Sabtu, 29 Agustus 2015

Niat baik Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Dinodai Oleh POKJA ULP



Barang/Jasa pemerintah adalah salah satu entitas pokok (objek) dari proses pembangunan berkelanjutan di negeri ini. Ketersediaan barang’jasa memberikan pengaruh langsung terhadap roda pemerintahan dalam rangka membangun masyarakat indonesia yang adil dan sejahtera. Dalam konteks demikian, tentunya membutuhkan signifikan nilai efektif, efisien dan berdaya guna, baik terhadap satuan kerja lembaga pemerintah, maupun masyarakat secara luas. Hal ini penting, karena secara filosofis, pembangunan dalam mengisi kemerdekaan adalah bertujuan tak lain untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.Berbicara tentang barang/jasa (selanjutnya disingkat B/J) dalam perspektif kekinian, maka salah satu hal yang menjadi perhatian bagi kementerian/lembaga pemerintah (pengguna) dan pihak swasta (penyedia) adalah masalah sistem pengadaan barang/jasa itu sendiri. Salah satu bentuk sistem pengadaan barang/jasa pemerintah terkini adalah Layanan Pengadaan Secara Elektronik. Berkaitan dengan hal tersebut, secara substansi terdapat beberapa perubahan, tantangan maupun harapan dalam pelaksanaan pengadaan B/J pemerintah. Begawan Ekonomi Indonesia, Prof. Soemitro Djojohadikusumo, dua puluh tahun yang lalu sudah mensinyalir 30-50 persen kebocoran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara akibat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Sehubungan dengan argumen tersebut, perubahan-perubahan demi kemajuan bangsa terus dilakukan, salah satunya adalah dengan lahirnya Peraturan Presiden RI Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan perubahan terakhir yaitu perpres Nomor 4 Tahun 2015 yang salah satu pasal perubahannya adalah pengadaan barang/jasa dilakukan secara elektonik. Secara filosofis, salah satu latar belakang terbitnya Perpres diatas (sebelumnya Kepres 80/2003) adalah terlaksananya pengadaan B/J pemerintah yang efisien, terbuka, kompetitif, terjangkau dan berkualitas, sehingga akan berdampak pada peningkatan pelayanan publik. Disamping itu pula, perubahan Kepres menjadi Perpres adalah upaya mengantisipasi kebocoran anggaran yang masih saja terjadi di instansi pemerintah. Dan hal ini diyakini dapat ditempuh dengan sistem Layanan Pengadaan Secara Elektornik (selanjutnya disingkat LPSE).Pelaksanaan pengadaan B/J dengan sistem LPSE, secara efisien dimaksudkan terlaksananya ketepatan penggunaan anggaran, waktu dan tenaga sehingga mampu memberikan hasil yang berdaya guna. Terbuka, adanya proses pengadaan barang/jasa pemerintah yang adil, diumumkan secara luas kepada penyedia B/J. Diharapkan juga terjadi persaingan yang sehat dalam proses pengadaan barang/jasa tersebut dengan meniadakan sikap-sikap diskriminatif dan tekanan-tekanan. Hal yang tak terpisahkan dalam metode LPSE adalah daya jangkau penyedia B/J. Daya jangkau, dimaksudkan agar dalam merencakan dan melaksanakan paket pengadaan B/J harus memperhatikan kemampuan lokal (masyarakat/penyedia B/J) untuk bisa bersaing. Dari semua proses pengadaan B/J tersebut, pada akhirnya bermuara pada kualitas, baik kualitas proses administrasi, maupun capaian akhir dari pengadaan B/J itu sendiri.Secara sosiologis, keberadaan sistem LPSE tersebut diyakini berimplikasi pula pada masyarakat, baik masyarakat sebagai penyedia B/J, maupun masyarakat yang menikmati langsung hasil pengadaan B/J tersebut, khususnya berkaitan dengan sarana dan prasarana umum. Terbuka, kompetitif dan terjangkau adalah sesuatu yang tentunya diharapkan oleh semua elemen penyedia B/J.Adanya LPSE dengan sistem E-Procurement, menuntut pihak pengguna dan penyedia B/J untuk memahami dan meningkatkan kualitas pengetahuan terhadap Industri Teknologi (IT), minimal pengetahuan electronic komputerice untuk mampu bersaing terbuka dalam pengadaan B/J. Secara sosiologis, upaya peningkatan pengetahuan tersebut langsung atau tidak langsung meningkatkan pula pengetahuan masyarakat secara umum, yang berujung pada meningkatnya etos kerja karena bertambahnya pengetahuan. Dan hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pengguna dan penyedia B/J dalam menghasilkan B/J yang berkualitas.Dalam konteks yuridis, LPSE telah ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (38) Perpres RI Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Diyakini, Perpres ini lahir sebagai penyempurnaan dari Kepres 80 tahun 2003 dan atas dinamika perkembangan pembangunan bangsa. Perpres ini menjadi dasar hukum (legal basic) bagi