Rabu, 27 April 2016

SOMASI TERBUKA



Nomor         : 014.SCS/P/IV/2016                                               Dumai, 26 April 2016
Lampiran    : 1 (satu) Berkas

Perihal         SOMASI
Kepada Yth;
Kepala Unit Layanan Pengadaan (ULP) Barang/Jasa Pemerintah
Dilingkungan Pemerintah Kota Dumai Tahun 2016
UP. WALIKOTA KOTA DUMAI
Di_
       Dumai

Sehubungan dengan temuan investigasi yang Social Civil Society temukan dalam kegiatan investigasi bulan Februaridan April, setelah kami menimbang data dari hasil investigasi tersebut, sesuai dengan surat keputusan rapat internal Social Civil Society Nomor : 35/BAHR-SCS/IV/2016 tanggal 20 April 2016, berikut Social Civil Society sampaikan kepada Kepala ULP Kota Dumai Tahun 2016 isi dari hasil Rapat Internal tersebut sebagai berikut:
1.      Bahwa Pelelangan yang dilaksanakan Oleh POKJA I ULP Kota Dumai dan POKJA III ULP Kota Dumai patut diduga ilegal, hal ini patut kami duga ilegal sebab didalam Berita Acara Hasil Pelelangan BAHP (terlampir) tidak mencantumkan legalitas POKJA ULP Tahun 2016(Keputusan Walikota Tentang Pembentukan Unit Layanan Pengadaan (ULP) Barang/Jasa Pemerintah Dilingkungan Pemerintah Kota Dumai Tahun 2016) ;
2.      Bahwa kami menduga Kepala ULP Kota Dumai Tahun 2016 telah melakukan tindakan yang tidak bertanggung jawab serta sewenang-wenang dengan mengajukan pergantian Anggota ULP kepada Walikota Dumai, sehingga terjadi Pergantian Anggota ULP tanpa prosedur hukum yang benar dan juga telah bertentangan dengan asas-asas umum dalam  menjalankan roda pemerintahan yang baik, khususnya Asas Kepastian Hukum, Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, Asas Kepentingan Umum, Asas Keterbukaan, Asas Proporsionalitas, Asas Profesionalitas dan Asas Akuntabilitas;
3.      Bahwa kami menduga Walikota Dumai telah melakukan tindakan diluar konstitusi dengan menanda tangani pergantian Anggota ULP tanpa mempertimbangkan peraturan perundangan yang berlaku tentang pembentukan serta pemberhentian anggota ULP dilingkungan Pemerintah Kota Dumai Tahun 2016, Tindakan Walikota Dumai diduga telah bertentangan dengan asas-asas umum dalam menjalankan roda pemerintahan yang baik, khususnya Asas Kepastian Hukum, Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, Asas Kepentingan Umum, Asas Keterbukaan, Asas Proporsionalitas, Asas Profesionalitas dan Asas Akuntabilitas;
4.      Bahwa dengan demikian Walikota Dumai dalam memberhentikan anggota ULP bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, karena ditetapkan secara sepihak dan tanpa melalui prosedur, dimana seharusnya terlebih dahulu dapat membuktikan adanya kesalahan yang dilakukan oleh anggota ULP yang disampaikan oleh Kepala ULP kepadaWalikotaDumai, sebagaimana diatur dalam ketentuanPasal 17 ayat (2a) butir c dan g Peraturan Presiden RI Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden RI Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
5.      Bahwa Walikota Dumai, Kepala Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kota Dumai Tahun 2016 telah bertindak secara tidak jujur selaku penyelenggara negara dalam memberikan informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif dalam memberikan perlindungan atas tugas pokok dan kewenangan Anggota ULP Kota Dumai Tahun 2016, karena disatu sisi Walikota Dumai dan Kepala Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kota Dumai Tahun 2016, Sebagaimana Surat Keputusan Walikota Tentang Pembentukan Unit Layanan Pengadaan (ULP) Barang/Jasa Pemerintah Dilingkungan Pemerintah Kota Dumai Tahun 2016 Nomor: 38/ADM-PEMB/2016 Tanggal 28 Januari 2016 (Terlampir);

6.      Bahwa karena adanya kepentingan Hukum  sebagaimana Surat Keputusan WalikotaNomor: 38/ADM-PEMB/2016 Tanggal 28 Januari 2016 Tentang Pembentukan Unit Layanan Pengadaan (ULP) Barang/Jasa Pemerintah Dilingkungan Pemerintah Kota Dumai Tahun 2016 untuk pengadaan Barang/Jasa APBD Kota DumaiTahun 2016, terutama untuk menghindari kesalahan dan penyimpangan prosedur serta legitimasi (sah secara hukum) atas pelaksanaan pelelangan umum nantinya yang menyangkut keuangan negara yang akan menjadi objek sengketa Tata Usaha Negara dalam perkara aqou dilaksanakan, maka sudah sepatutnya Walikota Kota Dumai melanjutkan Surat Keputusan Walikota Dumai Nomor: 38/ADM-PEMB/2016 Tanggal 28 Januari 2016;

Dengan demikian Social Civil Society meminta dengan hormat agar WalikotaDumai untuk segera mencabut Surat Keputusan Walikota Pengganti Surat Keputusan Walikota Nomor: 38/ADM-PEMB/2016 Tanggal 28 Januari 2016 Tentang Pembentukan Unit Layanan Pengadaan (ULP) Barang/Jasa Pemerintah Dilingkungan Pemerintah Kota Dumai Tahun 2016 dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah diterimanya surat somasi ini. Jika hal tersebut tidak diindahkan maka kami terpaksa menempuh upaya hukum Tata Usaha Negara yang tentu saja akan merugikan kepentingan Pembangunan Kota Dumai.
Demikian hal ini kami sampaikan, atas perhatian dan kerja sama yang baik kami ucapkan terimakasih.

 Hormat Kami,
Social Civil Society

                                                                                                                                                                         

Tembusan disampaikan Kepada Yth;
  1. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah(LKPP)
Kompleks Rasuna Epicentrum, Jl. Epicentrum Tengah Lot 11 B
Jakarta Selatan, DKI Jakarta
12940
  1. APIP Kota Dumai
  2. Arsip______





Tugas dan Fungsi ULP dalam Pengadaan Barang & Jasa

  

Organisasi Pengadaan Barang dan Jasa (B/J) sebelumnya banyak kelemahan dalam sistem kerjanya, diantaranya duplikasi kegiatan, sulit untuk pembinaan SDM, serta tidak ada keseragaman sistem/model. Untuk itu perlu dibentuk organisasi yang permanen (dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada) dan fokus menangani pengadaan Barang dan Jasa secara profesional yaitu Unit Layanan Pengadaan (ULP). Hingga Tahun 2013, ULP dapat dipandang sebagai “pengganti” Panitia Pengadaan. Namun 2014 harus operasional sebagai ULP yang permanen.

Melaksanakan PBJ melalui Penyedia yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/D dengan Tugas :
  1. Mengkaji ulang Rencana Umum Pengadaan bersama  PPK;
  2. Mengusulkan (bila perlu) perubahan HPS, spesifikasi teknis pekerjaan, dan rancangan kontrak  kepada PPK;
  3. Menyusun rencana pemilihan Penyedia Barang/Jasa;
  4. Mengumumkan pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa di website, papan pengumuman resmi, serta menyampaikan ke LPSE untuk diumumkan dalam Portal Pengadaan Nasional;
  5. Menilai kualifikasi Penyedia Barang/Jasa melalui prakualifikasi atau    pascakualifikasi;
  6. Melakukan evaluasi administrasi, teknis, dan harga terhadap penawaran yang masuk;
  7. Menjawab sanggahan (bila ada);  
  8. Menyerahkan salinan Dokumen Pemilihan Penyedia Barang/Jasa kepada PPK;
  9. Menyimpan Dokumen Pemilihan Penyedia Barang/Jasa yang asli;
  10. Membuat laporan mengenai proses dan hasil Pengadaan Barang/Jasa kepada Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Institusi;
  11. Menyusun dan melaksanakan strategi Pengadaan Barang/Jasa  ULP;
  12. Melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa dengan memanfaatkan teknologi informasi melalui LPSE (e-procurement);
  13. Melaksanakan evaluasi terhadap proses Pengadaan Barang/Jasa yang telah dilaksanakan; dan
  14. Membuat pertanggungjawaban mengenai proses dan hasil Pengadaan Barang/Jasa kepada Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Institusi/PA/KPA.
  
Struktur Organisasi ULP.
 Adapun kewenangan Pokja/ULP antara lain sebagai berikut :
  1. Menetapkan Dokumen Pengadaan;
  2. Menetapkan besaran nominal Jaminan Penawaran (1-3% HPS);
  3. Menetapkan Penyedia (Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya) s/d Rp 100M  dan  Jasa Konsultansi  s/d Rp10M melalui pelelangan, seleksi, atau penunjukan langsung (tidak dapat diganggu gugat oleh Kepala ULP);
  4. Mengusulkan calon Penyedia (Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya) untuk paket pengadaan di atas Rp 100M dan Jasa Konsultansi di atas Rp 10M kepada Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Institusi untuk ditetapkan;
  5. Memberikan sanksi administratif kepada Penyedia yang melakukan pelanggaran Perpres 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
  6. Mengusulkan kepada  PA/KPA  agar Penyedia yang melakukan pelanggaran dikenakan sanksi Daftar Hitam.
 Sedangkan kebijakan mengenai ULP dan Pembentukan Pokja sebagai berikut :
  1. Pokja dibentuk oleh Kepala ULP;
  2. Kepala ULP dapat membentuk lebih dari 1 Pokja, sesuai kebutuhan;
  3. Anggota Pokja berjumlah gasal sekurangnya 3 orang, dapat ditambah sesuai kebutuhan;
  4. Dalam membentuk Pokja, Kepala ULP memperhatikan kompetensi dan rekam jejak Anggota Pokja;
  5. Anggota Pokja berasal dari PNS (bersertifikat, dan “Jabatan Fungsional”), baik dari instansi sendiri maupun instansi lainnya;
  6. Setiap Anggota Pokja mempunyai kewenangan yang sama dalam pengambilan keputusan (yang ditetapkan berdasarkan suara terbanyak);
  7. Anggota Pokja bekerja secara kolektif-kolegial, tetapi untuk memudahkan pekerjaan dapat dibentuk Ketua-Sekretaris-Anggota di dalam Pokja.;
  8. Pokja ULP bertanggung jawab terhadap penetapan pemenang (tidak dapat diganggu gugat oleh Kepala ULP) – analogi : Majelis Hakim dalam Pengadilan Tinggi.
 Organisasi ULP - Hubungan dengan PA/KPA.
 “Sebagian besar Instansi dan Daerah telah membentuk ULP. Bahkan di Kementerian dan Lembaga umumnya punya beberapa ULP. Namun daerah umumnya satu ULP. Hampir semuanya melekat pada unit yang sudah ada. Perlu upaya pembentukan ULP yg permanen secara struktural”.
“Peluang membentuk ULP struktural di Daerah dimungkinkan oleh PP 41/2007 Pasal 45*, namun perlu kerjasama dan persetujuan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi”.
Di Kementerian/Lembaga/Instansi ULP “struktural” dapat dibentuk tanpa menambah jumlah organisasi apabila Pimpinan bersedia melakukan penataan, “slot organisasi” untuk ULP dapat berbentuk Badan/Pusat/Bagian.  Perlu political will Pimpinan Kementerian/Lembaga/Instansi dan perlu mendapat persetujuan Menteri PAN & RB.
LKPP sedang mempersiapkan Jabatan Fungsional Pengelola Pengadaan Barang dan Jasa. Ke depan, kombinasi  antara kelembagaan ULP dan Jabatan Fungsional akan memberi insentif dan jenjang karier yang jelas.
“Kedepannya, ULP dapat berkembang dari Unit menjadi Pusat/Badan (yg mempunyai fungsi luas termasuk riset, pengembangan SDM, keilmuan Pengadaan Barang dan Jasa, dsb).

Diposting oleh : Administrator

Hmmm....Cuma Formalitas



Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, metode pemilihan untuk pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya pada dasanya dilakukan dengan pelelangan umum. Sejak penerapan Peraturan Presiden tersebut, pemerintah telah secara massif melakukan perbaikan tata kelola pengadaan dimulai dengan pengenalan dan pelaksanaan pelelangan secara elektronik yang diharapkan dapat menjaga penerapan prinsip pengadaan. Salah satu ukuran keberhasilan pengadaan diukur dari besarnya penghematan yang dihasilkan melalui proses pelelangan.
Namun demikian harus diakui bahwa keberhasilan penerapan prinsip pengadaan tidak bisa hanya diukur dari jumlah pelelangan elektronik dan penghematan yang dilakukan. Harus disadari bahwa masih banyak pelelangan yang dilakukan “ala kadar” nya, baik karena keterbatasan kemampuan sumber daya manusia maupun karena upaya persekongkolan yang dibungkus dengan tertib administrasi. Dalam buku BEGINI TENDER YANG BENAR, kondisi yang saya gambarkan tersebut di atas adalah pelelangan yang hanya sekedar mematuhi syariat, tanpa upaya untuk memahami dan menjaga hakikat tahapan-tahapan pelelangan. Hakikat dari tahapan-tahapan perencanaan pengadaan dan pelelangan sekurangnya adalah sebagai berikut:
1. Penyusunan Spesifikasi
Spesifikasi merupakan rumusan kebutuhan barang/jasa yang akan diperoleh melalui kegiatan pengadaan. Spesifikasi harus bersifat terbuka dan tidak mengarah pada produk tertentu sehingga bisa diikuti oleh sebanyak mungkin penyedia barang/jasa. Rumusan spesifikasi, akan menjadi dasar kriteria teknis dalam pelelangan. Karena keterbatasan kemampuan, seringkali spesifikasi dirumuskan terlalu sederhana, sehingga tidak menggambarkan kriteria teknis yang seharusnya. Karena kesalahan dalam perumusan spesifikasi, maka pelelangan bisa menghasilkan barang/jasa yang tidak dapat memenuhi kebutuhan yang diharapkan atau menghasilkan barang/jasa dengan kualitas yang rendah. Potensi kerugian negara muncul apabila hasil pengadaan tidak dapat dimanfaatkan atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Dalam kondisi yang lain, spesifikasi dirumuskan secara ketat, sehingga hanya produk tertentu atau penyedia tertentu saja yang dapat mengikuti pelelangan. Rumusan spesifikasi yang tidak bersifat terbuka akan membawa dampak kurangnya persaingan sehingga pelelangan tidak bisa menghasilkan harga yang terbaik dan berpotensi merugikan keuangan negara.
Kesalahan perumusan spesifikasi juga bisa terjadi apabila spesifikasi dirumuskan tidak berdasarkan kebutuhan sebenarnya, namun dirumuskan dengan pendekatan kepentingan tertentu atau penyerapan anggaran yang sudah tersedia. Pelelangan bisa menghasilkan barang/jasa sesuai spesifikasi yang ditentukan, namun hasil pengadaan tidak dimanfaatkan karena pada dasarnya barang/jasa tersebut tidak dibutuhkan dalam pelaksanaan kegiatan sehingga langsung maupun tidak langsung bisa merugikan keuangan negara.
2. Penetapan Harga Perkiraan Sendiri
Harga Perkiraan Seniri (HPS) mencerminkan harga pasar yang wajar di lokasi kegiatan. Oleh karena itu, perhitungannya harus dilakukan secara keahlian dan didukung oleh sumber data yang dapat dipertanggungjawabkan. Perhitungan HPS terlalu rendah bersamaan dengan rumusan spesifikasi yang tidak akurat akan mengakibatkan pelelangan gagal atau pelelangan yang menghasilkan barang/jasa dengan kualitas rendah.
Sebaliknya, jika spesifikasi dirumuskan melebihi kebutuhan yang seharusnya atau tidak berdasarkan kebutuhan yang sebenarnya, maka HPS yang ditetapkan tidak mencerminkan harga pasar yang wajar, bahkan berpotensi mengandung unsur-unsur harga yang tidak seharusnya. Pelelangan bisa berjalan sebagaimana prosedur yang seharusnya, meskipun HPS mengandung unsur mark up. Namun harus disadari bahwa pelelangan tersbut tidak akan menghasilkan harga terbaik bagi negara.
[B]3. Penyusunan Dokumen Pengadaan[/B]
Dokumen Pengadaan yang baik tidak dapat disusun apabila ada keterbatasan kemampuan Pokja ULP. Pokja ULP sering menggunakan Standar Dokumen Pengadaan, yang masih mengandung pilihan-pilihan, menjadi Dokumen Pengadaan yang digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan pelelangan.
