Kamis, 09 Februari 2017

ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP...???



(Red.E).Industriawan dan pemerintah daerah dinilai masih mengabaikan masalah lingkungan. Hal ini Patut di DUGA masih adanya kawasan industri di Kota Dumai yang beroperasi tanpa terlebih dahulu memenuhi kewajiban di Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Selain itu, sejumlah industri di Dumai juga masih banyak yang belum secara rutin, yaitu enam bulan sekali, menyampaikan laporan kepada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapeko) Dumai. “Kalau sebuah kawasan industri sudah beroperasi sebelum melakukan studi Amdal, Bapeko dianggap tidak bisa berbuat apa-apa.

Analisa Kasus
Aspek Hukum Perlindungan kawasan industri di Dumai dari Pengrusakan daya dukung lingkungan adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (pasal 1 angka 2 UUPLH). Secara umum Pengelolaan secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (sustainability) dalam pemanfaatan. Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah ini memiliki kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan.
Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm UU, seperti terlihat dalam Pasal 69 UUPLH disebutkan: 
a.    Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup; 
b.      Setiap orang dilarang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; 
c.       Setiap orang dilarang memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia; 
d.      Setiap orang dilarang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; 
e.       Setiap orang dilarang membuang limbah ke media lingkungan hidup; 
f.       Setiap orang dilarang membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup; 
g.      Setiap orang dilarang melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan; 
h.      Setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar; 
i.        Setiap orang dilarang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan/atau
j.        Setiap orang dilarang memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.
Peran Pemda juga penting bertanggungjawab dalam mengatur kawasan industri.
Dalam Pasal 63 UUPLH disebutkan:
Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang: 
a.       menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota; 
b.      menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota; 
c.       menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH kabupaten/kota; 
d.      menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL; 
e.       menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat kabupaten/kota; 
f.       mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan; 
g.      mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup; 
h.      memfasilitasi penyelesaian sengketa; 
i.        melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan; 
j.        melaksanakan standar pelayanan minimal; 
k.      melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota; 
l.        mengelola informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota; 
m.    mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota; 
n.      memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan; 
o.      menerbitkan izin lingkungan pada tingkat kabupaten/kota; dan 
p.      melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.
Di Indonesia Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) diatur dalam PP No 27 tahun 1999. AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup. AMDAL sangat diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatanyang dinilai berpotensi berdampak negatif terhadap lingkungan. AMDAL sebagai salah satu instrumen proses penegakkan hukum administrasi lingkungan belum terlaksana sebagaimana mestinya. Padahal pada instrumen ini dilekatkan suatu misi mengenai kebijakan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Dalam hal perizinan juga mengatur tentang pengelolaan limbah sebagaimana tercantum dalam pasal 16-17:
Pasal 16
  1. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatan.
  1. Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menyerahkan pengelolaan limbah tersebut kepada pihak lain.
  1. Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17 :
  1. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun.
  1. Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun meliputi: menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan/atau membuang.
  1. Ketentuan mengenai pengelolaan bahan berbahaya dan beracun diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
 Upaya Hukum Kasus Pencemaran Oleh Industri
Dalam pasal 65 ayat (1) UUPLH mengakui hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Berikut kewajiban dalam pasal 65 UUPLH:
  • Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.
  • Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
  • Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.
  • Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  • Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Dalam Pasal 66 UUPLH Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Menurut Suparto Wijoyo dengan melihat ruang lingkup pasal 5 ayat (1) UUPLH merupakan argumentasi hukum yang substantive bagi seseorang untuk melakukan gugatan lingkungan terhadap pemenuhan kedua fungsi hak perseorangan termasuk forum pengadilan.
Dalam kasus pencemaran oleh kawasan industry Dumai ini memang belum ada upaya hukum yang dilakukan. Hal ini dikarenakan kurangnya peran pemerintah dalam hal pengawasan serta belum adanya keberanian masyarakat untuk mengangkat kasus ini. Walupun mereka merasakan dampak negatif dari pencemaran limbah tersebut.
Namun masyarakat ataupun LSM dapat mengajukan upaya hukum dalam menyelesaikan kasus ini. Dalam hubungan dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, penegakkan hukum dibidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu :
  1. Penegakkan hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi / Tata Usaha Negara.
  1. Penegakkan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata.
  1. Penegakkan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana
Sanksi Administrasi
Dalam No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, salah satu instrumen hukum yang berperan bila kita bicara tentang penegakkan hukum lingkungan adalah hukum administrasi. Instrumen hukum administratif berbeda dengan instrumen lainnya, oleh karena penyelesaiannya adalah di luar lembaga peradilan. Dengan demikian, efektivitasnya sangat tinggi dalam pencegahan perusakan lingkungan. Sanksi administratif tercantum dalam pasal 76
Berdasarkan ketentuan diatas pelanggar dapat diperingati agar berbuat sesuai izin dan apabila tidak, akan dikenakan sanksi yang paling keras pencabutan izin usaha perusahaan Industri yang terbukti melakukan kejahatan Lingkungan di wilayah pesisir, Kepala Daerah dapat mengajukan usul untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan kepada pejabat yang berwenang. Selain itu pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan karena merugikan kepentingannya (lihat pasal 76, 78,79 dan 80 UUPLH). Upaya adminisrtatif adalah upaya tercepat karena tidak memerlukan proses peradilan. Dalam kasus pengerusakan lingkungan upaya ini terasa lebih relevan mengingat pencemaran lingkungan hidup memerlukan upaya yang cepat agar kerugian yang ditimbulkan tidak terus bertambah.
Sanksi Perdata
Ketentuan hukum penyelesaian perdata pada sengketa lingkungan dalam UUPLH terdapat dalam pasal 87-88. Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. Pada ayat (3) Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu, hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut. Pengaturan mengenai tanggung gugat dan ganti rugi masih berlaku pasal 1365 BW.
Syarat-syarat dalam pasal 1365 antara lain:
Kesalahan
Syarat kesalahan artinya pembuat harus mempertanggung jawabkan karena telah melakuakan perbuatan melanggar hukum. Dalam UUPLH ini menganut asas tanggungjawab mutlak (strict liability). Karena terjadinya perbuatan melanggar hukum maka terjadi kesalahan dan pembuat harus mempertanggungjawabkan. Jadi misalnya kelompok masyarakat sekitar Pengambengan yang diwakili oleh LSM melakukan gugatan tentang perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran limbah, penggugat harus membuktikan adanya kesalahan dari pelanggar.