pengguna dan penyedia B/J dalam melakukan proses pengadaan B/J pemerintah. Keberlakukan Pepres ini dalam beberapa hal di tahun 2011 belum dilaksanakan secara penuh karena adanya perbedaan situasi dan kondisi pada masing-masing daerah/satuan kerja. Namun, setidaknya keberadaan Perpres ini telah membuka pemahaman dan kepatuhan baru bagi semua unsur terkait dengan pengadaan B/J pemerintah.Adanya perubahan dalam pengadaan B/J pemerintah dengan sistem LPSE (E-Procurement) ini, paling tidak memberikan harapan-harapan positif, baik bagi pihak pengguna maupun penyedia B/J. Sistem LPSE memberikan ruang dan kesempatan secara luas kepada masyarakat (penyedia B/J) untuk bisa bersaing secara efisien, kompetitif, terbuka, bahkan memperhatikan juga daya jangkau dalam proses pengadaan B/J pemerintah, sehingga tentunya hal ini memberikan harapan tersendiri. Dan disatu sisi bagi pengguna B/J, keberadaan LPSE ini menuntut aparatur negara (khususnya di bidang pengadaan B/J) suka atau tidak suka terpacu untuk selalu berupaya belajar dan meningkatkan pengetahuan IT (E-Procurement), dengan maksud mampu bersaing dalam meningkatkan pembangunan bangsa, sehingga hal ini secara tidak langsung telah pula meningkatkan kinerja sebagai aparatur negara yang handal dan professional, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari konsteks reformasi birokrasi. Namun untuk merealisasikan hal diatas, maka dibutuhkan niat baik dan kesungguhan dari semua pihak terkait secara komprehensif-hirarkis dan berkesinambungan, sehingga apa yang dikatakan oleh Prof. Soemitro diatas terpatahkan oleh kinerja generasi kini, dan akan datang.
Menyikapi Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Percepatan Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Menjadi Pengelola Pengadaan Barang/Jasa (Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat/Panitia Pengadaan/Pokja ULP, Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat/Penerima Hasil Pekerjaan) bukanlah hal yang menyenangkan bagi sebagian PNS. Banyak keluh-kesah serta suka dan duka tatkala seorang PNS menjalani tugas sebagai Pengelola Pengadaan Barang/Jasa. Mulai dari honor yang tak sebanding dengan besarnya beban dan risiko pekerjaan sampai dengan kuatnya arus intervensi dari pihak-pihak tertentu. Intervensi harus diimbangi dengan integritas.
Integritas dapat diartikan sebagai tindakan yang sesuai dengan norma, nilai, dan prinsip yang telah diatur. Integritas juga mengandung arti kejujuran. Dalam Pengadaan Barang/Jasa integritas merupakan persyaratan pertama yang harus dimiliki oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat/Panitia Pengadaan/Pokja ULP, dan Pejabat/Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP). Perwujudan dari integritas dituangkan dalam Pakta Integritas yang harus ditandatangani oleh PPK, Pejabat/Panitia Pengadaan/Pokja ULP, dan PPHP.
Pakta Integritas merupakan surat pernyataan yang berisi ikrar untuk mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme dalam Pengadaan Barang/Jasa (Pasal 1 angka 13 Perpres Nomor 70 Tahun 2012). Kenyataan yang seringkali terjadi, Pakta Integritas hanyalah selembaran kertas yang dijadikan dokumen pelengkap dalam proses Pengadaan Barang/Jasa. Lebih ironis lagi ada yang menandatangani Pakta Integritas tanpa membaca apalagi memahaminya terlebih dahulu.
Integritas seseorang seringkali goyah akibat adanya intervensi dari pihak-pihak tertentu. Intevensi sering diartikan sebagai tindakan campur tangan. Bentuk intervensi yang sering terjadi dalam proses Pengadaan Barang/Jasa adalah adanya perintah atau tekanan untuk memenangkan Penyedia tertentu. Istilah yang umumnya digunakan adalah “arahan/titipan” yang dibalut dengan kata “Kebijakan”.
Semua pihak yang terlibat seakan dipaksa untuk mengamankan kebijakan tersebut. Melawan kebijakan dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak loyal. Akibatnya bagi seorang PNS bisa saja dipindahtugaskan (mutasi) bahkan dibebastugaskan (non job). Loyalitas seringkali disalahtafsirkan sebagai sikap sesorang yang harus tunduk dan mengikuti apapun perintah atasan termasuk menabrak aturan sekalipun.
Perintah yang tidak sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan wajib hukumnya untuk tidak diikuti. Hanyalah orang-orang berintegritas yang punya keberanian untuk “melawan” kebijakan yang salah tersebut. Itulah salah satu alasan mengapa integritas merupakan persyaratan pertama yang harus dipenuhi oleh Pengelola Pengadaan Barang/Jasa. Integritas salah satu faktor utama yang dapat menafikan intervensi.
Secara umum intervensi akan berpengaruh buruk terhadap tata pemerintahan yang baik dan bersih (Good Governance and Clean Government). Dalam Pengadaan Barang/Jasa, intervensi akan mengganggu terciptanya mekanisme pasar dan persaingan usaha yang sehat diantara para pelaku usaha.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mendefinisikan persaingan usaha yang tidak sehat sebagai  persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Undang-Undang tersebut juga menekankan bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu. Demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga Negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar.
Intervensi dalam Proses Pengadaan Barang/Jasa bukan hanya pada tahapan Pemilihan Penyedia/Tender saja. Dari hulu hingga hilir seakan tak pernah luput dari intervensi. Mulai dari tahap perencanaan sampai dengan barang/jasa itu ada. Berikut Penulis akan mengurai secara garis besar praktik-praktik intervensi dalam setiap tahapan.
Tahap Perencanaan; Penyusunan perencanaan harus didasarkan pada kebutuhan (based on need) bukan semata-mata pada keinginan (based on want). Intervensi seringkali menyebabkan proses penganggaran seringkali hanya berdasarkan pada keinginan pihak-pihak tertentu. Identifikasi kebutuhan yang seharusnya menjadi dasar penyusunan kegiatan menjadi terabaikan.
Tahap Pemilihan Penyedia (Tender); Pada tahap ini arus intervensi sangat kuat. Proses pemilihan Penyedia seringkali dianggap hanyalah formalitas. Pemenang tender sebenarnya sudah ada sejak awal. Segala prosedur yang dijalankan hanyalah upaya untuk menggugurkan kewajiban saja. Panitia/Pokja ULP “dipaksa” memutar otak untuk memenangkan “titipan/arahan” dengan segala cara. Pengaturan dalam proses pemilihan Penyediapun dilakukan. Indikasi adanya pengaturan tersebut sebenarnya mudah dikenali.
Beberapa contoh adanya indikasi pengaturan dalam proses pemilihan Penyedia antara lain: pelelangan sengaja tidak dilakukan secara elektornik (electronic tendering); persyaratan dalam dokumen pemilihan tidak sesuai kententuan dan mengada-ada dengan tujuan mempersempit peluang Penyedia yang lain; pada lelang secara elektronik Penyedia mengalami kesulitan mengunggah dokumen penawaran. Ada indikasi sengaja dihalangi melalui sistem, sehingga hanya penyedia tertentu saja yang bisa menggunggah dokumen penawaran; Penyedia yang dimenangkan cenderung memiliki nilai penawaran mendekati nilai HPS (Harga Perkiraan Sendiri) dengan peringkat dibawah; dan masih banyak lagi indikasi lainnya.
Tahap Pelaksanaan Kontrak; setelah pengumuman pemenang dan tidak ada sanggahan/sanggahan  tidak benar,  selanjutnya PPK menerbitkan SPPBJ (Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa). SPPBJ merupakan langkah awal menuju Kontrak. PPK bisa saja tidak sependapat dengan keputusan Panitia/Pokja ULP dalam hal penetapan pemenang. PPK yang jeli seharusnya meneliti terlebih dahulu semua proses yang dilakukan oleh Panitia/Pokja ULP sebelum menerbitkan SPPBJ. Jika ada yang tidak sesuai dengan ketentuan/melanggar prosedur maka PPK mempunyai kewenangan untuk tidak menerbitkan SPPBJ. Selanjutnya permasalahan tersebut dibawa ke tingkat PA/KPA untuk diputuskan. Keputusan PA/KPA bersifat final.
Intervensi menjadikan PPK tidak dapat berbuat banyak walaupun sebenarnya mengetahui ada sesuatu yang salah. Kewenangan PPK seakan dikebiri. PPK tidak berkutik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya mengendalikan pelaksanaan Kontrak. Justeru sebaliknya, seringkali Penyedia atau pihak lain yang mengendalikan pelaksanaan Kontrak.
Kontrak yang berakhir dengan serah terima pekerjaan juga tidak luput dari intervensi. Berita Acara Serah Terima (BAST) Hasil Pekerjaan terpaksa harus ditandatangani oleh PPHP walaupun hasilnya tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Kontrak.
Harus diingat bahwa para pihak dalam proses Pengadaan Barang/Jasa maupun Pengelolaan Keuangan mempunyai tugas dan kewenangannya masing-masing. Pada suatu saat para pihak yang terlibat akan dimintai pertanggungjawaban sesuai dengan tugas dan kewenangannya tersebut.
Di Republik ini masih banyak orang benar dan punya integritas. Namun tidak sedikit orang benar yang berada di tempat, waktu, dan sistem yang salah akhirnya bermasalah karena tidak mampu mempertahankan kekokohan integitasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar