Senin, 27 Februari 2017

BELAJAR DARI KASUS REMBANG DAN REKLAMASI PULAU G

SAKIT YO KANG....

BELAJAR DAN SELALU BELAJAR....

SEMOGA KOTA DUMAI BUKAN BAGIAN DARI KONSPIRASI KESERAKAHAN PARA ANJING...

BAGIAN MAUPUN BUKAN MERUPAKAN BAGIAN....

HARI INI REALITA MENYATAKAN BAGIAN...

WALAU KAU TUTUP WAJAH ANJING MU DENGAN TOPENG MALAIKAT SEKALIPUN...

NAMUN KAU AKAN TETAP MENJADI ANJING...

SELAMAT MENIKMATI KEPASTIAN HUKUM DI PENGADILAN....




Kamis, 23 Februari 2017

IZIN APA???TUGAS PEMERINTAH KOTA ATAU ORGANISASI NON PEMERINTAHAN...

"Tanggal 30 Januari 2017, PEMKO DUMAI menanggapi surat permohonan klarifikasi yang disampaikan oleh Social Civil Society (SCS) yang kata nya surat SCS tersebut bertanggal 24 Februari 2017, baca gambar pada poin 2 atas tanggapan Walikota Dumai, disinilah dapat kita pahami atas kinerja Pemerintah Kota Dumai yang selalu menjanjikan Perubahan Kepada Masyarakat Dumai""BELAJARLAH, BACALAH, PAHAMI, CARI dan BUKA REFERENSI. AGAR KAU BUKAN BAGIAN DARI ORANG YANG BODOH YANG KAU SUKA MEMBODOHI.... 
Kawasan Industri dibangun dengan luas lahan paling sedikit 50 (lima puluh) hektar dalam satu hamparan. Namun bila Kawasan Industri diperuntukkan bagi Industri Kecil dan Industri Menengah dapat dibangun dengan luas lahan paling sedikit 5 (lima) hektar dalam satu hamparan. Menjadi Perusahaan Kawasan Industri mirip seperti pengusaha real estate, yang memerlukan izin lokasi yang dan pembebasan lahan yang sarat modal. Namun untunglah Pemerintah kemudian menyatakan penerbitan Izin Prinsip, IUKI, dan/atau Izin Perluasan Kawasan Industri tidak dikenakan biaya. Potensi bisnis masih terbuka lebar untuk menjadi Perusahaan Kawasan Industri, mengingat masih minim kompetitor. Atau, developer real estate mungkin dapat melakukan derivasi usaha dengan terjun dibidang yang masih terbuka lebar ini. Hal menarik kedua, Perusahaan Kawasan Industri dan Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri diberikan insentif perpajakan yang diberikan berdasarkan pengelompokan WPI.

Salah satu regulasi terkait Kawasan Industri, tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 142 Tahun 2015 Tentang Kawasan Industri sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.
Sebelum kita masuk membahas mengenai Kawasan Industri, kita perlu mengenal beberapa peristilahan dasar dalam hukum Kawasan Industri, antara lain:
a)    Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah bahan baku dan/atau memanfaatkan sumber daya industri sehingga menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi, termasuk jasa industri.
b)   Perusahaan Industri adalah setiap orang yang melakukan kegiatan di bidang usaha Industri yang berkedudukan di Indonesia.
c)  Kawasan Peruntukan Industri adalah bentangan lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan Industri berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
d)   Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan Industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri.
e)   Perusahaan Kawasan Industri adalah perusahaan yang mengusahakan pengembangan dan pengelolaan kawasan Industri.
f)    Izin Prinsip adalah izin yang diberikan kepada badan usaha yang berbentuk badan hukum untuk melakukan penyediaan lahan, pembangunan infrastruktur Kawasan Industri serta pemasangan/instalasi peralatan dan kesiapan lain yang diperlukan dalam rangka memulai pembangunan Kawasan Industri.
g)   Izin Usaha Kawasan Industri (IUKI) adalah izin yang diberikan untuk melakukan pengembangan dan pengelolaan Kawasan Industri.
h)   Perluasan Kawasan Industri, yang selanjutnya disebut dengan Perluasan Kawasan, adalah penambahan luas lahan Kawasan Industri dari luas lahan sebagaimana tercantum dalam IUKI.
i)    Tata Tertib Kawasan Industri adalah peraturan yang ditetapkan oleh Perusahaan Kawasan Industri, yang mengatur hak dan kewajiban Perusahaan Kawasan Industri, perusahaan pengelola Kawasan Industri, dan Perusahaan Industri dalam pengelolaan dan pemanfaatan Kawasan Industri.

