Dengan adanya UU No. 32 Tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah menjadi
pijakan desentralisasi yang
dilaksanakan oleh pemerintah
daerah. Otonomi daerah
adalah hak, wewenang,
dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang - undangan . Menurut
Syafiie (2006: 117)
dengan a danya kewenangan pemerintah
yang terdesentralisasi mampu
menyerahkan sebagian urusan
pemerintahannya, sehingga kekakuan
aturan dari pemerintah
pusat yang lebih
atas dapat berganti
dengan mengikutsertakan daerah - daerah, di mana
diharapkan terbentuk kerja yang optimal dan potensial . Tujuan
lain dari diterapkannya
otonomi daerah adalah
untuk mereformasi pelayanan
publik supaya daerah
dapat lebih fokus dalam mengurusi pelayanan publik di wilayahnya sendiri.
Masyarakat
sendiri setiap waktu
selalu menuntut pelayanan
publik yang berkualitas
dari birokrat, meskipun tuntutan
tersebut sering tidak sesuai dengan harapan
karena secara empiris
pelayanan publik yang
terjadi selama ini
masih bercirikan berbelit - belit, lambat,
mahal, dan melelahkan.
Dalam konteks demikian,
maka perlu suatu
sarana yang menjadi
tolok ukur pelaksanaan
maupun evaluasi pelayanan yang diberikan kepada masyarakat,
terutama menyangkut pemenuhan
kebutuhan dasar masyarakat.
Hariani (2008: 239 - 253)
menyebutkan bahwa kualitas pelayanan
publik yang diberikan
oleh lembaga birokrasi
penyelenggara layanan publik
akan dipengaruhi oleh
berbagai faktor, seperti
tingkat kompetensi aparat,
kualitas peralatan yang
digunakan untuk memproses
jenis pelayanan, budaya
birokras i, dan sebagainya .
Kompetensi aparat birokrasi
merupakan akumulasi dari
sejumlah sub variabel
seperti tingkat pendidikan,
jumlah tahun pengalaman
kerja, variasi pelatihan
yang telah diterima.
Lebih lanjut Hariani
(2008: 239 - 253) kualitas
dan kuantitas per alatan
yang digunakan akan
mempengaruhi prosedur dan
kecepatan output yang akan
dihasilkan. Dengan
pembenahan aparatur di
tingkat pemerintah daerah
ini, pelayanan publik
yang lebih baik
dan professional dalam
menjalankan apa yang
menjadi tugas dan kewenang an yang
diberikan kepadanya dapat
diwujudkan. Akan tetapi,
dari hasil survey
yang dilakukan secara serentak
oleh Ombudsman pada bulan September hingga
November 2013, didapatkan
bahwa unit pelayanan
pada tingkat Dinas
Provinsi sebanyak 60,5
persen berada da lam
kategori merah, sedangkan
unik pelayanan pada
tingkat instansi Pemerintah
Kota/Kabupaten 55,9 persen
berada dalam kategori
merah. ( www.merdeka.com diakses
11 November 2013) Dari
data tersebut masih
menunjukkan pelayanan yang
diberikan oleh aparat
pemerintah daerah masih
jauh dengan apa
yang diharapkan dalam Undang - Undang No. 25 Tahun 2009
tentang pelayanan public.
Dalam
Peraturan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara
No. 13 Tahun
2009 tentang Pedoman
Peningkatan Kualitas Pelayanan
Publik Dengan Partisipasi Masyarakat. Peraturan
tersebut menyatakan bahwa
peningkatan kualitas pelayanan
publik diperlukan untuk
m embangun kepercayaan masyarakat
terhadap aparatur
sebagai penyedia pelayanan publik
dengan menjadikan keluhan masyarakat
sebagai sarana untuk melakukan perbaikan pelayanan
publik dengan baik,
adil, dan bijaksana,
kemudian menciptakan kepuasan. Karenanya ke puasan mencerminkan
seberapa bagus kinerja
yang dilakukan oleh
birokrasi sebagai pengabdian
kepada masyarakat. Daripada
itu bagaimana cara
mewujudkan arti kepuasan
publik, bagaimana mewujudkan
pelayanan yang baik
sehingga masyarakat mampu
memberikan apresi asi yang baik
sebagai feedback.
Peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar penyusunan
dan
penetapan Standar
Pelayanan Informasi
Publik Pemerintahan sebagai berikut:
- UUD 1945 Pasal 28 F menyebutkan
bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
- Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008
pasal 13 tentang Keterbukaan Informasi Publik, menyebutkan bahwa untuk
mewujudkan pelayanan cepat, tepat, dan sederhana setiap Badan Publik wajib
menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), membuat dan
mengembangkan sistem penyediaan pelayanan informasi secara cepat, mudah, dan
wajar sesuai petunjuk teknis standar layanan informasi publik yang berlaku
secara nasional.
