Dr. Heru H
Teknik
Geologi Departemen,
Fakultas
Teknik,
Universitas
Gadjah Mada
Peningkatan eksploitasi airtanah yang sangat pesat di berbagai sektor di Indonesia telah menuntut perlunya persiapan berupa langkah-langkah nyata untuk menanganinya, khususnya memperkecil dampak negatif yang ditimbulkannya. Airtanah sebagai salah satu sumberdaya air saat ini telah menjadi permasalahan nasional. Airtanah yang merupakan sumberdaya alam terbarukan ( renewal natural resources ) saat ini telah memainkan peran penting di dalam penyediaan pasokan kebutuhan air bagi berbagai keperluan, sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran nilai terhadap airtanah itu sendiri. Airtanah pada masa lalu merupakan barang bebas ( free goods ) yang dapat dipakai secara bebas tanpa batas dan belum memerlukan pengawasan pemanfaatan, tetapi pada era pembangunan saat ini yang disertai dengan peningkatan kebutuhan airtanah yang sangat pesat telah merubah nilai airtanah menjadi barang ekonomis ( economic goods ), artinya airtanah diperdagangkan seperti komoditi yang lain, bahkan di beberapa tempat airtanah mempunyai peran yang cukup strategis. Mengingat peran airtanah semakin penting, maka pemanfaatan airtanah harus didasarkan pada keseimbangan dan kelestarian airtanah itu sendiri, dengan istilah lain pemanfaatan airtanah harus berwawasan lingkungan. Untuk menjamin pemanfaatan airtanah yang berwawasan lingkungan dan pelestariannya, maka perlu dilakukan pengelolaan airtanah.
Peningkatan eksploitasi airtanah yang sangat pesat di berbagai sektor di Indonesia telah menuntut perlunya persiapan berupa langkah-langkah nyata untuk menanganinya, khususnya memperkecil dampak negatif yang ditimbulkannya. Airtanah sebagai salah satu sumberdaya air saat ini telah menjadi permasalahan nasional. Airtanah yang merupakan sumberdaya alam terbarukan ( renewal natural resources ) saat ini telah memainkan peran penting di dalam penyediaan pasokan kebutuhan air bagi berbagai keperluan, sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran nilai terhadap airtanah itu sendiri. Airtanah pada masa lalu merupakan barang bebas ( free goods ) yang dapat dipakai secara bebas tanpa batas dan belum memerlukan pengawasan pemanfaatan, tetapi pada era pembangunan saat ini yang disertai dengan peningkatan kebutuhan airtanah yang sangat pesat telah merubah nilai airtanah menjadi barang ekonomis ( economic goods ), artinya airtanah diperdagangkan seperti komoditi yang lain, bahkan di beberapa tempat airtanah mempunyai peran yang cukup strategis. Mengingat peran airtanah semakin penting, maka pemanfaatan airtanah harus didasarkan pada keseimbangan dan kelestarian airtanah itu sendiri, dengan istilah lain pemanfaatan airtanah harus berwawasan lingkungan. Untuk menjamin pemanfaatan airtanah yang berwawasan lingkungan dan pelestariannya, maka perlu dilakukan pengelolaan airtanah.
Pengelolaan airtanah dalam arti
luas adalah segala upaya yang mencakup inventarisasi, pengaturan pemanfaatan,
perijinan, pengendalian serta pengawasan dalam
rangka konservasi airtanah. Pengelolaan airtanah pada
hakekatnya melibatkan banyak pihak
dan harus dilakukan secara bijaksana dengan
mendasarkan aspek hukum dan
aspek teknis. Pengelolaan airtanah harus didasarkan pada konsep pengelolaan cekungan airtanah ( Groundwater Basin Management ). Secara umum pengelolaan
airtanah yang berwawasan lingkungan mencakup kegiatan untuk pelaksanaan konservasi airtanah dan pemantauan
keseimbangan pemanfaatan airtanah. Perlindungan sumber
air baku merupakan
bagian dari strategi
pelaksanaan pengelolaan airtanah berwawasan lingkungan perlu dilakukan
secara benar dengan meningkatkan koordinasi berbagai
tingkatan instansi, serta dengan meningkatkan pemanfaatan data dan informasi airtanah secara terpadu.
Pada saat ini pengelolaan airtanah
dan kegiatan konservasi airtanah telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak,
baik Instansi Pemerintah maupun Swasta. Tetapi pada kenyataannya hasil pengelolaan maupun konservasi airtanah
belum dapat mencapai sasaran
dan masih relatif jauh dari titik optimal. Memperkecil dampak negatif akibat pemanfaatan/pengeboran airtanah,
merupakan salah satu upaya nyata yang harus
dilaksanakan dalam rangka
pengelolaan airtanah secara
terpadu.
Pengembangan dan Pemanfaatan
Airtanah
- Sumberdaya airtanah
mempunyai peran cukup
penting sbg. pasokan
air untuk berbagai sektor pembangunan, a.l. :
-
Air minum perkotaan / pedesaan
-
Air Industri
-
Air Irigasi, dll.
- Data
pemanfaatan airtanah
-
Air minum perkotaan / pedesaan - 70 %
-
Industri 90 %
-
Airtanah yang sebelumnya dianggap sebagai barang
bebas yang dapat dimanfaatkan tanpa batas telah berubah menjadi
barang komoditi ekonomis, bahkan sudah dapat digolongkan sebagai barang strategis.
Keunggulan sumberdaya airtanah
- Secara Hygienis
lebih sehat karena telah mengalami proses filtrasi secara alamiah.
- Cadangan
relatif tetap sepanjang tahun.
- Mutu
relatif tetap.
- Apabila airtanah tersedia, dapat diperoleh di tempat tsb.
tanpa peralatan mahal.
Kekurangan sumberdaya airtanah
- Terdapat di bawah permukaan tanah, untuk pemanfaatannya harus dilakukan
dengan membuat sumur gali / bor.
-
Keterdapatan tidak merata
pada setiap tempat.
- Cadangannya terbatas, untuk
keperluan air minum perkotaan atau air irigasi
/ industri yang cukup
besar, mungkin cadangan tidak mencukupi.
- Air minum
Pedesaan
-
80 % penduduk
Indonesia tinggal di desa
- Diperkirakan baru ± 35 % dari penduduk pedesaan mendapat
air bersih dan sehat.
-
Pemanfaatan airtanah u. pedesaan ± 70 %
- Air minum
dan Industri Perkotaan
·
Karena tingkat dan taraf kehidupan masyarakat yang lebih tinggi
kebutuhan air lebih tinggi dibanding dengan
daerah pedesaan.
- Daerah Kota kebutuhan
air : 200 liter/orang/hari, beberapa kota besar telah
mencapai 400 liter/orang/hari
-
Daerah Pedesaan kebutuhan air : 60 liter/orang/hari
·
Daerah-daerah perkotaan besar
seperti, Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Ujung Pandang kebutuhan
air masih mengandalkan pasokan dari airtanah.
- Air Irigasi
·
Dalam upaya swasembada pangan, pemerintah sejak
awal 1970 melalui
P2AT, melaksanakan kegiatan
penyelidikan dan eksplorasi airtanah di berbagai
daerah di propinsi Jawa Timur.
·
Hingga akhir 1990, pengembangan airtanah untuk irigasi di
Jawa Timur tercapai
24.400 ha;
·
Pengembangan airtanah untuk
irigasi dikembangkan di Jawa Tengah, DIY, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Jawa Barat, Aceh, Lampung, Sulawesi
Utara.
Dampak Pemanfaatan Airtanah
Pada kenyataannya pemanfaatan air untuk memenuhi
kebutuhan sektor industri
dan jasa masih mengandalkan airtanah secara berlebih
menimbulkan dampak negatif terhadap sumberdaya airtanah maupun
lingkungan, antara lain :
-
Penurunan muka airtanah
-
Intrusi air laut
-
Amblesan tanah
Penurunan
Muka Airtanah
·
Pemanfaatan airtanah
yang terus meningkat menyebabkan penurunan muka airtanah. Hasil rekaman muka
airtanah pada sumur-sumur pantau didaerah pengambilan airtanah intensif seperti: Cekungan Jakarta, Bandung,
Semarang, Pasuruan, Mojokerto menunjukkan kecenderungan muka airtanahnya
yang terus menurun. Demikian juga di daerah
DIY.
Intrusi Air Laut
·
Apabila keseimbangan hidrostatik antara airtanah
tawar dan airtanah asin di daerah pantai
terganggu, maka terjadi pergerakan airtanah asin/air dari laut ke arah darat.