Peraturan Pemerintah ini menyatakan, pembangunan Kawasan Industri dilakukan oleh badan usaha yang berbentuk badan hukum dan didirikan berdasarkan hukum Indonesia serta berkedudukan di Indonesia.
Yang cukup disayangkan, tim penyusun regulasi dari kementerian perindustrian ternyata tidak membedakan antara badan usaha (firma, CV) dan badan hukum. Meski kemudian Peraturan Pemerintah mengurai jenis subjek hukum apa yang dapat melakukan pembangunan Kawasan Industri, yakni:  Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, ataupun Perseroan Terbatas.
Pembangunan Kawasan Industri dilakukan sesuai dengan pedoman teknis pembangunan Kawasan Industri yang ditetapkan oleh menteri perindustrian, yang paling sedikit memuat:
a. pemilihan lokasi;
b. perizinan;
c. pengadaan tanah;
d. pematangan tanah;
e. pembangunan infrastruktur; dan
f. pengelolaan.
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masing- masing menyediakan:
a. infrastruktur Industri; dan
b. infrastruktur penunjang.
Infrastruktur Industri paling sedikit meliputi:
a. jaringan energi dan kelistrikan;
b. jaringan telekomunikasi;
c. jaringan sumber daya air dan jaminan pasokan air baku;
d. sanitasi; dan
e. jaringan transportasi.
Sementara yang menjadi infrastruktur penunjang paling sedikit meliputi:
a. perumahan;
b. pendidikan dan pelatihan;
c. penelitian dan pengembangan;
d. kesehatan;
e. pemadam kebakaran; dan
f. tempat pembuangan sampah.
Perusahaan Kawasan Industri wajib menyediakan infrastruktur dasar di dalam Kawasan Industri, paling sedikit meliputi: instalasi pengolahan air baku, instalasi pengolahan air limbah, saluran drainase, instalasi penerangan jalan, dan jaringan jalan. Perusahaan Kawasan Industri dapat pula menyediakan infrastruktur penunjang dan sarana penunjang di dalam Kawasan Industri bila merasa diperlukan.
Setiap kegiatan usaha Kawasan Industri wajib memiliki Izin Usaha Kawasan Industri (IUKI), yang diberikan hanya bagi kegiatan usaha Kawasan Industri yang berlokasi di dalam Kawasan Peruntukan Industri sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) nasional, RTRW provinsi, atau RTRW kabupaten/kota. IUKI diberikan sesuai dengan izin lokasi kegiatan usaha Kawasan Industri dan diberikan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
IUKI diberikan kepada badan hukum untuk melakukan kegiatan usaha Kawasan Industri, dimana badan hukum yang telah memperoleh IUKI merupakan Perusahaan Kawasan IndustriIUKI tersebut berlaku selama Perusahaan Kawasan Industri menyelenggarakan kegiatan pengembangan dan pengelolaan Kawasan Industri.
Menteri berwenang memberikan IUKI yang Kawasan Industrinya berlokasi di lintas wilayah provinsi dan/atau dalam rangka penanaman modal asing. Menteri dapat mendelegasikan kewenangan pemberian IUKI kepada kepala instansi pemerintah pusat yang menyelenggarakan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP).
Sementara itu Gubernur berwenang memberikan IUKI yang Kawasan Industrinya berlokasi di lintas wilayah kabupaten/kota. Gubernur mendelegasikan kewenangan pemberian IUKI kepada kepala instansi pemerintah provinsi yang menyelenggarakan PTSP.
Bupati/walikota berwenang memberikan IUKI yang Kawasan Industrinya berlokasi dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan. Bupati/walikota mendelegasikan kewenangan pemberian IUKI kepada kepala instansi pemerintah kabupaten/kota yang menyelenggarakan PTSP.
Pemberian IUKI dilakukan melalui Izin Prinsip, yang diberikan kepada perusahaan yang melakukan kegiatan usaha Kawasan Industri untuk menyiapkan lahan Kawasan Industri sampai dapat digunakan, menyusun analisis dampak lingkungan, analisa dampak lalu lintas (ANDALALIN), perencanaan dan pembangunan infrastuktur Kawasan Industri, serta kesiapan lain.
Permohonan Izin Prinsip diajukan kepada Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melalui PTSP.  Permohonan Izin Prinsip melampirkan paling sedikit:
a. fotokopi akta pendirian perusahaan yang telah disahkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Hukum atau oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Koperasi bagi pemohon yang berstatus Koperasi;
b. fotokopi nomor pokok wajib pajak perusahaan;
c. sketsa rencana lokasi (desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi);
d. surat pernyataan perusahaan bahwa rencana lokasi terletak dalam Kawasan Peruntukan Industri sesuai RTRW; dan
e. khusus untuk penanaman modal asing melampirkan persyaratan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan diterima:
a. menerbitkan Izin Prinsip dalam hal persyaratan dipenuhi dengan lengkap dan benar; atau
b. menolak permohonan dalam hal ketidaksesuaian dokumen.
Izin Prinsip berlaku selama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali untuk masing-masing perpanjangan selama 1 (satu) tahun. Perpanjangan Izin Prinsip dapat diberikan dengan ketentuan masih melakukan penyiapan lahan Kawasan Industri sampai dapat digunakan, penyelesaian Amdal, pembangunan infrastruktur Kawasan Industri serta kesiapan lain di area sesuai dengan luas lahan minimum.
Perusahaan yang akan melakukan kegiatan usaha Kawasan Industri dan telah memiliki Izin Prinsip dilarang melakukan pengalihan, penjualan, dan/atau penyewaan kaveling Industri.
Perusahaan yang akan menjalankan kegiatan usaha Kawasan Industri dan telah memperoleh Izin Prinsip dapat mengajukan permohonan IUKI dengan ketentuan telah:
a. melaksanakan penyiapan lahan Kawasan Industri sampai dapat digunakan dengan sesuai luas lahan minimum;
b. membangun sebagian infrastruktur dasar Kawasan Industri;
c. membentuk pengelola Kawasan Industri; dan
d. membangun gedung pengelola.
IUKI hanya diberikan seluas lahan yang telah siap digunakan dan dikuasai yang dibuktikan dengan Surat Pelepasan Hak atau sertifikat. Pemenuhan ketentuan dibuktikan melalui pemeriksaan lapangan yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan. Permohonan IUKI diajukan kepada Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melalui PTSP.
Permohonan IUKI melampirkan paling sedikit:
a. fotokopi akta pendirian perusahaan ataupun Koperasi bagi pemohon yang berstatus Koperasi;
b.   izin Prinsip;
c.   fotokopi izin lokasi;
d.   fotokopi izin lingkungan;
e.   laporan data Kawasan Industri mengenai kemajuan pembangunan Kawasan Industri triwulan terakhir;
f.    tata tertib Kawasan Industri; dan
g.   susunan pengurus/pengelola Kawasan Industri.
Permohonan IUKI dikecualikan dari perizinan yang menyangkut gangguan. Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya sejak permohonan diterima dengan lengkap dan benar dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja melakukan pemeriksaan lapangan yang hasilnya dituangkan dalam berita acara pemeriksaan.
Berdasarkan hasil berita acara pemeriksaan, Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menerbitkan atau menolak permohonan IUKI paling lama 5 (lima) hari kerja sejak berita acara pemeriksaan diterima.
Setiap Perusahaan Kawasan Industri yang melakukan perluasan kawasan wajib memiliki izin Perluasan Kawasan Industri, dimana sebelum mengajukan permohonan izin Perluasan Kawasan Industri, Perusahaan Kawasan Industri harus telah menguasai dan selesai menyiapkan lahan Kawasan Industri sampai dapat digunakan, menyusun perubahan analisis dampak lingkungan, perencanaan dan pembangunan infrastruktur Kawasan Industri, serta kesiapan lain dalam rangka perluasan kawasan. Perluasan Kawasan Industri dilakukan di dalam Kawasan Peruntukan Industri.
Perusahaan Kawasan Industri yang telah memperoleh IUKI dapat diberikan Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah yang akan diusahakan dan dikembangkan, yang mana HGB tersebut kemudian dapat dipecah menjadi Hak Guna Bangunan untuk masing-masing kaveling. Pemecahan HGB menjadi HGB untuk masing-masing kaveling dilakukan dan menjadi tanggung jawab Perusahaan Kawasan Industri.
Pengelolaan Kawasan Industri dilakukan oleh Perusahaan Kawasan Industri, namun ia dapat menunjuk pihak lain untuk melakukan pengelolaan Kawasan Industri tersebut. Penunjukan pihak lain diberitahukan kepada pemberi IUKI. Namun penunjukkan pengelolaan Kawasan Industri kepada pihak lain tidak mengurangi tanggung jawab Perusahaan Kawasan Industri yang bersangkutan.
Ketentuan mengenai “hunian berimbang” tampaknya diterapkan pula dalam konsep hukum Kawasan Industri. Perusahaan Kawasan Industri wajib menyediakan lahan bagi kegiatan Industri kecil dan Industri menengah. Luasan lahan untuk kegiatan Industri kecil dan Industri menengah ditetapkan dari luas kaveling Industri, dimana lahan tersebut dapat ditetapkan sebagai sentra Industri kecil dan Industri menengah oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Perusahaan Kawasan Industri wajib memiliki Tata Tertib Kawasan Industri, paling sedikit memuat informasi mengenai:
a. hak dan kewajiban masing-masing pihak;
b. ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup sesuai hasil studi Analisis Dampak Lingkungan, Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan;
c. ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait; dan
d. ketentuan lain yang ditetapkan oleh pengelola Kawasan Industri.
Pengelola Kawasan Industri wajib memfasilitasi hubungan industrial bagi Perusahaan Industri yang berada di Kawasan Industri.
Perusahaan Industri yang akan menjalankan industri wajib berlokasi di Kawasan Industri, namun kewajiban ini dapat dikecualikan bagi Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri dan berlokasi di daerah kabupaten/kota yang:
a. belum memiliki Kawasan Industri; atau
b. telah memiliki Kawasan Industri tetapi seluruh kaveling Industri dalam Kawasan Industrinya telah habis.
Pengecualian terhadap kewajiban berlokasi di Kawasan Industri juga berlaku bagi Industri kecil dan Industri menengah yang tidak berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak luas. Perusahaan Industri yang dikecualikan dan Perusahaan Industri menengah tersebut wajib berlokasi di Kawasan Peruntukan Industri.
Yang dapat berada diluar kawasan tersebut, hanyalah Industri yang menggunakan bahan baku khusus dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus.
Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri wajib memiliki:
a. Upaya Pengelolaan Lingkungan; dan
b. Upaya Pemantauan Lingkungan.
Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri yang kegiatan usahanya mengolah atau memanfaatkan limbah bahan berbahaya dan beracun, wajib menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan mendapat pengesahan oleh instansi yang berwenang. Kewajiban penyusunan AMDAL dikecualikan apabila AMDAL Kawasan Industri telah mencakup/memenuhi kebutuhan terhadap kegiatan mengolah atau memanfaatkan limbah bahan berbahaya dan beracun.
Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri dikecualikan dari perizinan yang menyangkut gangguan, lingkungan, lokasi, tempat usaha, peruntukan penggunaan tanah, pengesahan rencana tapak tanah, dan Analisis Dampak Lalu Lintas (ANDALALIN). Pengecualian perizinan yang menyangkut lingkungan tersebut diatas tidak menghapus kewajiban dan tanggung jawab Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri untuk melakukan pengelolaan lingkungan.
Setiap Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri wajib:
a.   memenuhi ketentuan perizinan usaha Industri;
b.   memenuhi ketentuan Tata Tertib Kawasan Industri yang berlaku;
c.   memelihara daya dukung lingkungan di sekitar kawasan termasuk tidak melakukan pengambilan air tanah;
d.   melakukan pembangunan pabrik dalam batas waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak pembelian dan/atau penyewaan lahan, dan dapat diperpanjang 1 (satu) tahun; dan
e.   mengembalikan kaveling Industri kepada Perusahaan Kawasan Industri apabila dalam batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada huruf d tidak melakukan pembangunan pabrik.
Perusahaan Industri yang mengembalikan kaveling Industri kepada perusahaan Kawasan Industri, berhak menerima uang pengembalian sesuai perjanjian para pihak. Tata cara pengembalian kaveling Industri diatur lebih lanjut dalam Tata Tertib Kawasan Industri masing-masing Kawasan Industri.
Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri dapat melakukan kegiatan logistik barang. Kegiatan logistik barang tersebut dapat juga dilakukan oleh perusahaan jasa logistik barang. Subkontrak (?!)
Pembangunan Kawasan Industri memberikan kepastian lokasi sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), mensinergikan perencanaan dan pembangunan infrastruktur industri, infrastruktur dasar, infrastruktur penunjang dan sarana penunjang untuk Kawasan Industri.
Dengan adanya Kawasan Industri, tidak dibenarkan lagi adanya industri-industri di daerah kawasan perumahan yang tentu akan membawa gangguan bagi para penduduk pemukiman seperti polusi suara, polusi udara, maupun polusi air dan gangguan sosial lainnya.(Red:S&P)

