mencapai sasaran, kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan Pengadaan Barang/Jasa;
b. bekerja secara profesional dan mandiri, serta menjaga kerahasiaan Dokumen Pengadaan Barang/Jasa yang menurut sifatnya harus dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam Pengadaan Barang/Jasa;
c. tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung yang berakibat terjadinya persaingan tidak sehat;
d. menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak;
e. menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses Pengadaan Barang/Jasa;
f. menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam Pengadaan Barang/Jasa;
g. menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara; dan
h. tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa.
Ancaman hukuman terhadap penerima suap diatur pada pasal 418 KUHP :
Seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji itu ada hubungannya dengan jabatannya, diancam dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Sedangkan pada pasal 419 KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun apabila seorang pejabat :
1. Menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk menggerakkan supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya
2. Yang menerima hadiah mengetahui bahwa hadiah itu diberikan sebagai akibat atau oleh karena si penerima telah melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Kemudian pada UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupssi ancaman hukuman terhadap penerima suap disebutkan :
Pasal 11
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pa sal 418 KUHP, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan denda paling sedikit Rp.50.000.000 dan paling banyak Rp.250.000.000,-
Pasal 12
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 419, pasal 420, pasal 423, pasal 425 atau pasal 435 KUHP dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 dan paling banyak 1.000.000.000.
Ada beberapa kasus yang menyeret pelaku suap ini ke jeruji penjara, antara lain korupsi pengadaan alat-alat kesehatan atas nama Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Barat dr. HL Sekarningrat. Pengadilan Negeri Mataram dalam putusan No. 274/PID.B/2004/PN.MTR tanggal 17 Pebruari 2005 memutusakan bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima sejumlah fee proyek dari rekanan dengan janji atau hadiah yang berhubungan dengan jabatannya Pidana penjara 5 bulan dan denda 10 juta Rupiah subsider bulan kurungan.
b. Menggabungkan atau memecah paket pekerjaan
Berkaitan dengan pemaketan pekerjaan Perpres 54 tahun 2010 pada pasal 24 ayat 3 mengatur prosedur sebagai berikut :
Dalam melakukan pemaketan Barang/Jasa, PA dilarang:
a. menyatukan atau memusatkan beberapa kegiatan yang tersebar di beberapa lokasi/daerah yang menurut sifat pekerjaan dan tingkat efisiensinya seharusnya dilakukan di beberapa lokasi/daerah masing-masing;
b. menyatukan beberapa paket pengadaan yang menurut sifat dan jenis pekerjaannya bisa dipisahkan dan/atau besaran nilainya seharusnya dilakukan oleh Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta koperasi kecil;
c. memecah Pengadaan Barang/Jasa menjadi beberapa paket dengan maksud menghindari pelelangan; dan/atau
d. menentukan kriteria, persyaratan atau prosedur pengadaan yang diskriminatif dan/atau dengan pertimbangan yang tidak obyektif.

Pemecahan atau penggabungan paket bisa dilakukan dengan pertimbangan yang jelas dan sesuai dengan prinsip pengadaan yang efektif dan efisien. Pemecahan paket dapat dilakukan karena perbedaan target penyedia, perbedaan lokasi penerima/pengguna barang yang cukup signifikan, atau perbedaan waktu pemakaian dari barang dan jasa tersebut. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Undang-undang Nomor 31 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mengatur ancaman perbuatan menggabungkan atau memecah paket. Pada perpres 54 tahun 2010 jo Perpres 70 tahun 2012 juga tidak ada ancaman terhadap penggabungan atau pemecahan paket. Ancaman tindak pidana muncul apabila dapat dibuktikan bahwa pemecahan atau penggabungan paket tersebut diikuti dengan praktek penggelembungan harga. Apabila hal ini terjadi maka praktek penggelembungan harga inilah yang diancam hukuman.
c. Penggelumbungan harga
Merujuk pada Perpres 54 tahun 2010 diatur mengenai etika pengadaan dimana pada pasal 6 disebutkan salah satunya adalah menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang dan jasa. Etika pengadaan tersebut menegaskan bahwa rekanan maupun pengelola pengadaan secara tegas dilarang melaksanakan pengadaan barang/jasa yang dapat mengakibatkan pemborosan keuangan negara. Semua peristiwa tindak pidana pengadaan barang dan jasa hampir selalu mengakibatkan pemborosan.
Praktek penggelembungan harga ini diawali dari penentuan HPS yang terlalu tinggi karena penawaran harga peserta lelang/seleksi tidak boleh melebihi HPS sebagaimana diatur pada pasal 66 Perepres 54 tahun 2010 dimana HPS adalah dasar untuk menetapkan batas tertinggi penawaran yang sah untuk Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/JasaLainnya dan Pengadaan Jasa Konsultansi yang menggunakan metode Pagu Anggaran. Penyusunan HPS dikalkulasikan secara keahlian berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan.
Contoh penyimpangan yang dapat terjadi dapat dilihat dalam kasus pengadaan alat pendidikan dokter di di Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan (BPPSDMK) pada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2010, yang mana Kejaksaan Agung telah menetapkan 3 tersangkanya. Dalam kasus ini diduga telah terjadi rekayasa harga dalam tender pengadaan alat pendidikan dokter tersebut Tersangka Widianto Aim berperan membuat penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang tidak profesional terkait tender pengadaan alat pendidikan dokter rumah sakit tersebut. Kemudian tersangka Syamsul Bahri sebagai Kasubag Program dan Anggaran (PA) juga terkait dalam penetapan HPS dalam tender tersebut. Terakhir, tersangka Bantu Marpaung sebagai pemenang tender terkait dalam penetapan HPS tender tersebut.
Kasus mark up yang lain misalnya mark-up pada pengadaan dua unit Helikopter jenis MI-2 buatan Rostov-Rusia oleh Pemda NAD dengan terdakwa Sdr. Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si. (mantan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam). Pengadilan Tipikor dan diperkuat oleh MA telah memvonis Ir. H. Abdullah Puteh 10 tahun penjara, uang pengganti 4,5 miliar rupiah dan denda 0,5 miliar rupiah. Terdakwa dipidana 10 tahun penjara dan harus membayar uang pengganti 4,5 miliar rupiah dan denda 0,5 miliar rupiah.
d. Mengurangi kuantitas dan atau kualitas barang dan jasa
Dalam setiap pengadaan barang dan jasa senantiasa diikuti dengan bukti perjanjian baik dalam bentuk Surat Perjanjian/kontrak maupun Surat Perintah Kerja (SPK). Kontrak adalah bentuk kesepakatan tertulis antara penyedia dan pengguna barang/jasa tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dalam kontrak selalu diatur tentang kuantitas dan kualitas barang dan jasa yang diperjanjikan, sehingga setiap usaha untuk mengurangi kuantitas atau kualitas barang dan jasa adalah tindak pidana.
Pengurangan kuantitas dan kualitas ini seringkali dilakukan bersamaan dengan pemalsuan dokumen berita acara serah terima barang, dimana penyerahan barang diikuti berita acara yang menyatakan bahwa penyerahan barang telah dilakukan sesuai dengan kontrak. Terhadap hal ini KUHP pada pasal 263 menyatakan :
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan, seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Pada Perpres 54 tahun 2010 pada pasal 18 diatur tentang tugas pokok dan kewenangan dari Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP), dimana PPHP mempunyai tugas pokok dan kewenangan sebagai berikut :
a. melakukan pemeriksaan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Kontrak;
b. menerima hasil Pengadaan Barang/Jasa setelah melalui pemeriksaan/pengujian; dan
c. membuat dan menandatangani Berita Acara Serah TerimaHasil Pekerjaan.
Secara legal formal tanggung jawab untuk menyatakan bahwa barang atau jasa yang diserahkan telah sesuai dengan kontrak baik kualitas maupun kuantitasnya adalah PPHP. Namun secara material penyedia barang dan jasa juga harus bertanggungjawab terhadap kekurangan ini. Penyedia yang melakukan kecurangan ini bisa dikenai tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 7 UU 20 Tahun 2001 merujuk pada Pasal 387 dan Pasal 388 KUHP yang kualifikasinya adalah melakukan perbuatan curang bagi pemborong, ahli bangunan dan pengawas, sehingga membahayakan keamanan orang atau barang dan membahayakan keselamatan negara
Perbuatan curang yang dilakukan adalah pemborong misalnya melakukan pembangunan suatu bangunan tidak sesuai atau menyalahi ketentuan yang sudah diatur dan disepakati yang tertuang dalam surat perjanjian kerja atau leveransir, bahan bangunan yang dipesan/dibeli darinya tidak sesuai dengan yang diperjanjikan. Perbutan curang ini tidak perlu mengakibatkan bangunan itu roboh atau negara menjadi betul-betul bahaya, karena dalam unsurnya dikatakan "dapat membahayakan keamanan orang atau barang dan membahayakan keselamatan negara"
e. Penunjukan langsung
Penunjukan langsung adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa dengan menunjuk langsung 1 penyedia barang/jasa yang memenuhi syarat. Dalam Perpres 54 tahun 2010 pasal 38 menyebutkan bahwa penunjukan langsung dapat dilakukan dalam hal:
a. keadaan tertentu; dan/atau
b. pengadaan Barang khusus/Pekerjaan Konstruksi khusus/Jasa Lainnya yang bersifat khusus.
Penunjukan langsung dapat dilakukan sepanjang memenuhi kriteria yang diuraikan secara ketat pada pasal 38 dan pasal 44. Penunjukan langsung yang terjadi diluar yang telah ditetapkan dalam Perpres tersebut adalah ilegal. Dalam beberapa kasus penunjukan langsung ini juga diikuti dengan pengelembungan harga, karena tentu harus ada fee yang diberikan penyedia barang/jasa sebagai ucapan terimakasih kepada pejabat yang menunjuk.
Beberapa kasus penunjukan langsung yang terjadi seperti kasus pengadaan dan pembelian pesawat terbang jenis Fokker 27 seri 600, dengan putusan No. 43 K/Pid/2007, atas nama terdakwa Drs. David Agustein Hubi. Dalam kasus ini, pelaksanaan proyek pengadaan dan pembelian pesawat terbang tersebut tidak berpedoman pada Keppres No. 18 tahun 2000 (merupakan peraturan yang berlaku pada saat kejadian berlangsung) tentang pengadaan barang dan jasa, dimana proyek yang telah dilaksanakan tidak dilengkapi dengan SPK (Surat Perintah Kerja) maupun Kontrak Kerja akan tetapi hanya mendasari dengan surat perjanjian saja, disisi lain dalam pelaksanaan proyek tidak dilakukan tender dan analisa kewajaran harga. Terdakwa didakwa telah melanggar Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP. Pengadilan Negeri Menghukum Terdakwa atas ketiga perbuatan tersebut dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan Denda sebesar Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan. Oleh pengadilan tinggi, hukuman ini ditambah menjadi pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan membayar uang pengganti kepada Negara sebesar Rp. 1.661.000.000,- (satu milyar enam ratus enam puluh satu juta rupiah).
f. Kolusi antara penyedia dan pengelola pengadaan.
Kolusi yang bisa memicu terjadinya tindak pidana antara lain
a. Membuat spesifikasi barang/jasa yang mengarah ke rekanan tertentu
b. Mengatur/Merekayasa Proses Pengadaan
c. Membuat syarat-syarat untuk membatasi peserta lelang
Pada Perpres 54 tahun 2010 pada pasal 24 disebutkan tentang pelarangan menentukan kriteria, persyaratan atau prosedur pengadaan yang diskriminatif dan/atau dengan pertimbangan yang tidak obyektif.
Kemudian pada pasal 56 juga disebutkan :
Perbuatan atau tindakan penyedia Barang/Jasa yang dapat dikenakan sanksi adalah:
a. berusaha mempengaruhi ULP/Pejabat Pengadaan/pihak lain yang berwenang dalam bentuk dan cara apapun, baik langsung maupun tidak langsung guna memenuhi keinginannya yang bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pengadaan/Kontrak, dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. melakukan persekongkolan dengan Penyedia Barang/Jasa lain untuk mengatur Harga Penawaran diluar prosedur pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa, sehingga mengurangi/menghambat/memperkecil dan/ atau meniadakan persaingan yang sehat dan/atau merugikan orang lain;
Muara dari kolusi tersebut adalah peniadaan kompetisi dalam pengadaan barang dan jasa. Kompetisi dalam pengadaan publik berarti penyedia secara independen bersaing untuk menawarkan barang/jasa dalam suatu proses pemilihan. Kompetisi yang sehat merupakan elemen kunci yang akan menghasilkan penawaran yang paling menguntungkan bagi pemerintah khususnya harga paling rendah dan kualitas barang yang paling baik. Bagi penyedia kompetisi berfungsi sebagai pendorong penting tumbuhnya inovasi produk barang/jasa untuk menghasilkan produk terbaik dengan harga bersaing. Kompetisi hanya bisa tercapai jika tidak ada kolusi dalam tender, salah satu masalah yang paling menonjol dalam korupsi pengadaan di sektor publik. Penyedia akan bersaing dengan sehat ketika mereka yakin bahwa mereka disediakan semua informasi yang sama dan akan dievaluasi dengan metode evaluasi yang tidak diskriminatif, serta tersedia mekanisme untuk melakukan sanggahan terhadap keputusan hasil evaluasi.
Beberapa contoh praktek persyaratan yang diskriminatif antara lain peserta tender harus menunjukkan saldo kas dengan jumlah tertentu, Laporan keuangan peserta tender harus sudah diaudit KAP, Peserta harus memiliki rekening pada bank tertentu. Dalam Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah maka Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang melakukan penyimpangan dapat dikenai sanksi sebagaimana dirumuskan Pasal 118 : apabila terjadi pelanggaran dan/atau kecurangan dalam proses Pengadaan Barang/Jasa, maka Unit Layanan Pengadaan (ULP) dikenakan sanksi administrasi, dituntut ganti rugi; dan/atau dilaporkan secara pidana.