Dari sisi peserta pelelangan, kesempurnaan Dokumen Pengadaan belum menjadi perhatian yang utama. Peserta lebih memusatkan perhatian pada spesifikasi dan HPS dan cenderung menetapkan strategi bersaing dengan mengandalkan harga yang rendah. Kondisi lebih buruk terjadi apabila pelelangan sudah mengabaikan prinsip bersaing, peserta pelelangan terbatas pada sekumpulan peserta tertentu yang melakukan persekongkolan, maka kualitas Dokumen Pengadaan tidak menjadi perhatian karena Dokumen Pengadaan hanya menjadi sekedar pemenuhan persyaratan agar pelelangan bisa dilaksanakan.
Tantangan saat ini adalah, nelum ada indikator yang dapat digunakan untuk menilai kualitas Dokumen Pengadaan dan belum ada [I]tools[/I] yang bisa digunakan sebagai penjaminan mutu bahwa Dokumen Pengadaan sudah disusun berdasarkan prinsip pengadaan.
4. Pengumuman
Kebijakan menggunakan hari kalender dalam pelelangan elektronik dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi para pihak dan percepatan proses pelelangan. Masa pengumuman, yang mengandung beberapa hari libur, tidak melanggar petunjuk teknis. Namun alokasi waktu yang tidak wajar bisa mengabikatkan tujuan pengumuman agar diketahui sebanyak mungkin calon peserta bisa tidak tercapai.
5. Pemberian Penjelasan
Perubahan pola pemberian penjelasan dengan tatap muka langsung menjadi pemberian penjelasan secara elektronik bisa mengakibatkan Pokja ULP mengambil sikap pasif pada saat pemberian penjelasan. Yang menjadi lebih mengkhawatirkan jika Pokja ULP memanfaatkan waktu penjelasan dengan menjawab pertanyaan di akhir masa pemberian penjelasan. Agar tujuan pemberian penjelasan untuk memberikan pengertian yang sama antara Poja ULP dan peserta pelelangan, Pokja ULP bisa mengambil inisiftif membuat ringkasan pokok-pokok materi pemberian penjelasan dan meyampaikan kepada peserta pada saat tahap pemberian penjelasan.
6. Pemasukan Dokumen Penawaran
Jangka waktu pemasukan dokumen penawaran ditentukan oleh Pokja ULP dengan memperhatikan jenis dan kompleksitas pekerjaan. Sebagaimana masa pengumuman, masa pemasukan dokuman penawaran juga menghitung hari kalender. Yang perlu dipertimbangkan adalah dalam penyiapan dokumen penawraan, peserta bisa memerlukan keterlibatan pihak lain (misalnya : pabrikan dan asuransi) yang bekerja pada hari kerja saja. Oleh karena itu, guna memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada peserta untuk mempersiapkan dokumen penawaran dan pendukungnya, Pokja ULP perlu mengalokasikan hari kerja yang cukup.
7. Pembukaan Dokumen Penawaran
Fenomena dalam pelelangan elektronik adalah jumlah peserta yang memasukkan dokumen penawaran jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pendaftar. Hal ini terjadi karena kemudahan proses pendaftaran secara elektronik. Resiko terbesar sebuah proses pelelangan adalah adanya persekongkolan, dan salah satu bentuk persekongkolan yang merugikan adalah apabila ada sekelompok peserta yang melakukan persekongkolan dengan jumlah pemasukan 3 peserta guna menghindari pelelangan gagal. Persekongkolan akan mengakibatkan pelelangan tidak menghasilkan harga yang terbaik. Sebagai gambarannya adalah : apabila pelelangan diikuti oleh 3 peserta yang melakukan persekongkolan, maka harga yang ditawarkan menjadi harga kontrak. Sebaliknya apabila pelelangan (dilanjutkan pelelangan ulang) diikuti oleh hanya 1 peserta, Pokja memiliki kesempatan untuk melakukan negosiasi harga.
8. Evaluasi Administrasi
Evauasi administrasi bertujuan untuk memastikan bahwa penawaran diajukan oleh pihak yang sah dan dilampiri dengan jaminan penawaran yang sah (jika dipersyaratkan). Oleh karena itu, evaluasi administrasi tidak digunakan sebagai sarana menggugurkan penawaran karena hal-hal yang bersifat tidak substansial. Dengan menghindari hal-hal yang tidak substansial, maka Pokja ULP telah mengarahkan persaingan sepenuhnya pada evaluasi administrasi dan harga.
9. Evaluasi Teknis
Resiko pada evaluasi teknis terkait dengan resiko penyusunan spesifikasi. Tantangan Pokja ULP adalah untuk mengetahui kesesuaian penawaran (yang menjadi dasar pelaksanaan pekerjaan) dibandingkan dengan kriteria yang ditetapkan. Pokja ULP melakukan evaluasi terhadap dokumen yang diajukan semata dan tidak memaksimalkan kewenangannya untuk melakukan klarifikasi teknis. Evaluasi teknis harus bisa mendapatkan gambaran mengenai penguasaan peserta terhadap lingkup pekerjaan yang ditawarkan.
Harus diakui bahwa evaluasi teknis ibarat pisau bermata dua, di satu sisi sebagai “alat uji’ kemampuan peserta, di sisi lain sebagai “alat bunuh” untuk peserta yang tidak diharapkan menjadi pemenang. Kriteria penilaian teknis, terlebih jika menggunakan ambang batas, sering tidak transparan dan terukur sehingga memberikan kewenangan subyektifitas kepada Pokja ULP.
Kriteria evaluasi teknis yang ideal, baik menggunakan sistem gugur maupun sistem ambang batas, adalah kriteria yang bebas dari subyektifitas dan bisa dipahami sama oleh Pokja ULP, peserta pemilihan, aparat pengawasan dan pihak lain. Sehingga siapapun bisa berperan seolah-olah sebagai Pokja ULP dan mengasilkan kesimpulan hasil evaluasi yang sama.
10. Evaluasi Harga
Resiko dalam evaluasi harga terkait dengan resiko dalam penyusunan HPS. Resiko lain dalam evaluasi harga adalah apabila terdapat peserta yang mengajukan penawaran dengan harga sangat rendah. Ada beberapa kemungkinan yang menjadi penyebab harga sangat rendah, peserta memiliki sumber daya yang sangat efisien, penyedia tidak memahami lingkup pekerjaan sehingga salah menentukan harga penawaran, atau peserta dengan sengaja melakukan banting harga. Pokja ULP memiliki kewenangan untuk melakukan klarifikasi harga, namun seringkali Pokja ULP tidak memiliki tools untuk dapat mendeteksi alasan peserta mengajukan harga yang sangat rendah.
Yang perlu menjadi kekhawatiran Pokja ULP adalah motif ekonomi dari peserta pelelangan. Dengan motif ekonomi, berapapun uang yang diperoleh, peserta (pada saat menjadi penyedia) akan mengamankan keuntungannya dan membebankan kerugian pada negara apabila kualitas pelaksanaan kontrak rendah. Belum dibangunnya sistem pengelolaan kinerja, masih memberikan peluang kepada penyedia untuk lebih mengutamakan keuntungan jangka pendek dibandingkan menjaga kinerja jangka panjang.
Dalam kondisi lain, Pokja ULP juga menghadapi resiko harus menerima harga penawaran yang tinggi atau mendekati HPS karena jika pemasukan penawaran sudah sah, Pokja ULP tidak memiliki kewenangan melakukan negosiasi harga.
11. Sanggahan
Sanggahan masih dimaknai sekedar sarana membela diri Pokja ULP, belum dimaknai sebagai bagian dari proses [I]de-briefing[/I] untuk meningkatkan kapasitas peserta yang belum memenangkan pelelangan. Oleh karena itu, Pokja ULP sering memberikan jawaban sanggahan ala kadar – nya dengan asumsi peserta akan keberatan mengajukan sanggahan banding karena kewajiban jaminan sanggahan banding. Agar kualitas hasil pelelangan meningkat dan sanggahan bisa dicegah, Pokja ULP harus menjelaskan penyebab peserta gugur dengan transparan melalui mekanisme pengumuman hasil pelelangan.
Dalam kondisi lain, tidak terjadi sanggahan dalam proses pelelangan. Harapannya hal tersebut terjadi karena evaluasi sudah dilakukan dengan transparan dan terukur, bukan karena hasil skenario persekongkolan.
Pemahaman hak sanggahan juga masih lemah diantara para peserta pelelangan. Sanggahan yang disediakan untuk membela diri apabila merasa dirugikan telah berubah menjadi sarana mempertanyakan kemenangan peserta lain.
Peserta yang tidak puas dengan jawaban sanggahan dan keberatan dengan jaminan sanggahan banding, pada akhirnya memilih jalan lain di luar prosedur pelelangan, yaitu pengaduan kepada penegak hukum dan pihak lain. Pihak-pihak yang menerima pengaduan, dengan dasar kewenangan yang dimilikinya menindaklanjuti pengaduan. Permasalahan menjadi semakin rumit dan mekanisme yang diatur dalam pasal 117 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Perbaikan secara terus menerus terhadap prosedur pelelangan dan aplikasinya harus dibarengi dengan peningkatan kualitas PPK, Pokja ULP dan peserta pelelangan guna mewujudkan cita-cita pelelangan sebagai sarana mendapatkan value for money yang berbaik.

Diposting oleh : Administrator