Kerugian (Schade)
Syarat lain dalam 1365 BW adalah adanya kerugian (Schade). Dlam syarat ini harus dibuktikan adanya kerugian yang ditimbulkan dari pencemaran. Pada putusan MA tanggal 2 Juni 1971 Nomor 177 K/Sip/1971 disebutkan: “Gugatan ganti rugi yang tidak dijelaskan dengan sempurna dan tidak disertai pembuktian yang meyakinkan mengenai jumlah ganti rugi yang harus diterima oleh pengadilan tidak dapat dikabulkan oleh pengadilan”
Mengenai Ganti Rugi juga diatur dalam pasal Pasal 87 UUPLH: ”Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”
Dalam UUPLH ini menganut asas tanggungjawab mutlak (strict liability). Pengertian tanggungjawab mutlak adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ini merupkan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya.
  • Asas strict liability ini dituangkan dalam pasal 88:

Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsure kesalahan.
  • Hubungan Kausal
Harus ada kaitan antara perbuatan yang melanggar hukum dengan terjadinya kerugian dengan kata lain, pembuangan limbah tersebut harus terbukti mengakibatkan adanya kerugian pengusaha berupa kematian tambak udang.
  • Relativitas
Tuntutan supaya suatu ketentuan larangan berdasarkan undang-undang atau suatu syarat dalam izin dipenuhi, hanya dapat diajukan oleh seorang yang bersangkutan atau terancam suatu kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan berdasarkan undang-undang atau ketentuan perizinan. Mengenai siapa yang berhak melakukan gugatan. Masyarakat dan Organisasi Lingkungan Hidup seperti LSM berhak untuk melakukan gugatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 91-92 UUPLH:

Sanksi Pidana
Dalam pemberian sanksi pidana UUPLH 2009 menetapkan sanksi maksimum, hal terebut tercantum dalam Pasal 98: 
1)      Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). 
2)      Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). 
3)      Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Dalam penerapan instrumen hukum pidana pada dasarnya bersifat sebagai upaya terakhir (ultimum remidium), namun dalam penegakkan hukum lingkungan tidak selamanya bersifat (ultimum remidium) karena tingkat kerusakan lingkungan di Indonesia sudah pada tingkat memprihatinkan.
Untuk adanya perbuatan pidana di bidang Lingkungan Hidup, menurut pasal 96 UUPLH ditentukan agar memenuhi syarat-syarat :
Alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan hidup terdiri atas: 
a.       keterangan saksi; 
b.      keterangan ahli; 
c.       surat; 
d.      petunjuk; 
e.       keterangan terdakwa; dan/atau 
f.       alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundangundangan.
Dalam kasus Perusakan daya dukung lingkungan di kawasan industri, perusakan dilakukan bukan oleh individu saja tetapi oleh beberapa orang atau perusahaan.
Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib sesuai pasal 119 UUPLH
Kesimpulan
Dapat ditarik kesimpulan  dari pembahasan kasus diatas adalah sebagai berikut:
  1. Aspek Hukum mengenai pencemaran di kawasan Lingkungan Industri Dumai  diatur dalam UUPLH No 32 tahun 2009 dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah Kabupaten untuk mengatur dan mengurus,dan menegakkan hukum.
  1. Upaya penegakkan hukum yang dapat dilakukan berkaitan dengan kasus pencemaran di Lingkungan Industri Kecil adalah dengan penerapan instrumen hukum secara Administratif, Hukum Perdata, dan Hukum Pidana. Jika sanksi administrasi dinilai tidak efektif, barulah dipergunakan sarana sanksi pidana sebagai senjata pamungkas.
Saran
  1. Segala bahan buangan yang beracun perlu pengolahan (treatment) dari Lingkungan Indutri Kecil tersebut terlebih dahulu sebelum dibuang ke perairan, dan perairan tempat pembuangan harus mempunyai kondisi oseanografi yang memadai. Industri-industri yang mutlak harus didirikan di wilayah ini wajib memproses bahan-bahan buangan untuk keperluan lain, sehingga dengan demikian dampak terhadap lingkungan dapat dibatasi
  1. Perlunya ketegasan pemerintah dalam menangani kasus pencemaran lingkungan hidup. Apabila upaya admisnitratif kepada perusahaan mencemari diberikan sanksi pidana agar memberikan efek jera kepada pelakunya.
  1. Selain kelembagaan pemerintah, peran kelembagaan legislatif, masyarakat/LSM, serta dunia usaha adalah penting dan harus terlibat dalam pengelolaan, utamanya pada tataran perencanaan dan monitoring/evaluasi. Dengan demikian akan tercipta suatu pengelolaan terpadu yang melibatkan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang menuju ke arah pembangunan berkelanjutan.
 Referensi : Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang PPLH