Semenjak Undang-Undang tentang
Otonomi Daerah diterapkan persoalan kemampuan daerah secara ekonomi dan politis
pun ramai diperbincangkan. Salah satu isu ekonomi yang menarik untuk
didiskusikan dalam hal ini yakni seputar daya dukung sumber pendapatan daerah
dalam menggantikan penerimaan yang diperoleh dari pemerintah pusat. Isu ini
memang strategis mengingat pelaksanaan otonomi juga dapat diartikan sebagai
kemandirian daerah dari sisi pembiayaan pembangunan.
Selama ini sumber penerimaan daerah
terdiri dari sumbangan pemerintah pusat, pajak daerah dan penerimaan lain
seperti laba perusahaan daerah. Dengan berkurangnya porsi subsidi pemerintah
pusat, tidak ada jalan lain yang perlu dilakukan pemerintah daerah selain
menggali dan mengotimalkan sumber pendapatan asli daerah. Yang menjadi
persoalannya sekarang, mampukah daerah melakukannya mengingat keterbatasan
sumber pendapatan daerah, khususnya bagi daerah yang miskin sumber daya alam?
Jawabannya akan sangat tergantung pada proses “restrukturisasi” sumber-sumber
penerimaan daerah. Saya katakan restrukturisasi sebab pemerintah daerah
sebenarnya sudah mempunyai sumber-sumber pendapatan yang potensial namun pada
saat ini berada dalam kondisi yang menyedihkan. Yang diperlu dilakukan
pemerintah daerah saat ini yaitu ‘memolesnya’ kembali agar tampak molek dan
cantik. Salah satu sumber pendapatan potensial yang perlu dipoles itu tidak lain
perusahaan daerah atau dikenal dengan badan usaha milik daerah (BUMD).
Secara umum kondisi perusahaan daerah
dapat dikatakan sama dengan apa yang dialami oleh kebanyakan BUMN kita.
Persoalan BUMD kurang terekspos karena memang secara makro posisinya kurang
strategis bila dibandingkan dengan BUMN. Dilihat dari misi pendiriannya, BUMN
jelas memiliki peran yang sangat signifikan dalam mendukung perekonomian
nasional. Sebegitu pentingnya, pemerintah pun perlu membuat kementrian khusus
yang menangani BUMN. Akan tetapi dengan diberlakukannya UU tentang Otonomi
Daerah tersebut, peranan BUMD harus mulai diperhatikan.
Bila dibuat pembandingan antara BUMN
dan BUMD, akan terlihat kesamaan permasalahan di antara keduanya. Pertama,
masalah efisiensi. Kebanyakan BUMD di
Indonesia beroperasi di bawah kondisi yang sangat tidak efisien. Terjadi
pemborosan dana di sana-sini karena para pengelolanya tidak memiliki keahlian
yang cukup. Terkadang keputusan-keputusan manajerial berkaitan dengan investasi
baru, penentuan tarif atau keputusan lain diambil secara tidak profesional.
Pekatnya nuansa kolusi, korupsi dan nepotisme menandakan ketidakprofesionalan
para pengelola BUMD tersebut. Di samping itu, inefisiensi BUMD juga bersumber
dari pemanfaatan teknologi yang sudah ketinggalan jaman. Kebanyakan BUMD
beroperasi dengan mesin-mesin peninggalan kolonial yang umurnya sampai saat ini
sudah puluhan tahun. Bahkan ada mesin yang umurnya lebih tua dari karyawan yang
paling tua sekalipun. Dengan kondisi ini, jelas beban pemeliharaan mesin tidak
sebanding dengan output yang diperoleh dari mesin tua tersebut.
Kedua, masalah intervensi dan birokrasi. Bila saat ini banyak BUMD yang kalah
bersaing dengan sektor swasta dan akhirnya tumbang di tengah jalan, salah satu
penyebabnya adalah besarnya campur tangan dan lambannya pemerintah daerah dalam
mengantisipasi perubahan situasi dan kondisi bisnis. Selama ini semua keputusan
bisnis baik yang bersifat strategis maupun keputusan-keputusan konvensional
lainnya harus selalu ijin kepada pemerintah. Repotnya, respon pemerintah
seringkali, bahkan dapat dikatakan selalu, lambat. Maklum, sekali lagi berurusan
dengan birokrasi. Pemerintah akan selalu "mempertimbangkan",
"menampung", lalu "membahas" usulan para direksi perusahaan
daerah. Keputusannya akan diberitahukan kemudian, bisa dalam hitungan bulanan
atau bahkan tahunan. Bisa dibayangkan, jika suatu BUMD mengajukan proposal
investasi mesin baru saat ini dan keputusan "ya" atau
"tidak" baru datang setahun kemudian.
Ketiga, pengendalian dan pengawasan. Selaku pemilik, Pemerintah Daerah
memiliki kewenangan untuk mengawasi perkembangan BUMD-BUMD di wilayahnya.
Pemerintah daerah biasanya membentuk badan pengawas, yang bertindak seperti dewan komisaris pada perusahaan swasta. Anggotanya terdiri dari para pejabat
di lingkungan pemda, yang terkadang tidak mempunyai latar belakang bisnis sama
sekali. Biasanya, badan pengawas ini tidak melakukan kegiatan sesuai tugas dan
fungsinya, yaitu selaku wakil pemerintah daerah untuk mengawasi jalannya
perusahaan daerah. Para anggota badan pengawas rata-rata menyatakan tidak
sempat memikirkan perkembangan usaha daerah, karena sudah sibuk dengan tugas
dalam jabatan formalnya sendiri-sendiri. Tetapi, ironisnya mereka senang-senang
saja menerima "gaji" dari jabatan tersebut. Dalam kondisi seperti
ini, posisi perusahaan daerah seakan-akan menjadi anak ayam yang berusaha hidup
dan mengais-ngais makanan tanpa tuntunan sang induk.