·
Intrusi air laut
teramati di daerah
pantai Jakarta, Semarang, Denpasar, Medan.
Amblesan Tanah
·
Permasalahan amblesan tanah timbul akibat
pengambilan airtanah yang berlebihan dari
lapisan akuifer, khususnya akuifer tertekan.
·
Amblesan tanah tidak dapat
dilihat seketika, namun
dalam kurun waktu
yang lama dan terjadi
pada daerah yang luas, sehingga
dapat mengakibatkan dampak negatif yang lain, antara
lain :
- Banjir dan
masuknya air laut ke arah
darat pada saat
pasang naik, sehingga menggenangi perumahan, jalan,
atau bangunan lain yang lebih
rendah.
- Menyusutnya ruang lintas pada kolong jembatan, sehingga
mengganggu lalu lintas. Secara regional amblesan
tanah mengakibatkan pondasi
jembatan menurun dan mempersempit kolong jembatan. Berkurangnya
kapasitas penyimpanan gudang dan terganggunya
pelaksanaan arus bongkar/muat barang.
- Rusaknya bangunan fisik seperti pondasi jembatan/bangunan
gedung tinggi, sumur bor, dan retaknya pipa saluran air limbah dan jaringan yang lain.
Contoh Kasus
: Dampak Pemanfaatan Airtanah
Sebagai contoh kasus dari
dampak negatif akibat pemboran airtanah secara
berlebihan, antara lain
:
1. Penurunan Muka Airtanah
Pemanfaatan airtanah
yang terus meningkat menyebabkan penurunan muka airtanah. Hasil rekaman muka
airtanah pada sumur-sumur pantau di daerah pengambilan airtanah
intensif, antara lain terjadi di daerah :
Cekungan Jakarta
Pengambilan airtanah, khususnya
airtanah dalam (deep groundwater) dari
sumur bor yang terdaftar menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat :
1985 dengan jumlah pengambilan airtanah sekitar 30 juta
m3/tahun, 1991 meningkat menjadi 31 juta m3/tahun dari sejumlah 2640 sumur,
1993 pengambilannya tercatat 32,6 juta m3/tahun dari
sekitar 2800 sumur, 1994, pengambilan airtanah telah mencapai 33,8 juta m3.
Jumlah pengambilan airtanah
yang sebenarnya relatif
jauh lebih besar
dari angka-angka tersebut di atas,
karena masih banyaknya sumur-sumur produksi yang belum terdaftar. Berdasarkan
hasil kalibrasi pada 1985, jumlah pengambilan airtanah pada 1994 diperkirakan telah mencapai sekitar
53 juta m3.
Muka
airtanah pada sistem akuifer tidak tertekan (kedalaman 0 - 40 m)
-
Muka airtanah pada sistem akuifer ini menunjukkan
pola fluktuasi dengan kecenderungan turun
selama periode pemantauan. Di wilayah DKI Jakarta, kecepatan penurunan
pada pemantauan >2 tahun (periode
panjang) antara 0,12 m/tahun
(Tongkol) dan 0,46 m/tahun (Kuningan), sedangkan di luar wilayah
DKI Jakarta terhitung 0,07 m/tahun
(Cibinong). Pada periode
1994, kecepatan penurunannya antara
0,06 m/tahun (Cibinong) dan 4,44 m/tahun
(Cilandak).
-
Pola perubahan muka airtanah
pada sistem akuifer
tidak tertekan dipengaruhi oleh pola curah hujan di daerah
sekitarnya. Pada saat berlangsungnya musim
penghujan, muka airtanah
umumnya cenderung naik karena proses
pengisian kembali, sementara penurunan muka airtanah secara
alamiah (natural groundwater depletion) terjadi pada saat musim kemarau.
Di beberapa lokasi seperti di Monas, Senayan,
pasar Rebo dan Cilandak, perubahan muka airtanah sangat terkait dengan pola
pemompaan di sekitar lokasi pemantauan.