- Peraturan
Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik
- Peraturan Komisi
Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik
-
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;
-
Peraturan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/05/M.PAN/4/2009 tentang Pedoman
Umum Penanganan Pengaduan Masyarakat Bagi Instansi Pemerintah;
Merupakan tanggung jawab masyarakat
mengetahui untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa untuk menindak lanjuti
segala bentuk pengaduan, laporan maupun permintaan klarifikasi dari masyarakat
tidak menggunakan pandangan subjektif belaka. Bagaimana dengan pemerintah yang
digaji/upah oleh uang rakyat, jika menanggapi laporan, pengaduan serta permintaan
klarifikasi masyarakat masih bersifat subjektif, maka yang akan timbul dalam
pikiran masyarakat yang tidak menerima upah dari uang rakyat adalah sifat SPESIMIS
terhadap kinerja dan keberadaan pemerintah itu sendiri.
Agar lebih baik kinerja pemerintah
kedepan, dalam menanggapi laporan, pengaduan serta permintaan klarifikasi
masyarakat, hendaknya pemerintah membaca serta memahami isi dari laporan,
pengaduan serta permintaan klarifikasi masyarakat tersebut. Setelah dipemahaman pemerintah hendaknya menggali apa
yang telah dipahami dengan membaca secara seksama dugaan pelanggaran atau
perbuatan melawan hukum dalam sebuah kegiatan yang di laporkan, pengaduan serta
permintaan klarifikasi masyarakat . setelah ditemukan atau tida ditemukan nya
dugaan pelanggaran hukum atas laporan, pengaduan serta permintaan klarifikasi
masyarakat, maka selanjutnya pemerintah mengajak/mengundang sipelapor untuk
mendengar kan secara langsung apa yang menjadi permasalahan atas laporan,
pengaduan serta permintaan klarifikasi masyarakat kepada pemerintah. Setelah didengarkan
secara lisan oleh pemerintah, maka pemerintah dapat menyimpulkan apa yang
menjadi data serta fakta atas laporan, pengaduan serta permintaan klarifikasi
masyarakat kepada pemerintah. Atas kesimpulan tersebut pemerintah akan
menanggapi permasalahan secara objektif.
Sebagai referensi kita saat ini,
sesuai dengan surat dari Walikota Dumai nomor 503/20-1/DPMPTSP tanggal 30
Januari 2017 perihal tanggapan surat permohonan klarifikasi Social Civil
Society (SCS), bagaimana mungkin pemerintah akan dapat memberikan klarifikasi
kepada SCS, jika pemerintah dalam menanggapi perihal surat tersebut patut
diduga tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/05/M.PAN/4/2009 tentang Pedoman Umum
Penanganan Pengaduan Masyarakat Bagi Instansi Pemerintah.
Analisa
serta fungsi pengawasan yang baik merupakan tolak ukur atas kinerja pemerintah,
cara pandang subjektif hanya akan melahirkan konflik baru, jika kita mau
belajar dari perkara kasus Putusan Nomor 193/G/LH/ 2015/PTUN-JKT tentang melawan
kebijakan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dalam perkara
reklamasi pulau G dengan pokok putusan Mewajibkan Tergugat
untuk mencabut Keputusan
Gubernur Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta
Nomor : 2238
Tahun 2014 Tentang
Pemberian Izin Pelaksanaan
Reklamasi Pulau G
Kepada PT. Muara
Wisesa Samudra tertanggal 23 Desember 2014, selain itu Putusan
Nomor 99 PK/TUN/2016 mengenai Penggugat telah
mengajukan Peninjauan Kembali terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara Surabaya
Nomor 135/B/2015/PT.TUN.SBY tentang
melawan kebijakan Gubernur Jawa Tengah dengan pokok putusan Menyatakan batal
Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012, tanggal 7 Juni
2012, tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh PT Semen Gresik
(Persero) Tbk, di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah dan Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut Surat
Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012, tanggal 7 Juni 2012,
tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh PT Semen Gresik (Persero)
Tbk, di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah.
Dari
perkara tersebut diatas dapat disimpulkan betapa buruknya kinerja pemerintah, menurut Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dalam Penjelasan Pasal 3,
yang dimaksud dengan asas-asas dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah adanya Asas Kepastian Hukum, Asas Tertib Penyelenggara Negara, Asas Kepentingan Umum, Asas Keterbukaan, Asas Proporsionalitas, Asas Profesionalitas
dan Asas Akuntabilitas.
Pengadilan merupakan
tempat terakhir untuk peran serta masyarakat dalam hal menindak lanjuti dugaan
PERLAWANAN HUKUM yang dilakukan oleh pemerintah maupun Perusahaan Industri. Jika
tanggapan yang disampaikan hanya sebatas retorika BODOH, maka selanjutnya
prosedur proses hukum akan dilanjutkan sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku
di Negara Republik Indonesia. Apapun hasilnya dari proses hukum tersebut
nantinya, masyarakat selaku penggugat dan pemerintah serta perusahaan industri
selaku tergugat harus siap menerima konsekuensi hukum semua putusan yang
diputuskan oleh pengadilan.