Bagaimana dengan Perusahaan Daerah
Di Dumai, Saat ini PT.
Pembangunan Dumai yang paling bisa diharapkan untuk mendorong pembangunan
ekonomi di Kota Dumai serta sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah
(PAD) Kota Dumai, dimana pada tahun 2014 Pemerintah Kota Dumai telah
mengalokasikan penyertaan modal sebesar Rp. 28 Miliar melalui Perda Kota Dumai Nomor
: 1 Tahun 2014. Saat ini PT. Pembangunan Dumai telah memiliki bidang usaha
yaitu Industri Ready Mix, yang tujuan nya adalah untuk Pengendalian
Mutu/Kualitas Pembangunan Daerah dimana diharapkan PT Pembangunan Dumai dapat
berperan aktif memberi layanan pengujian mutu beton. Namun PT. Pembangunan
Dumai belum memanfaatkan secara maksimal atas kepemilikan sebidang tanah seluas
51Ha dikelurahan Pelintung kecamatan Medang Kampai.
Namun yang paling disayangkan adalah
keberadaan PT. Pelabuhan Dumai Berseri, dimana perusahaan Milik Daerah ini dapat
dikatakan Hidup Segan Matipun Takut. Manajerial yang tidak transparant selama
pengelolaan nya serta tidak membaca ancaman maupun tantangan yang terjadi
dikedepan harinya membuat perusahaan ini tergusur oleh perusahaan PT Pelabuhan Tiga Bersaudara sesuai dengan SK MenHub No. KP 1161
Tahun 2012 Tentang Pemberian izin kepada PT Pelabuhan Tiga
Bersaudara untuk menyelenggarakan pelayanan jasa pemanduan pada perairan
terminal khusus PT Sari Dumai Sejati, terminal khusus PT Semen Padang dan
terminal khusus PT Pacific Indopalm Industries di perairan wajib pandu kelas I
Dumai. Sebelumnya PT. Pelabuhan Tiga Bersaudara ini merupakan mitra kerja sama
PD. Pelabuhan Dumai Bersemai dengan system bagi hasil yang tertera dalam surat
perjanjian kerja sama yang terlah di sepakati oleh kedua belah pihak pada 17
Juni 2005 dan selesai pada tahun 2010. Sayang nya PD. Pelabuhan Dumai Bersemai serta
Pemerintah Kota Dumai telah terlena dengan kerja sama yang telah dibangun
dengan PT. Pelabuhan Tiga Bersaudara.
Social
Civil Society (SCS) yang telah lahir pada tahun 2008 sangat menyayangkan atas
beralihnya pengelolaan jasa kepelabuhan khusus nya dibidang kepanduan. Saat ini
baik Pemerintah Kota Dumai, PT. Pelabuhan Dumai Bersemai serta Pihak Legislatif
hanya berdiam diri. Apakah karena telah tersandera oleh kepentingan atas dugaan korupsi penyimpangan jasa pandu, jasa tunda dan jasa
labuh yang dikelola Perusahaan Daerah Pelabuhan Dumai Bersemai (PD PDB) yang
saat ini telah berubah menjadi PT. Pelabuhan Dumai Bersemai.
Masih terbayang didepan mata
kejadian tahun 2002-2003, meski setitik darah yang mengalir dari pelipis mata
salah satu mahasiswa yang menuntut bagi hasil dari pelindo dumai baik yang ada
didarat pesisir maupun laut pesisir. Sehingga membuah kan hasil yakni pelindo
memberikan bagi hasil kepada pemerintah kota dumai seperti hak darat melalui
tiket masuk pelabuhan dan hak laut jasa pandu dan tunda. Setelah terbitnya SK MenHub No. KP 1161 Tahun 2012 dan mulai nya penyelidikan pada tahun 2014 oleh Kajati Riau perihal
terciumnya aroma dugaan korupsi di PD. Pelabuhan Dumai Bersemai, tidak ada
gerak khusus maupun upaya dari PT. PDB, Executif maupun Legislatif di Kota
Dumai untuk bersama mengambil kembali jasa kepelabuhan tersebut. Yang ada hanya
saling tuding serta cuci tangan saja.
Tahun 2016
ini merupakan momentum paling tetap untuk Kota Dumai menuntut Konstribusi atas
pengelolaan Wilayah Pesisir kepada Pihak yang berkepentingan diwiliayah
pesisir. Namun SCS kembali menyayangkan atas ketidak seriusan Pihak Eksekutif
dan Legislatif dalam membaca peluang ini. Aroma yang tercium oleh SCS saat ini
adalah Eksekutif dan Legislatif diduga telah menyia-nyiakan peluang yang ada
saat ini. bukan menuntut konstribusi kepada pihak Kapitalis yang sangat besar
kepentingan mereka diwilayah pesisir kota dumai. Sebaliknya diduga bersepakat
untuk melegalisasi perusakan wilayah pesisir. Bahkan eksekutif dan legislatif
serta pihak kapitalis diduga berencana mengubah wilayah permukiman serta
perkantoran menjadi Pergudangan dan tangki timbun.
Dari data
yang kami miliki saat ini Pelindo I Cabang Dumai akan melaksanakan kegiatan
reklamasi pantai seluas 26 Ha di kelurahan Pangkalan Sesai Kec. Dumai Barat,
jika syarat legalisasi nya telah disahkan pihak terkait.
Inilah gambaran
abu-abu yang dirasakan Kota Dumai, Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak bertambah
bahkan makin berkurang, BUMD yang ada Hidup Segan Mati Tidak Mau. Tahun 2016 Melepas maka peluang yang ada pada Tahun 2022.(red.emen)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar