Kamis, 08 Desember 2016

GAMBARAN ABU-ABU PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA DUMAI

Semenjak Undang-Undang tentang Otonomi Daerah diterapkan persoalan kemampuan daerah secara ekonomi dan politis pun ramai diperbincangkan. Salah satu isu ekonomi yang menarik untuk didiskusikan dalam hal ini yakni seputar daya dukung sumber pendapatan daerah dalam menggantikan penerimaan yang diperoleh dari pemerintah pusat. Isu ini memang strategis mengingat pelaksanaan otonomi juga dapat diartikan sebagai kemandirian daerah dari sisi pembiayaan pembangunan.

Selama ini sumber penerimaan daerah terdiri dari sumbangan pemerintah pusat, pajak daerah dan penerimaan lain seperti laba perusahaan daerah. Dengan berkurangnya porsi subsidi pemerintah pusat, tidak ada jalan lain yang perlu dilakukan pemerintah daerah selain menggali dan mengotimalkan sumber pendapatan asli daerah. Yang menjadi persoalannya sekarang, mampukah daerah melakukannya mengingat keterbatasan sumber pendapatan daerah, khususnya bagi daerah yang miskin sumber daya alam? Jawabannya akan sangat tergantung pada proses “restrukturisasi” sumber-sumber penerimaan daerah. Saya katakan restrukturisasi sebab pemerintah daerah sebenarnya sudah mempunyai sumber-sumber pendapatan yang potensial namun pada saat ini berada dalam kondisi yang menyedihkan. Yang diperlu dilakukan pemerintah daerah saat ini yaitu ‘memolesnya’ kembali agar tampak molek dan cantik. Salah satu sumber pendapatan potensial yang perlu dipoles itu tidak lain perusahaan daerah atau dikenal dengan badan usaha milik daerah (BUMD).

Secara umum kondisi perusahaan daerah dapat dikatakan sama dengan apa yang dialami oleh kebanyakan BUMN kita. Persoalan BUMD kurang terekspos karena memang secara makro posisinya kurang strategis bila dibandingkan dengan BUMN. Dilihat dari misi pendiriannya, BUMN jelas memiliki peran yang sangat signifikan dalam mendukung perekonomian nasional. Sebegitu pentingnya, pemerintah pun perlu membuat kementrian khusus yang menangani BUMN. Akan tetapi dengan diberlakukannya UU tentang Otonomi Daerah tersebut, peranan BUMD harus mulai diperhatikan.

Bila dibuat pembandingan antara BUMN dan BUMD, akan terlihat kesamaan permasalahan di antara keduanya. Pertama, masalah efisiensi. Kebanyakan BUMD di Indonesia beroperasi di bawah kondisi yang sangat tidak efisien. Terjadi pemborosan dana di sana-sini karena para pengelolanya tidak memiliki keahlian yang cukup. Terkadang keputusan-keputusan manajerial berkaitan dengan investasi baru, penentuan tarif atau keputusan lain diambil secara tidak profesional. Pekatnya nuansa kolusi, korupsi dan nepotisme menandakan ketidakprofesionalan para pengelola BUMD tersebut. Di samping itu, inefisiensi BUMD juga bersumber dari pemanfaatan teknologi yang sudah ketinggalan jaman. Kebanyakan BUMD beroperasi dengan mesin-mesin peninggalan kolonial yang umurnya sampai saat ini sudah puluhan tahun. Bahkan ada mesin yang umurnya lebih tua dari karyawan yang paling tua sekalipun. Dengan kondisi ini, jelas beban pemeliharaan mesin tidak sebanding dengan output yang diperoleh dari mesin tua tersebut.

Kedua, masalah intervensi dan birokrasi. Bila saat ini banyak BUMD yang kalah bersaing dengan sektor swasta dan akhirnya tumbang di tengah jalan, salah satu penyebabnya adalah besarnya campur tangan dan lambannya pemerintah daerah dalam mengantisipasi perubahan situasi dan kondisi bisnis. Selama ini semua keputusan bisnis baik yang bersifat strategis maupun keputusan-keputusan konvensional lainnya harus selalu ijin kepada pemerintah. Repotnya, respon pemerintah seringkali, bahkan dapat dikatakan selalu, lambat. Maklum, sekali lagi berurusan dengan birokrasi. Pemerintah akan selalu "mempertimbangkan", "menampung", lalu "membahas" usulan para direksi perusahaan daerah. Keputusannya akan diberitahukan kemudian, bisa dalam hitungan bulanan atau bahkan tahunan. Bisa dibayangkan, jika suatu BUMD mengajukan proposal investasi mesin baru saat ini dan keputusan "ya" atau "tidak" baru datang setahun kemudian.

Ketiga, pengendalian dan pengawasan. Selaku pemilik, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk mengawasi perkembangan BUMD-BUMD di wilayahnya. Pemerintah daerah biasanya membentuk badan pengawas, yang bertindak seperti dewan komisaris pada perusahaan swasta. Anggotanya terdiri dari para pejabat di lingkungan pemda, yang terkadang tidak mempunyai latar belakang bisnis sama sekali. Biasanya, badan pengawas ini tidak melakukan kegiatan sesuai tugas dan fungsinya, yaitu selaku wakil pemerintah daerah untuk mengawasi jalannya perusahaan daerah. Para anggota badan pengawas rata-rata menyatakan tidak sempat memikirkan perkembangan usaha daerah, karena sudah sibuk dengan tugas dalam jabatan formalnya sendiri-sendiri. Tetapi, ironisnya mereka senang-senang saja menerima "gaji" dari jabatan tersebut. Dalam kondisi seperti ini, posisi perusahaan daerah seakan-akan menjadi anak ayam yang berusaha hidup dan mengais-ngais makanan tanpa tuntunan sang induk.     

Bagaimana dengan Perusahaan Daerah Di Dumai, Saat ini PT. Pembangunan Dumai yang paling bisa diharapkan untuk mendorong pembangunan ekonomi di Kota Dumai serta sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD) Kota Dumai, dimana pada tahun 2014 Pemerintah Kota Dumai telah mengalokasikan penyertaan modal sebesar Rp. 28 Miliar melalui Perda Kota Dumai Nomor : 1 Tahun 2014. Saat ini PT. Pembangunan Dumai telah memiliki bidang usaha yaitu Industri Ready Mix, yang tujuan nya adalah untuk Pengendalian Mutu/Kualitas Pembangunan Daerah dimana diharapkan PT Pembangunan Dumai dapat berperan aktif memberi layanan pengujian mutu beton. Namun PT. Pembangunan Dumai belum memanfaatkan secara maksimal atas kepemilikan sebidang tanah seluas 51Ha dikelurahan Pelintung kecamatan Medang Kampai.

Namun yang paling disayangkan adalah keberadaan PT. Pelabuhan Dumai Berseri, dimana perusahaan Milik Daerah ini dapat dikatakan Hidup Segan Matipun Takut. Manajerial yang tidak transparant selama pengelolaan nya serta tidak membaca ancaman maupun tantangan yang terjadi dikedepan harinya membuat perusahaan ini tergusur oleh perusahaan PT Pelabuhan Tiga Bersaudara sesuai dengan SK MenHub No. KP 1161 Tahun 2012 Tentang Pemberian izin kepada PT Pelabuhan Tiga Bersaudara untuk menyelenggarakan pelayanan jasa pemanduan pada perairan terminal khusus PT Sari Dumai Sejati, terminal khusus PT Semen Padang dan terminal khusus PT Pacific Indopalm Industries di perairan wajib pandu kelas I Dumai. Sebelumnya PT. Pelabuhan Tiga Bersaudara ini merupakan mitra kerja sama PD. Pelabuhan Dumai Bersemai dengan system bagi hasil yang tertera dalam surat perjanjian kerja sama yang terlah di sepakati oleh kedua belah pihak pada 17 Juni 2005 dan selesai pada tahun 2010. Sayang nya PD. Pelabuhan Dumai Bersemai serta Pemerintah Kota Dumai telah terlena dengan kerja sama yang telah dibangun dengan PT. Pelabuhan Tiga Bersaudara.

Social Civil Society (SCS) yang telah lahir pada tahun 2008 sangat menyayangkan atas beralihnya pengelolaan jasa kepelabuhan khusus nya dibidang kepanduan. Saat ini baik Pemerintah Kota Dumai, PT. Pelabuhan Dumai Bersemai serta Pihak Legislatif hanya berdiam diri. Apakah karena telah tersandera oleh kepentingan atas dugaan korupsi penyimpangan jasa pandu, jasa tunda dan jasa labuh yang dikelola Perusahaan Daerah Pelabuhan Dumai Bersemai (PD PDB) yang saat ini telah berubah menjadi PT. Pelabuhan Dumai Bersemai.

Masih terbayang didepan mata kejadian tahun 2002-2003, meski setitik darah yang mengalir dari pelipis mata salah satu mahasiswa yang menuntut bagi hasil dari pelindo dumai baik yang ada didarat pesisir maupun laut pesisir. Sehingga membuah kan hasil yakni pelindo memberikan bagi hasil kepada pemerintah kota dumai seperti hak darat melalui tiket masuk pelabuhan dan hak laut jasa pandu dan tunda. Setelah terbitnya SK MenHub No. KP 1161 Tahun 2012 dan mulai nya penyelidikan pada tahun 2014 oleh Kajati Riau perihal terciumnya aroma dugaan korupsi di PD. Pelabuhan Dumai Bersemai, tidak ada gerak khusus maupun upaya dari PT. PDB, Executif maupun Legislatif di Kota Dumai untuk bersama mengambil kembali jasa kepelabuhan tersebut. Yang ada hanya saling tuding serta cuci tangan saja.

Tahun 2016 ini merupakan momentum paling tetap untuk Kota Dumai menuntut Konstribusi atas pengelolaan Wilayah Pesisir kepada Pihak yang berkepentingan diwiliayah pesisir. Namun SCS kembali menyayangkan atas ketidak seriusan Pihak Eksekutif dan Legislatif dalam membaca peluang ini. Aroma yang tercium oleh SCS saat ini adalah Eksekutif dan Legislatif diduga telah menyia-nyiakan peluang yang ada saat ini. bukan menuntut konstribusi kepada pihak Kapitalis yang sangat besar kepentingan mereka diwilayah pesisir kota dumai. Sebaliknya diduga bersepakat untuk melegalisasi perusakan wilayah pesisir. Bahkan eksekutif dan legislatif serta pihak kapitalis diduga berencana mengubah wilayah permukiman serta perkantoran menjadi Pergudangan dan tangki timbun.
Dari data yang kami miliki saat ini Pelindo I Cabang Dumai akan melaksanakan kegiatan reklamasi pantai seluas 26 Ha di kelurahan Pangkalan Sesai Kec. Dumai Barat, jika syarat legalisasi nya telah disahkan pihak terkait.

Inilah gambaran abu-abu yang dirasakan Kota Dumai, Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak bertambah bahkan makin berkurang, BUMD yang ada Hidup Segan Mati Tidak Mau. Tahun 2016 Melepas maka peluang yang ada pada Tahun 2022.(red.emen)