Rabu, 22 Februari 2017

UANG RAKYAT DIGUNAKAN SIBODOH UNTUK PEMBODOHAN MASYARAKAT

 Dengan adanya UU No. 32  Tahun 2004 tentang  pemerintahan  daerah  menjadi  pijakan  desentralisasi    yang    dilaksanakan    oleh    pemerintah  daerah.  Otonomi  daerah  adalah  hak,  wewenang,  dan  kewajiban    daerah    otonom    untuk    mengatur    dan  mengurus  sendiri  urusan  pemerintahan  dan  kepentingan    masyarakat    setempat    sesuai    dengan  peraturan perundang - undangan .  Menurut   Syafiie  (2006:  117)  dengan  a danya kewenangan  pemerintah  yang  terdesentralisasi  mampu  menyerahkan  sebagian  urusan   pemerintahannya,   sehingga   kekakuan   aturan  dari  pemerintah  pusat  yang  lebih  atas  dapat  berganti  dengan    mengikutsertakan   daerah - daerah, di    mana  diharapkan terbentuk kerja yang optimal dan potensial .  Tujuan  lain  dari  diterapkannya  otonomi  daerah  adalah  untuk  mereformasi  pelayanan  publik  supaya  daerah  dapat lebih fokus dalam mengurusi pelayanan publik di  wilayahnya sendiri.



Masyarakat  sendiri    setiap    waktu    selalu  menuntut   pelayanan   publik   yang   berkualitas   dari  birokrat, meskipun tuntutan tersebut sering tidak sesuai  dengan   harapan   karena   secara   empiris   pelayanan  publik   yang   terjadi   selama   ini   masih   bercirikan  berbelit - belit,  lambat,  mahal,  dan  melelahkan.  Dalam  konteks   demikian,   maka   perlu   suatu   sarana   yang  menjadi   tolok   ukur   pelaksanaan   maupun   evaluasi  pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, terutama  menyangkut  pemenuhan  kebutuhan  dasar  masyarakat.
Hariani  (2008:  239 - 253)  menyebutkan bahwa  kualitas  pelayanan    publik    yang    diberikan    oleh    lembaga  birokrasi  penyelenggara  layanan  publik  akan  dipengaruhi   oleh   berbagai   faktor,   seperti   tingkat  kompetensi  aparat,  kualitas  peralatan  yang  digunakan  untuk  memproses  jenis  pelayanan,  budaya  birokras i,  dan  sebagainya .  Kompetensi  aparat  birokrasi  merupakan   akumulasi   dari   sejumlah   sub   variabel  seperti  tingkat  pendidikan,  jumlah  tahun  pengalaman  kerja,   variasi   pelatihan   yang   telah   diterima.  Lebih  lanjut  Hariani  (2008:  239 - 253)    kualitas  dan  kuantitas  per alatan     yang     digunakan     akan     mempengaruhi  prosedur  dan  kecepatan  output yang  akan  dihasilkan. Dengan  pembenahan  aparatur  di  tingkat  pemerintah  daerah   ini,   pelayanan   publik   yang   lebih   baik   dan  professional   dalam   menjalankan   apa   yang   menjadi  tugas dan kewenang an yang diberikan kepadanya dapat  diwujudkan.   Akan   tetapi,   dari   hasil   survey   yang  dilakukan secara serentak oleh Ombudsman pada bulan  September  hingga  November  2013,  didapatkan  bahwa  unit  pelayanan  pada  tingkat  Dinas  Provinsi  sebanyak  60,5  persen  berada  da lam  kategori  merah,  sedangkan  unik   pelayanan   pada   tingkat   instansi   Pemerintah  Kota/Kabupaten  55,9  persen  berada  dalam  kategori  merah. ( www.merdeka.com diakses   11   November  2013) Dari    data    tersebut    masih    menunjukkan  pelayanan   yang   diberikan   oleh   aparat   pemerintah  daerah  masih  jauh  dengan  apa  yang  diharapkan  dalam Undang - Undang No. 25 Tahun 2009 tentang pelayanan  public.
Dalam  Peraturan  Menteri  Negara  Pendayagunaan  Aparatur  Negara  No.  13  Tahun  2009  tentang   Pedoman   Peningkatan   Kualitas   Pelayanan  Publik    Dengan    Partisipasi    Masyarakat.    Peraturan  tersebut    menyatakan    bahwa    peningkatan    kualitas  pelayanan    publik    diperlukan    untuk    m embangun  kepercayaan   masyarakat   terhadap   aparatur   sebagai  penyedia pelayanan publik dengan menjadikan keluhan  masyarakat sebagai  sarana  untuk melakukan perbaikan  pelayanan  publik  dengan  baik,  adil,  dan  bijaksana,  kemudian menciptakan kepuasan. Karenanya ke puasan  mencerminkan  seberapa  bagus  kinerja  yang  dilakukan  oleh  birokrasi  sebagai  pengabdian  kepada  masyarakat.  Daripada    itu    bagaimana    cara    mewujudkan    arti  kepuasan  publik,  bagaimana  mewujudkan  pelayanan  yang  baik  sehingga  masyarakat  mampu  memberikan  apresi asi yang baik sebagai  feedback.
Peraturan  perundang-undangan  yang  menjadi  dasar  penyusunan  dan  penetapan  Standar  Pelayanan Informasi Publik Pemerintahan sebagai berikut:
-     UUD 1945 Pasal 28 F menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
-     Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 pasal 13 tentang Keterbukaan Informasi Publik, menyebutkan bahwa untuk mewujudkan pelayanan cepat, tepat, dan sederhana setiap Badan Publik wajib menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), membuat dan mengembangkan sistem penyediaan pelayanan informasi secara cepat, mudah, dan wajar sesuai petunjuk teknis standar layanan informasi publik yang berlaku secara nasional.
-     Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik
-     Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik
-     Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;
-     Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/05/M.PAN/4/2009 tentang Pedoman Umum Penanganan Pengaduan Masyarakat Bagi Instansi Pemerintah;