Penutup
Dengan memahami praktik-praktik yang memicu tindakan pidana dalam pengadaan barang dan jasa diatas diharapkan para pengelola pengadaan barang dan jasa dapat mengantisipasi resiko pidana tersebut. Resiko pidana dapat diantisipasi dengan beberapa jalan
1. Menghindari resiko, dapat dilakukan dengan mengimplementasikan pengadaan barang dan jasa yang tepat sesuai Perpres 54 tahun 2010 jo Perpres 35 tahun 2011 jo Perpres 70 tahun 2012 serta aturan-aturan pelaksanaannya.
2. Memindahkan resiko kepada pihak lain, dapat dilakukan dengan meminta penjelasan tertulis (fatwa) untuk permasalahan-permasalahan yang tidak jelas kepada lembaga yang berkompenten seperti BPK, BPKP, LKPP, KPK dan pihak lain yang berkompenten.
3. Mengurangi resiko, dapat dilakukan dengan melibatkan tenaga ahli sebagai penerima barang, melibatkan konsultan hukum dalam merancang kontrak, memperkuat sistem pengawasan internal dari KPA atau PPK.
Daftar Pustaka
1. Amirudin. 2012 Analisis Pola Pemberantasan Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa
2. Muhammad Jasin dkk. 2007. Memahami untuk melayani, Melaksanakan E-Announcement dan E-Procurement dalam Sistem Pengadaan Barang dan Jasa. Komisi Pemberantasan Korupsi
3. Indonesia Procurement Watch. 2011 Laporan Survey Jejak Suap dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
4. Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 jo Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
5. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
6. Suswinarno Ak, MM. 2013 Mengantisipasi Resiko dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
7. www.pantau-pengadaan.org. Kajian Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah dari Perspektif Hukum Pidana dan Kriminologi
8. http://www.merdeka.com

Kamis, 04 Juli 2019

KONDUSIFITAS PENGELOLAAN ANGGARAN DANA ALOKASI KHUSUS KOTA DUMAI T.A. 2019

Bukan tanpa alasan KPK melakukan penggeledahan Rumah Dinas Walikota Dumai dan menetapkan Zulkifli AS sebagai tersangka, Mafia Anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) bukan lagi menjadi istilah yang rahasia bagi masyarakat Indonesia.Tidak tanggung-tangung dalam kasus mafia anggaran ini selain Walikota Dumai telah ditetapkan sebagai tersangka, eks Anggota DPR Amin Santono telah ditetapkan menjadi terpidana dengan hukuman kurungan penjara selama 8 (delapan) tahun http://sipp.pn-jakartapusat.go.id/index.php/detil_perkara, dan eks Pejabat Kemenkeu Yaya Purnomo telah ditetapkan menjadi terpidana dengan hukuman kurungan penjara selama 6 (enam) tahun 6 (enam) bulan  http://sipp.pn-jakartapusat.go.id/index.php/detil_perkara . Selain itu pengusaha Ahmad Ghiast juga telah menjadi terpidana dengan hukuman kurungan penjara selama 2 (dua) tahun http://sipp.pn-jakartapusat.go.id/index.php/detil_perkara .

Pengelolaan Anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) sangat tidak kondusif, baik dari rencana penganggaran maupun dalam penggunaan nya. Jika dari Rencana Penganggaran telah melekat istilah predikat Mafia Anggaran, bagaimana dengan pengelolaan nya di daerah, apakah ada istilahMafia Pengelolaan Anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK). Hal ini sangat menarik untuk dilakukan analisa serta megungkap bukti-bukti mafia pengelolaan Anggaran DAK di daerah.


Analisa yang dilakukan oleh tim investigasi Social Civil Society (SCS) Pra pelelangan sampai dengan Pasca pelelangan yang dilaksanakan oleh Kelompok Kerja (pokja) pelelangan pekerjaan Kota dumai yang sumber Anggarannya berasal dari Dana Alokasi Khusus (DAK) patut diduga telah terjadi penyimpangan. Penyimpangan ini terjadi pada saat Penetapan hasil Perencanaan Produk, Penetapan dokumen pelelangan hingga penetapan Hasil Pemenang Pelelangan.

Pertama kita akan mencoba mengurai hasil analisa dari indikasi Penyimpangan Penetapan Hasil Perencanaan Produk, tim investigasi mengambil sample Produk Pekerjaan Jalan yang ada di Kota Dumai yang sumber anggaran nya dari Dana Alokasi Khusus (DAK) TA 2019, telah terjadi Dugaan Mark Up dalam penetapan Kuantitas dan Harga Satuan pada Rencana Anggaran Biaya, Ketidak pastian Spesifikasi teknis yang telah ditetapkan dalam Penetapan Hasil Perencanaan Produk.


Kedua, tim investigasi menganalisa Penetapan dokumen pelelangan, pada dokumen pelelangan PPK bersama Pokja Kota Dumai menetapkan dokumen pelelangan yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku tentang pengadaan barang jasa pemerintah, salah satu contoh jenis kontrak yang ditetapkan dalam dokumen pelelangan adalah jenis kontrak harga satuan, pada BAB IV lembaran data pemilih LDP PPK tidak menguraikan Pekerjaan Utama, PPK menyatakan semua yang ada di RAB merupakan Pekerjaan Utama, pada saat penjelasan dokumen lelang, salah satu penyedia mempertanyakan kepada POKJA untuk berkoordinasi dengan PPK mohon diuraikan kembali jenis pekerjaan utama, atas pertanyaan tersebut Pokja telah berkoordinasi dengan PPK dan memberikan jawaban yang sama seperti dokumen pelelangan awal. Pertanyaan penyedia ini muncul untuk mengantisipasi tindakan diskriminatif serta cara pandang subjectif pokja dalam tahapan evaluasi teknis.


Ketiga, tim investigasi menganalisa kinerja Pokja Pengadaan, sejak diumumkannya pelelangan di halaman lpse.dumaikota.go.id/eproc4/  hingga penetapan pemenang pelelangan, tim investigasi melihat terlalu sering nya terjadi perubahan waktu pelelangan dengan alasan bahwa evaluasi belum selesai dilaksanakan. Halaman lpse.dumaikota.go.id/eproc4/  sering mengalami error. Sehingga tahapan evaluasi, pembuktian kualifikasi, penetapan pemenang dan pengumuman pemenang mengalami perpanjangan hingga 3 kali perubahan.








Keempat, tim investigasi melakukan analisa dari hasil evaluasi penawaran setelah diumumkannya pemenang lelang, dari hasil investigasi yang dilakukan tim menemukan alasan Pokja menggugurkan penawaran penyedia, salah satu nya adalahMetoda Pelaksanaan tidak menjelaskan / menguraikan item Divisi I.Umum Tentang manajemen dan keselamatan Lalu Lintas serta tidak juga menguraikan kewajiban iuran ketenagakerjaan sesuai yang ada Pada RAB Atau Bill Of Quantity (BOQ). dari hasil evaluasi tersebut jelas dugaan tim investigasi sangat beralasan pada poin kedua. Dimana salah satu penyedia mempertanyakan uraian dari pekerjaan utama. Agar penyedia yang memasukkan penawaran tidak dapat digugurkan pada metode penawaran untuk item Divisi I. Umum. Sesuai dengan dokumen lelang jenis kontrak adalah harga satuan hingga akhir pemasukkan penawaran jenis kontrak ini tidak ada perubahan, jika ada perubahan jenis kontrak yakni jenis kontrak adalah harga satuan gabungan lunsump maka Pokja berhak menggugurkan penyedia pada metode untuk item Divisi I. Umum. Jadi asumsi pekerjaan utama yang dimaksud oleh penyedia adalah dimana harga satuan nya bukan lunsump (LS). Hal ini telah sesuai dengan dokumen lelang baik pada BAB III maupun BAB IV. Tindakan diskriminisasi dan ketidak profesionalan Pokja pada tahap evaluasi mengakibatkan penyedia yang telah menawar terendah digugurkan dengan alasan yang sangat subjektif dan sangat diskriminitasi, hal ini jelas telah bertentangan dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum & Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 7/PRT/M/2019 Tahun 2019 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia dan Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 Tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah. Potensi Dugaan Kerugian Negara telah terjadi sejak tahap evaluasi hingga pengumuman pelelangan.

Tindakan diskriminisasi dan alasan subjektif  yang dilakukan oleh Pokja dan PPK akan menimbulkan dampak tidak kondusifnya penggunaan Anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) TA 2019.  Hal ini dibuktikan adanya laporan dari masyarakat yang masuk kepada Social Civil Society (SCS). Laporan yang diterima sejak tanggal 3 Juli 2019 telah diteruskan kepada tim investigasi agar ditindak lanjuti dengan mengumpulkan bukti petunjuk serta bukti lainnya untuk mengungkap adanya MAFIA PENGELOLAAN ANGGARAN DAK TAHUN 2019 DIKOTA DUMAI.

Agar kondusifitas pengelolaan Anggaran tetap terjaga sebagaimana mestinya, perlu nya tindakan diskriminasi maupun pemahaman yang subjektif tidak melekat pada Person PPK dan POKJA yang terlibat dalam pengelolaan anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) TA 2019. Hal ini menjadi harapan masyarakat khususnya yang bergerak dibidang penyedia dan masyarakat umum kota dumai, jika tindakan diskriminasi dan cara pandang subjektif PPK dan Pokja masih melekat pada diri nya maka dikmeudian hari akan berdampak kepada hasil produk akhir dan juga akan berakibat hukum lainnya dikemudian hari. red(em-scs)


Referensi;
Operasi Tangkap Tangan tersangka YAYA PURNOMO dalam kasus mafia anggaran DAK
Sabtu 05 Mei 2018, 23:58 WIB

Putusan terpidana YAYA PURNOMO
Senin, 04 Februari 2019
M E N G A D I L I :
  1. Menyatakan bahwa Terdakwa YAYA PURNOMO terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Korupsi Secara Bersama-sama dan Berlanjut sebagaimana dalam Dakwaan Pertama Kesatu dan “ Korupsi Secara Bersama-sama dan berbarangan Sebagaimana dalam Dakwaan Kedua”
  2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa YAYA PURNOMO dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun 6 (enam) bulan, dan pidana denda sebesar Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) tahun 15 (lima belas) hari;
  3. Menetapkan lama Penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari Pidana yang dijatuhkan;
  4. Menetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan;
  5. Mennyatakan barang bukti berupa; terlampir dalam putusan perkara;
  6. Membebani Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.7.500,- (tujuh ribu lima ratus);
Penggeledahan Rumah Dinas Walikota Dumai Zulkifli AS Oleh KPK
Jumat, 26 April 2019 16:27
Konferensi Pers KPK Penetapan Tersangka Zulkifli AS terkait Kasus Mafia Anggaran DAK
Jumat, 3 Mei 2019 17:22


Selasa, 02 Juli 2019

AKIBAT HUKUM AMP TIDAK MEMILIKI SERTIFIKAT LAIK OPERASI

Kepada PPK dan Pokja tahun anggaran 2019 lebih cermat dalam penysunan dokumen awal serta dokumen pelelangan, akibat hukum jika PPK maupun Pokja baik secara sengaja maupun tidak sengaja turut serta dalam memfasilitasi salah satu penyedia untuk fasilitas menjadi pemenang pada paket tender adalah terkena sanksi administrasi, sanksi denda atau sanksi pidana. 

PPK dan Pokja merupakan ujung tombak untuk menjaga kondusifitas dalam penggunaan keuangan Negara, sejak tahun 2015 sampai dengan akhir tahun 2018 telah banyak pejabat pengadaan menjadi terpidana dalam kasus Tindak Pidana Korupsi. Merupakan harapan besar oleh masyarakat Dumai khusus nya dan Riau umumnya untuk tahun – tahun berikutnya pejabat pengadaan tidak lagi menjadi terpidana kasus TIPIKOR.

Bahwa merujuk Putusan Perkara Nomor: 02/KPPU-L/2015 Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia tanggal 15 September 2015 (http://www.kppu.go.id/docs/Putusan/2015/Putusan_2-L-2015-up30102015.pdf) Majelis Komisi memutuskan Tentang Diktum Putusan dan Penutup, bahwa berdasarkan fakta-fakta, penilaian, analisis dan kesimpulan di atas, serta dengan mengingat Pasal 43 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Majelis Komisi MEMUTUSKAN:
Menyatakan bahwa Terlapor I (Pejabat Pembuat Komitmen), Terlapor II (Pokja Pengadaan Pekerjaan Konstruksi), Terlapor III (Penyedia), Terlapor IV (Penyedia), Terlapor V (Penyedia), Terlapor VI (Penyedia), Terlapor VII (Penyedia) dan Terlapor VIII (Penyedia) terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
Keputusan tersebut didasarkan kepada syarat Objek Hukum dan Keterangan Saksi Ahli, dalam hal ini yang paling menarik adalah menyampaikan Keterangan Saksi Ahli dalam menyikapi perkara Nomor: 02/KPPU-L/2015, agar masyarakat yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah khusus dibidang konstruksi spesifikasi pekerjaan jalan hotmix lebih cermat untuk tidak tersandung kasus hukum.
A.  Bahwa pada tanggal 8 Juni 2015, Majelis Komisi melaksanakan Sidang Majelis Komisi dengan agenda Pemeriksaan Saksi Sdr. Ir. Bambang Hartadi, MPM selaku Kepala Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional IV Direktorat Jenderal Bina Marga Kementrian Pekerjaan Umum, Saksi di bawah sumpah yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:
1.  Bahwa Bahwa Saksi diangkat sebagai Kepala Balai Besar IV sejak Pertengahan bulan Januari 2012 dengan cakupan wilayah Banten, Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat;
2.  Bahwa secara teknis Kepala Balai bertanggung jawab kepada Dirjen Bina Marga;
3.  Bahwa tugas dari Kepala Balai diatur dalam Peraturan Menteri Nomor 21/PRT/M/2010 tanggal 31 Desember 2010, yakni melaksanakan perencanaan pengadaan, peningkatan kapasitas dan preservasi jalan nasional, penerapan sistem manajemen mutu dan pengendalian mutu pelaksanaan pekerjaan serta penyediaan bahan dan peralatan jalan dan jembatan;
4.  Bahwa dalam susunan balai ada 11 (sebelas) Balai dan hal tersebut di bagi dengan 2 (dua) kategori yaitu adalah ada 3 (tiga) balai type B dan 8 (delapan) balai dengan type A (Balai Besar);
5.  Bahwa Surat Edaran No. 01/SE-BV/2013 tanggal 31 Januari 2013 dibuat oleh Saksi dengan maksud agar penyedia jasa dapat memberikan hasil yang terbaik dari hasil pekerjaannya dan mengingatkan kepada para pihak kontraktor agar melaksanakan pekerjaan dengan menggunakan AMP yang harus sudah tersertifikasi laik operasi;
6.  Bahwa dasar hukum dari surat edaran tersebut ialah Permen No. 21/PRT/M/2010, Surat Edaran Dirjen Bina Marga No. 01/SE/Db/2012 tanggal 24 Januari 2012 perihal Penyampaian Buku Spesifikasi Umum Penyediaan Pekerjaan Konstruksi, Surat edaran Dirjen Bina Marga No. 17/SE/Db/2012 tanggal 21 November 2012, Surat dirjen Nomor Um.0103-Db/1126 tanggal 17 Desember 2007, Surat Dirjen Nomor Um 01.03-Db/65.3 tanggal 02 April 2009, Keputusan Ditjen No. 13/kpb/Db/2009 tanggal 02 April 2009, Keputusan Ditjen No. 13/ kpb/Db/2009 tanggal 02 April 2009, dan Petunjuk teknis Konstruksi dan bangunan No. 001/BM/2009;
7.  Bahwa tidak mungkin ada Balai yang tidak tersosialisasikan terkait peraturan tersebut;
8.  Bahwa walaupun tidak ada surat edaran tersendiri sebagai pengingat yang diterbitkan Balai, seluruh jajaran harus tunduk kepada peraturan tersebut;
9.  Bahwa sosialisasi terkait peraturan-peraturan baru diantara Kepala Besar Balai seluruh Indonesia biasanya dikoordinir oleh Dirjen Bina Marga;
10.         Bahwa tidak ada pertaturan lain setelah Peraturan Menteri Nomor 21/PRT/M/2010;
11.         Bahwa pada tahun 2013, Pokja-pokja diangkat oleh ULP (Kepala Balai), namun untuk Tahun 2015 ditunjuk oleh Menteri Pekerjaan Umum;
12.         Bahwa yang membuat RKS ialah Pokja dan diketahui oleh ULP untuk sebelum Tahun 2015;
13.         Bahwa sertifikasi alat AMP laik operasi diunduh peserta tender pada saat mendaftar sebagai peserta tender;
14.         Bahwa pentingnya sertifikasi AMP ialah agar menjamin hasil dari AMP tersebut sesuai dengan kualitas yang baik;
15.         Bahwa masa berlaku sertifikat laik operasi tersebut selama 2 (dua) tahun tetapi apabila AMP tersebut dilakukan mobilisasi maka harus dilakukan sertifikasi ulang;
16.         Bahwa di Balai IV, Sertifikat layak operasi itu wajib, sehingga pada saat tidak ada sertifikat layak operasi maka perusahaan tersebut akan gugur;
17.         Bahwa AMP mutlak harus sudah tersertifikasi laik operasi dan apabila AMP tidak melakukan sertifikasi laik operasi maka tidak boleh mengikuti tender;
18.         Bahwa tidak diperbolehkan pemenang tender dengan AMP yang baru setengah persen dirakit;
19.         Bahwa ketika ada perusahaan ikut tender dan pada saat itu perusahaan tersebut baru membeli AMP baru yang belum di rakit dan belum ada sertifikasi laik operasi, maka tidak mungkin mengikuti tender;
20.         Bahwa apabila memiliki AMP di Jakarta lalu mengikuti tender di daerah Batam dan memindahkan AMP tersebut ke Batam, maka AMP harus disertifikasi laik operasi setiap dipindahkan (dimobilisasi) letaknya;
21.         Bahwa ada Tim di Balai yang mengetahui cara menentukan kalkulasi waktu mobilisasi AMP yang bertugas memeriksa AMP, mereka mengetahui berapa lama membongkar AMP dan merakit ulang AMP tersebut, juga mempunyai acuan untuk hal tersebut;
22.         Bahwa tidak bisa dilakukan sertifikasi laik operasi pada saat pelaksanaan pekerjaan tender;
23.         Bahwa tidak dapat diketahui secara persis hasil AMP baik apabila sudah ada pemenang lelang tetapi sertifikasi alat AMP tersebut belum dilakukan uji layak operasi;
24.         Bahwa SBD (Standar Bidding Document) yang sama adalah peraturan yang dipakai untuk menyeleksi peserta tender;
25.         Bahwa Saksi mencoba mengilustrasikan populasi AMP di wilayah IV sangat banyak yaitu Balai melakukan pendataan guna memudahkan pengendali kualitas mutu pekerjaan sesuai dengan spek;
26.         .Bahwa untuk mengantisipasi agar hasil dari AMP tersebut sesuai dengan kualitas yang baik makanya sertifikasi laik operasi tersebut penting dilaksanakan;
27.         Bahwa Saksi hanya melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan yang ada.;

B.  Bahwa pada tanggal 6 Juli 2015, Majelis Komisi melaksanakan Sidang Majelis Komisi dengan agenda Pemeriksaan Ahli dari LKPP, yang dalam pemeriksaan SALINANdihadiri oleh Sdr. Ahmad Zikrullah selaku Kepala Sub Bagian Bimbingan dan Layanan Pengadaan I LKPP. Ahli dibawah sumpah yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut :
1.  Bahwa Ahli bertugas di Kementerian Keuangan di Bagian Bimbingan dan Layanan Pengadaan dan Ketua Pokja ULP Sekjen di Kementerian Keuangan serta Pembina dan konsultan Pengadaan di lingkungan Kementerian Keuangan. Memiliki sertifikasi Ahli Pengadaan Barang dan Jasa, Sertifikasi training of trainer dan sertifikasi Pengadaan Barang dan Jasa dan sertifikasi ToT PBJ LKPP, juga pernah berpengalaman sebagai panitia (pokja) di bidang jasa konstruksi;
2.  Bahwa pada perkara a quopemenang lelang ditetapkan tanggal 17 Februari 2014 dan pelelangan mulai bulan Desember 2013, yang berwenang menetapkan spesifik teknis yaitu PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) karena PPK harus memahami secara pasti output dan spek teknis yang dibutuhkan guna mendapatkan hasil yang diinginkan. Peraturan yang dipakai adalah Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 14/PRT/M/2013 tentang Perubahan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 07/PRT/M/2011 tentang Standar Dan Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Dan Jasa Konsultansi;
3.  Bahwa tupoksi dari PPK dan Pokja ialah menyusun dari RPP (Rencana Pelaksanaan Pengadaan) yang isinya HPS, draft kontrak dan spek teknis, setelah PPK menyusun RPP maka melimpahkan kepada Pokja, setelah itu Pokja ULP melakukan tender dari pengumuman, melakukan evaluasi sampai mendapatkan pemenang tender;
4.  Bahwa dalam melakukan evaluasi Pokja membagi dengan 2 kelompok besar yaitu evaluasi kualifikasi dan evaluasi dokumen penawaran, Evaluasi Kualifikasi ituterkait evaluasi dari kelayakan suatu perusahaan peserta tender, hal itu ada dalam Pasal 19 tentang kelayakan wajib pajak, sedangkan Dokumen penawaran ada 3 kelompok yaitu dari evaluasi adminitrasi (surat penawaran seperti tanggal surat dan lain-lain), evaluasi harga dan evaluasi teknis. Kalau untuk sertifikasi AMP tersebut masuk dalam kategori spek teknis;
5.  Bahwa ketika PPK alpa dalam memasukan persyaratan sertifikat laik operasi, harusnya PPK bisa melakukan ralat dan menambahkannya di aanwizing.Sumber permasalahan pertama ada di PPK, apabila PPK sudah menyatakan dari awal AMP harus bersertifikat laik operasi maka panitia pasti akan memenangkan peserta yang hanya bersertifikat laik operasi, kepemilikan sertifikat laik operasi sangat penting untuk output dari kegiatan;
6.  Bahwa pada pelaksanaan tender a quo terdapat apa yang tertulis di dalam dokumen dan apa yang seharusnya ada di Perppres, tidak boleh menambah persyaratan apabila menimbulkan persaingan tidak sehat. Namun apabila yang ditambah adalah spek penting, itu diperbolehkan. Dalam dokumen lelang yang tidak mewajibkan adanya dokumen sertifikasi, perlu dilihat lagi mengapa tidak mensyaratkan hal tersebut;
7.  Bahwa ketika penyedia/ peserta memasukan dokumen, maka sertifikasi laik operasi tersebut seharusnya dilampirkan . sertifikasi itu suatu yang penting. Ketika disyaratkan harus terpenuhi, sederhananya pemenang haruslah peserta yang bisa memenuhi semua persyaratan;
8.  Bahwa spek teknis AMP itu harus memiliki sertifikasi laik operasi yang diterbitkan oleh Dinas PU terkait di wilayah masing-masing;
9.  Bahwa dalam pelaksanaan pekerjaan jalan menetapkan standar sertifikasi laik operasi adalah wajib dan apabila AMP sudah disertifikasi seharusnya sudah ready to use (siap untuk digunakan);
10.         Bahwa klarifikasi tidak diperlukan apabila dari awal tidak memiliki sertifikasi laik operasi, gugurkan saja;
11.         Bahwa terkait perbedaan pengadaan barang dan jasa, Perpres mengklasifikasi terhadap 4 tahap yaitu : Barang, Pekerjaan Konstruksi, Jasa konsultasi dan jasa lainnya. Perbedaan itu terdapat dalam substansi pelaksanaanya, pekerjaan barang, pekerjaan konstruksi dan jasa lainnya di klasifikasi yang sama, yang membedakan mereka itu adalah pada tahap evaluasi dan substansi yang di evaluasi. Sedangkan untuk pekerjaan barang dan jasa itu adalah evaluasi barang itu sendiri sesuai dengan spek teknis barang itu sendiri, sedangkan untuk konstruksi itu ada sisi barangnya, ada sisi peralatan ada sisi sumber daya sehingga lebih kompleks dibanding yang lain. Tetapi hal itu pada dasarnya proses dan tahapannya itu sama saja;
12.         Bahwa Surat Edaran Kementerian Pekerjaan Umum No. 01/SE-BV/2013 tanggal 31 Januari 2013 yang menyatakan: “mewajibkan peserta lelang yang mengajukan penawaran pekerjaan jasa konstruksi jalan untuk melampirkan sertifikasi kelaikan operasi peralatan AMP (Asphalt Mixing Plant) pada dokumen penawaran dan melaksanakan inspeksi lapangan dalam rangka mengevaluasi jarak lokasi peralatan AMP dengan lokasi pekerjaan yang bertujuan meminimalkan penurunan suhu hotmix di lokasi pekerjaan, sesuai dengan spesifikasi umum edisi 2010, revisi 1 divisi 6 sub bab 6.3.4 mengenai ketentuan instalasi campuran aspal, maka persyaratan kepemilikan AMP yang bersertifikat laik operasi merupakan persyaratan yang mutlak dan wajib diikuti karena peralatan AMP yang digunakan sangat berpengaruh pada hasil produksi hotmix, dapat diajukan sebagai acuan dalam tender;
13.         Bahwa perlu di pastikan surat edaran PU No. 01/SE-BV/2013 tanggal 31 Januari 2013, adalah surat edaran itu mencakup terkait wilayah tertentu atau tidak;
14.         Bahwa bagi penyedia yang bersalah dari luar daerah, dia harus mempertimbangkan apakah dia harus menyewa AMP milik orang lain atau membawa AMP nya ke daerah lelang. Sertifikasi dan AMP terkait dengan jarak. Ketentuan pengadaan harus tegas menyatakan ketentuan sertifikasi laik operasi sudah tertuang dalam spek. Ketika penyedia dari luar kota, dia harus mengupayakan berbagai hal agar persyaratan spek bisa terpenuhi;
15.         Bahwa penyedia daerah manapun bisa mengikuti tender di seluruh Indonesia, tapi harus mengingat waktu dan jarak untuk mengupayakan pemenuhuan spek. Sertifikasi itu mutlak bagi pemiliki AMP;
16.         Bahwa Pasal 6 Perppres 7/2010, menjelaskan tentang menghindari terjadinya afiliasi kepentingan. Pada intinya, hal-hal yang bisa memunculkan persaingan usaha yang tidak sehat harusnya dihindari. Apabila Pokja menemukan unsur-unsur, adanya beberapa perusahan yang terafiliasi maka fungsi pokja dalam proses evaluasi seharusnya dilakukan :
17.         Bahwa Pokja bertugas untuk melakukan klarifikasi dan evaluasi. Pokja harus memastikan tidak ada pertentangan kepentingan antara peserta yang mengikuti tender yang sama:

C.  Bahwa pada tanggal 6 Juli 2015, Majelis Komisi melaksanakan Sidang Majelis Komisi dengan agenda Pemeriksaan Ahli, yang dalam pemeriksaan dihadiri oleh Sdri. Ir. Subaiha Kipli,M.T selaku Kepala Bidang Pengendalian Sistem Pelaksanaan Pengujian dan Peralatan (PSP3) di Direktorat Jenderal Bina Marga Kementrian Pekerjaan Umum, Ahli diampingi oleh Sdr. Howardy, S.T., M.T. dan Sdr.Ali Kahfi Anuyazid. Ahli dibawah sumpah yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut ;
1.  Bahwa terdapat 2 (dua) jenis pekerjaan jalan yang dikerjakan secara umum, yakni rigid dan flexsible;
2.  Bahwa AMP terdir dari 2 (dua) jenis, yaitu AMP takaran dan AMP Continous. Sejak tahun 2010 AMP Continous sudah tidak dipakai lagi sedangkan sekarang yang dipakai AMP Takaran dengan kapasitas 50-60 ton/jam;
3.  Bahwa untuk membangun suatu AMP harus dilihat pengurusan beberapa perizianan IMB dan izin lingkungan. Izin lingkungan itu ada waktunya sekitar 100(seratus) hari kerja, setelah itu pekerjaan persiapan ini kurang lebih 5 (lima) hari kerja. Setelah itu melakukan pemandatan pondasi atau tapak pondasi yang menggunakan beton, dan melakukan pengecoran. Setelah itu baru memasang AMP. Setelah itumelakukan trial mix. Lalu dilakukan sertifikasi. Apabila komponen-komponen sudah ada di lokasi dan lahan juga tidak ada permasalahan maka hal ini dapat dilakuakan dengan waktu 68 (enam puluh delapan) hari (dengan umur beton 28 (dua puluh delapan) hari yang normal). Jadi total pekerjaan 68 (enam puluh delapan) hari termasuk dengan sertifikasi AMP. Hal ini diluar perizinan IMB dan perizinan Lingkungan;
4.  Bahwa Proses permohonan untuk mendapatkan sertifikat laik operasi adalah sebagai berikut:
(1)    Permohonan pihak pemohon;
(2)    Undangan expose;
(3)    Persiapan pihak pemohon;
(4)    Pemeriksaan di lapangan;
(5)    Perbaikan dari pemohon terkait rekomendasi pemeriksaan di lapangan;
(6)    Bila perbaikan minor, tidak perlu peninjauan ulang;
(7)    Proses pengurusan sertifikat ke Dit. Bina Teknik;
(8)    Ada pemeriksaan dilapangan dari Dit. Bina Teknik (bila Dit. Bina Teknik memerlukan);
(9)    Perbaikan atau pemenuhan rekomendasi Dit. Bina Teknik;
(10)  Sertifikat laik operasi
5.  Bahwa untuk mengeluarkan sertikat laik operasi AMP dibutuhkan 13 (tiga belas) hari kalender sampai Direktorat Bina Teknik (optimis dalam arti pejabat-pejabat terkait ada di tempat dan Dit. Bina Teknik dapat untuk 4 (empat) hari), serta tidak ada permasalahan yang besar.Sertifikat laik operasi berlaku selama 2 (dua) tahun, kecuali overhaul (turun mesin) atau pindah lokasi (dimobilisasi);
6.  Bahwa tidak ada perbedaan instalasi dan uji coba antara AMP baru dan AMP lama yang dengan proses pemindahan (mobilisasi),untuk AMP yang memerlukan mobilisasi maka memerlukan usaha dan waktu yang lebih besar dibanding AMP yang tidak memerlukan mobilisasi. Tidak ada tingkat kegagalan dalam AMP baru, karena sudah ada penjamin dari pihak pemilik dan produsen AMP dan telah dilakukan uji coba terhadap AMP yang baru;
7.  Bahwa memungkinkan untuk AMP dapat digunakan dalam beberapa paket pekerjaan dan waktu yang bersamaan, terkait mesin AMP dan pada kapasitasnya memadai. Mutu kualitas terkait dengan material, manusia (SDM) dan alatnya. Untuk menghasilkan hasil yang sempurna dengan mutu yang baik maka pekerjaan dari hulu sampai hilir harus baik juga
8.  Bahwa pada wilayah Balai Besar IV, terdapat sekitar ada 84 buah AMP.Balai Besar IV melakukan sertifikasi laik operasi AMP apabila AMP tersebut sudah berdiri dan pemilik AMP telah melakukan trial mix. Pemeriksaan AMP dilakukan dengan 2 (dua) tahap, tahap pertama pada saat mesin AMP mati dan tahap kedua pada saat mesin AMP menyala ;
9.  Bahwa Balai Besar IV tidak pernah mengeluarkan surat bahwa alat AMP sedang dilakukan sertifikasi laik operasi AMP, sementara perusahaan yang memiliki AMP akan mengikuti tender, dikarenakan tidak ada dasar hukumnya;
Bahwa berdasarkan fakta persidangan serta bukti yang dapat mempengaruhi perilaku yang terkait conduct POKJA sebagai berikut :
a)  Bahwa POKJA telah melakukan tindakan diskriminatif pada saat evaluasi teknis pada paket I terhadap PT Pulau Bulan Indo Perkasa, pada evaluasi teknis terdapat 8 perusahaan yang lolos dan berdasarkan hasil evaluasi tersebut 2 perusahaan tidak lolos, semestinya masih terdapat 6 perusahaan yang berhak untuk dinilai dalam evaluasi harga, namun kenyatanya PT Pulau Bulan Indo Perkasa tidak terdaftar dalam tahap berikutnya yakni evaluasi harga;
b)  Bahwa PPK dan POKJA mengabaikan adanya ketentuan yang ada dalam Dokumen Pelelangan Nasional Penyediaan Pekerjaan Konstruksi (Pemborongan) Untuk Kontrak Harga Satuan BAB VII Spesifikasi Umum Edisi 2010 Revisi 2, Devisi 6, Sub bab 6.3.4 mengenai Ketentuan Instalasi Campuran Aspal, yang menyebutkan bahwa “Instalasi Pencampur Aspal harus mempunyai sertifikat laik operasi dan sertifikat kalibrasi dari metrologi untuk timbangan aspal, agregat dan bahan pengisi (filler) tambahan, yang masih berlaku;
c)  Bahwa terdapat ketentuan dalam Spesifikasi Umum Edisi 2010 Revisi 1 Divisi 6, sub bab 6.3.4 mengenai ketentuan Instalasi Campuran Aspal yang pada pokoknya mewajibkan peserta lelang yang mengajukan penawaran pekerjaan jasa konstruksi jalan untuk melampirkan Serifikasi Kelaikan Operasi Peralatan Asphalt Mixing Plant pada dokumen penawaran dan melaksanakan inspeksi lapangan dalam rangka mengevaluasi jarak lokasi peralatan Ashpalt Mixing Plant dengan lokasi pekerjaan yang bertujuan meminimalkan penurunan suhu hotmix di lokasi Pekerjaan.
d)  Bahwa PPK diduga dengan sengaja tidak memasukan persyaratan penyedia barang/jasa atau peserta tender wajib memiliki sertifikat laik operasi dalam spesifikasi teknis dokumen pengadaan untuk memfasilitasi Terlapor III, Terlapor IV, dan Terlapor V menjadi pemenang masing-masing pada Paket 1, Paket 2 dan Paket 3
    
    Penegakan hukum wajib mengacu kepada asas tekstual dan kontekstual, semoga PPK dan Pokja turut serta dalam mensukseskan pengadaan jasa pemerintah dengan mematuhi norma hukum dan norma sosial.