Merupakan tanggung jawab masyarakat mengetahui untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa untuk menindak lanjuti segala bentuk pengaduan, laporan maupun permintaan klarifikasi dari masyarakat tidak menggunakan pandangan subjektif belaka. Bagaimana dengan pemerintah yang digaji/upah oleh uang rakyat, jika menanggapi laporan, pengaduan serta permintaan klarifikasi masyarakat masih bersifat subjektif, maka yang akan timbul dalam pikiran masyarakat yang tidak menerima upah dari uang rakyat adalah sifat SPESIMIS terhadap kinerja dan keberadaan pemerintah itu sendiri.
Agar lebih baik kinerja pemerintah kedepan, dalam menanggapi laporan, pengaduan serta permintaan klarifikasi masyarakat, hendaknya pemerintah membaca serta memahami isi dari laporan, pengaduan serta permintaan klarifikasi masyarakat tersebut. Setelah  dipemahaman pemerintah hendaknya menggali apa yang telah dipahami dengan membaca secara seksama dugaan pelanggaran atau perbuatan melawan hukum dalam sebuah kegiatan yang di laporkan, pengaduan serta permintaan klarifikasi masyarakat . setelah ditemukan atau tida ditemukan nya dugaan pelanggaran hukum atas laporan, pengaduan serta permintaan klarifikasi masyarakat, maka selanjutnya pemerintah mengajak/mengundang sipelapor untuk mendengar kan secara langsung apa yang menjadi permasalahan atas laporan, pengaduan serta permintaan klarifikasi masyarakat kepada pemerintah. Setelah didengarkan secara lisan oleh pemerintah, maka pemerintah dapat menyimpulkan apa yang menjadi data serta fakta atas laporan, pengaduan serta permintaan klarifikasi masyarakat kepada pemerintah. Atas kesimpulan tersebut pemerintah akan menanggapi permasalahan secara objektif.
Sebagai referensi kita saat ini, sesuai dengan surat dari Walikota Dumai nomor 503/20-1/DPMPTSP tanggal 30 Januari 2017 perihal tanggapan surat permohonan klarifikasi Social Civil Society (SCS), bagaimana mungkin pemerintah akan dapat memberikan klarifikasi kepada SCS, jika pemerintah dalam menanggapi perihal surat tersebut patut diduga tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/05/M.PAN/4/2009 tentang Pedoman Umum Penanganan Pengaduan Masyarakat Bagi Instansi Pemerintah.
Analisa serta fungsi pengawasan yang baik merupakan tolak ukur atas kinerja pemerintah, cara pandang subjektif hanya akan melahirkan konflik baru, jika kita mau belajar dari perkara kasus Putusan Nomor 193/G/LH/ 2015/PTUN-JKT tentang melawan kebijakan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dalam perkara reklamasi pulau G dengan pokok putusan Mewajibkan  Tergugat  untuk  mencabut  Keputusan  Gubernur  Provinsi  Daerah  Khusus  Ibukota  Jakarta  Nomor  :  2238  Tahun  2014  Tentang  Pemberian  Izin  Pelaksanaan  Reklamasi  Pulau  G  Kepada     PT.  Muara  Wisesa Samudra tertanggal 23 Desember 2014, selain itu Putusan Nomor  99 PK/TUN/2016 mengenai Penggugat telah mengajukan Peninjauan Kembali terhadap Putusan Pengadilan  Tinggi Tata   Usaha   Negara   Surabaya   Nomor   135/B/2015/PT.TUN.SBY tentang melawan kebijakan Gubernur Jawa Tengah dengan pokok putusan Menyatakan batal Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012, tanggal 7 Juni 2012, tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh PT Semen Gresik (Persero) Tbk, di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah dan Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012, tanggal 7 Juni 2012, tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh PT Semen Gresik (Persero) Tbk,  di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah.
Dari perkara tersebut diatas dapat disimpulkan betapa buruknya kinerja pemerintah, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dalam Penjelasan Pasal 3, yang dimaksud dengan asas-asas dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah adanya Asas Kepastian Hukum, Asas Tertib Penyelenggara Negara, Asas Kepentingan Umum, Asas Keterbukaan, Asas Proporsionalitas, Asas Profesionalitas dan Asas Akuntabilitas.
Pengadilan merupakan tempat terakhir untuk peran serta masyarakat dalam hal menindak lanjuti dugaan PERLAWANAN HUKUM yang dilakukan oleh pemerintah maupun Perusahaan Industri. Jika tanggapan yang disampaikan hanya sebatas retorika BODOH, maka selanjutnya prosedur proses hukum akan dilanjutkan sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Apapun hasilnya dari proses hukum tersebut nantinya, masyarakat selaku penggugat dan pemerintah serta perusahaan industri selaku tergugat harus siap menerima konsekuensi hukum semua putusan yang diputuskan oleh pengadilan.    





Kamis, 09 Februari 2017

ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP...???



(Red.E).Industriawan dan pemerintah daerah dinilai masih mengabaikan masalah lingkungan. Hal ini Patut di DUGA masih adanya kawasan industri di Kota Dumai yang beroperasi tanpa terlebih dahulu memenuhi kewajiban di Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Selain itu, sejumlah industri di Dumai juga masih banyak yang belum secara rutin, yaitu enam bulan sekali, menyampaikan laporan kepada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapeko) Dumai. “Kalau sebuah kawasan industri sudah beroperasi sebelum melakukan studi Amdal, Bapeko dianggap tidak bisa berbuat apa-apa.

Analisa Kasus
Aspek Hukum Perlindungan kawasan industri di Dumai dari Pengrusakan daya dukung lingkungan adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (pasal 1 angka 2 UUPLH). Secara umum Pengelolaan secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (sustainability) dalam pemanfaatan. Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah ini memiliki kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan.
Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm UU, seperti terlihat dalam Pasal 69 UUPLH disebutkan: 
a.    Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup; 
b.      Setiap orang dilarang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; 
c.       Setiap orang dilarang memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia; 
d.      Setiap orang dilarang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; 
e.       Setiap orang dilarang membuang limbah ke media lingkungan hidup; 
f.       Setiap orang dilarang membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup; 
g.      Setiap orang dilarang melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan; 
h.      Setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar; 
i.        Setiap orang dilarang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan/atau
j.        Setiap orang dilarang memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.
Peran Pemda juga penting bertanggungjawab dalam mengatur kawasan industri.
Dalam Pasal 63 UUPLH disebutkan:
Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang: 
a.       menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota; 
b.      menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota; 
c.       menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH kabupaten/kota; 
d.      menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL; 
e.       menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat kabupaten/kota; 
f.       mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan; 
g.      mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup; 
h.      memfasilitasi penyelesaian sengketa; 
i.        melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan; 
j.        melaksanakan standar pelayanan minimal; 
k.      melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota; 
l.        mengelola informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota; 
m.    mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota; 
n.      memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan; 
o.      menerbitkan izin lingkungan pada tingkat kabupaten/kota; dan 
p.      melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.
Di Indonesia Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) diatur dalam PP No 27 tahun 1999. AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup. AMDAL sangat diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatanyang dinilai berpotensi berdampak negatif terhadap lingkungan. AMDAL sebagai salah satu instrumen proses penegakkan hukum administrasi lingkungan belum terlaksana sebagaimana mestinya. Padahal pada instrumen ini dilekatkan suatu misi mengenai kebijakan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Dalam hal perizinan juga mengatur tentang pengelolaan limbah sebagaimana tercantum dalam pasal 16-17:
Pasal 16
  1. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatan.
  1. Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menyerahkan pengelolaan limbah tersebut kepada pihak lain.
  1. Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17 :
  1. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun.
  1. Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun meliputi: menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan/atau membuang.
  1. Ketentuan mengenai pengelolaan bahan berbahaya dan beracun diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
 Upaya Hukum Kasus Pencemaran Oleh Industri
Dalam pasal 65 ayat (1) UUPLH mengakui hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Berikut kewajiban dalam pasal 65 UUPLH:
  • Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.
  • Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
  • Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.
  • Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  • Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Dalam Pasal 66 UUPLH Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Menurut Suparto Wijoyo dengan melihat ruang lingkup pasal 5 ayat (1) UUPLH merupakan argumentasi hukum yang substantive bagi seseorang untuk melakukan gugatan lingkungan terhadap pemenuhan kedua fungsi hak perseorangan termasuk forum pengadilan.
Dalam kasus pencemaran oleh kawasan industry Dumai ini memang belum ada upaya hukum yang dilakukan. Hal ini dikarenakan kurangnya peran pemerintah dalam hal pengawasan serta belum adanya keberanian masyarakat untuk mengangkat kasus ini. Walupun mereka merasakan dampak negatif dari pencemaran limbah tersebut.
Namun masyarakat ataupun LSM dapat mengajukan upaya hukum dalam menyelesaikan kasus ini. Dalam hubungan dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, penegakkan hukum dibidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu :
  1. Penegakkan hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi / Tata Usaha Negara.
  1. Penegakkan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata.
  1. Penegakkan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana
Sanksi Administrasi
Dalam No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, salah satu instrumen hukum yang berperan bila kita bicara tentang penegakkan hukum lingkungan adalah hukum administrasi. Instrumen hukum administratif berbeda dengan instrumen lainnya, oleh karena penyelesaiannya adalah di luar lembaga peradilan. Dengan demikian, efektivitasnya sangat tinggi dalam pencegahan perusakan lingkungan. Sanksi administratif tercantum dalam pasal 76
Berdasarkan ketentuan diatas pelanggar dapat diperingati agar berbuat sesuai izin dan apabila tidak, akan dikenakan sanksi yang paling keras pencabutan izin usaha perusahaan Industri yang terbukti melakukan kejahatan Lingkungan di wilayah pesisir, Kepala Daerah dapat mengajukan usul untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan kepada pejabat yang berwenang. Selain itu pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan karena merugikan kepentingannya (lihat pasal 76, 78,79 dan 80 UUPLH). Upaya adminisrtatif adalah upaya tercepat karena tidak memerlukan proses peradilan. Dalam kasus pengerusakan lingkungan upaya ini terasa lebih relevan mengingat pencemaran lingkungan hidup memerlukan upaya yang cepat agar kerugian yang ditimbulkan tidak terus bertambah.
Sanksi Perdata
Ketentuan hukum penyelesaian perdata pada sengketa lingkungan dalam UUPLH terdapat dalam pasal 87-88. Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. Pada ayat (3) Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu, hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut. Pengaturan mengenai tanggung gugat dan ganti rugi masih berlaku pasal 1365 BW.
Syarat-syarat dalam pasal 1365 antara lain:
Kesalahan
Syarat kesalahan artinya pembuat harus mempertanggung jawabkan karena telah melakuakan perbuatan melanggar hukum. Dalam UUPLH ini menganut asas tanggungjawab mutlak (strict liability). Karena terjadinya perbuatan melanggar hukum maka terjadi kesalahan dan pembuat harus mempertanggungjawabkan. Jadi misalnya kelompok masyarakat sekitar Pengambengan yang diwakili oleh LSM melakukan gugatan tentang perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran limbah, penggugat harus membuktikan adanya kesalahan dari pelanggar.

Kerugian (Schade)
Syarat lain dalam 1365 BW adalah adanya kerugian (Schade). Dlam syarat ini harus dibuktikan adanya kerugian yang ditimbulkan dari pencemaran. Pada putusan MA tanggal 2 Juni 1971 Nomor 177 K/Sip/1971 disebutkan: “Gugatan ganti rugi yang tidak dijelaskan dengan sempurna dan tidak disertai pembuktian yang meyakinkan mengenai jumlah ganti rugi yang harus diterima oleh pengadilan tidak dapat dikabulkan oleh pengadilan”
Mengenai Ganti Rugi juga diatur dalam pasal Pasal 87 UUPLH: ”Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”
Dalam UUPLH ini menganut asas tanggungjawab mutlak (strict liability). Pengertian tanggungjawab mutlak adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ini merupkan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya.
  • Asas strict liability ini dituangkan dalam pasal 88:

Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsure kesalahan.
  • Hubungan Kausal
Harus ada kaitan antara perbuatan yang melanggar hukum dengan terjadinya kerugian dengan kata lain, pembuangan limbah tersebut harus terbukti mengakibatkan adanya kerugian pengusaha berupa kematian tambak udang.
  • Relativitas
Tuntutan supaya suatu ketentuan larangan berdasarkan undang-undang atau suatu syarat dalam izin dipenuhi, hanya dapat diajukan oleh seorang yang bersangkutan atau terancam suatu kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan berdasarkan undang-undang atau ketentuan perizinan. Mengenai siapa yang berhak melakukan gugatan. Masyarakat dan Organisasi Lingkungan Hidup seperti LSM berhak untuk melakukan gugatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 91-92 UUPLH:

Sanksi Pidana
Dalam pemberian sanksi pidana UUPLH 2009 menetapkan sanksi maksimum, hal terebut tercantum dalam Pasal 98: 
1)      Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). 
2)      Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). 
3)      Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Dalam penerapan instrumen hukum pidana pada dasarnya bersifat sebagai upaya terakhir (ultimum remidium), namun dalam penegakkan hukum lingkungan tidak selamanya bersifat (ultimum remidium) karena tingkat kerusakan lingkungan di Indonesia sudah pada tingkat memprihatinkan.
Untuk adanya perbuatan pidana di bidang Lingkungan Hidup, menurut pasal 96 UUPLH ditentukan agar memenuhi syarat-syarat :
Alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan hidup terdiri atas: 
a.       keterangan saksi; 
b.      keterangan ahli; 
c.       surat; 
d.      petunjuk; 
e.       keterangan terdakwa; dan/atau 
f.       alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundangundangan.
Dalam kasus Perusakan daya dukung lingkungan di kawasan industri, perusakan dilakukan bukan oleh individu saja tetapi oleh beberapa orang atau perusahaan.
Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib sesuai pasal 119 UUPLH
Kesimpulan
Dapat ditarik kesimpulan  dari pembahasan kasus diatas adalah sebagai berikut:
  1. Aspek Hukum mengenai pencemaran di kawasan Lingkungan Industri Dumai  diatur dalam UUPLH No 32 tahun 2009 dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah Kabupaten untuk mengatur dan mengurus,dan menegakkan hukum.
  1. Upaya penegakkan hukum yang dapat dilakukan berkaitan dengan kasus pencemaran di Lingkungan Industri Kecil adalah dengan penerapan instrumen hukum secara Administratif, Hukum Perdata, dan Hukum Pidana. Jika sanksi administrasi dinilai tidak efektif, barulah dipergunakan sarana sanksi pidana sebagai senjata pamungkas.
Saran
  1. Segala bahan buangan yang beracun perlu pengolahan (treatment) dari Lingkungan Indutri Kecil tersebut terlebih dahulu sebelum dibuang ke perairan, dan perairan tempat pembuangan harus mempunyai kondisi oseanografi yang memadai. Industri-industri yang mutlak harus didirikan di wilayah ini wajib memproses bahan-bahan buangan untuk keperluan lain, sehingga dengan demikian dampak terhadap lingkungan dapat dibatasi
  1. Perlunya ketegasan pemerintah dalam menangani kasus pencemaran lingkungan hidup. Apabila upaya admisnitratif kepada perusahaan mencemari diberikan sanksi pidana agar memberikan efek jera kepada pelakunya.
  1. Selain kelembagaan pemerintah, peran kelembagaan legislatif, masyarakat/LSM, serta dunia usaha adalah penting dan harus terlibat dalam pengelolaan, utamanya pada tataran perencanaan dan monitoring/evaluasi. Dengan demikian akan tercipta suatu pengelolaan terpadu yang melibatkan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang menuju ke arah pembangunan berkelanjutan.
 Referensi : Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang PPLH