Muka
Airtanah pada Sistem Akuifer Tertekan Atas (40 – 100 m)
Rekaman
muka airtanah pada periode >2 tahun menunjukkan gejala penurunan pada semua
lokasi pemantauan, sedangkan pada periode terakhir (Januari-Desember 1994)
kenaikan muka airtanah
hanya terjadi di Cakung
(0,12 m/tahun). Di wilayah DKI Jakarta,
kecepatan penurunan muka airtanah selama kurun waktu >2 tahun terhitung antara 0,08 m/tahun
(Cakung) dan 1,71 m/tahun (Joglo), sedangkan di luar wilayah
DKI kecepatannya antara
0,74 m/tahun (Cipondoh) dan 1,81 m/tahun (Porisgaga). Selama periode 1994, kecepatan penurunan muka airtanah terhitung antara 0,12 m/tahun
(kompleks PT Yamaha Motor)
dan 5,76 m/tahun
(kompleks National Gobel).
Faktor
utama yang mempengaruhi pola perubahan muka airtanah pada sistem akuifer
tertekan bagian atas adalah jumlah pengambilan airtanah (Qabs), disamping pola curah hujan
di daerah sekitar.
Di Senayan, Duren
Sawit, Jagakarsa, pasar Minggu,
Joglo, Cilodong dan Pondok Cina,
pola curah hujan merupakan faktor pengaruh yang lebih dominan.
Muka
Airtanah pada Sistem Akuifer Tertekan Tengah (100 – 140m)
Pada
sistem akuifer ini, gejala kenaikan muka airtanah selama periode >2 hanya
terjadi di Tongkol (0,43 m/tahun), sedangkan pada 1994 terjadi di kompleks PAM Darmawangsa (0,24 m/tahun). Diwilayah DKI Jakarta, kecepatan penurunan muka airtanah
selama periode >2 tahun terhitung antara 0,22 m/bulan (Sunter) dan 2,47 m/bulan
(kompleks Jakarta Land),
sementara di luar wilayah DKI Jakarta mencapai 0,81
m/bulan (Teluk Pucung). Selama periode 1994,
gejala penurunan muka airtanah di wilayah DKI Jakarta terhitung dengan kecepatan antara 0,72 m/tahun (Walang
Baru dan kompleks
Hotel Borobudur)
dan 3,96 m/tahun
(Senayan), sedangkan di luar wilayah
DKI Jakarta mencapai 1,20 m/tahun di Teluk
Pucung.
Perubahan muka airtanah yang didominasi oleh gejala
penurunan, berkaitan dengan pola Qabs
di daerahs sekitarnya, yaitu pada periode
Januari 1993 – November 1994 umumnya sesuai
dengan pola Qabs
di wilayah DKI Jakarta.
Meskipun di beberapa lokasi pemantauan
menunjukkan pola muka airtanah yang sesuai dengan pola curah hujan,
terutama gejala penurunan muka airtanah yang
terjadi pada saat musim kemarau, namun karena kedudukan lapisan akuifer
tertekan tengah cukup dalam, maka diduga tidak ada pengaruh yang berarti dari
curah hujan, kecuali terjadi kebocoran pada konstruksi sumur.
Muka
Airtanah pada Sistem Akuifer Tertekan Bawah (140 – 250m )
Pola muka airtanah pada periode panjang
(>2 tahun) menunjukkan gejala penurunan pada semua
lokasi pemantauan, sedangkan pada 1994 kenaikan muka airtanah terjadi di
kompleks DPRD Kebon Sirih (4,20 m/tahun) dan Cengkareng-Pedongkelan (0,24
m/tahun). Kecepatan penurunan muka airtanah pada periode >2 tahun antara
0,19 m/bulan (Sunter) dan 2,25 m/bulan
(Porisgaga), sementara selama periode 1994 kecepatan penurunan antara 0,24
m/tahun (Tongkol) dan 4,70 m/tahun
(kompleks PT BASF).
Pola
perubahan muka airtanah pada sistem akuifer tertekan bawah berhubungan erat
dengan pola Qabs di daerah sekitarnya, di mana pola perubahan pada periode
Januari 1993 – November 1994 umumnya sesuai
dengan pola Qabs di wilayah
DKI Jakarta.
Didaerah Jakarta Utara pemanfaatan airtanah sudah tidak
memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut, terutama
untuk proses industri
(Zone IV pada Peta Konservasi Airtanah Jakarta
1993/1994). Pola perubahan airtanah pada sistem akuifer tertekan (dalam)
pada periode 1994 masih didominasi oleh kecenderungan penurunan. Gejala yang
mengarah pada pemulihan kedudukan muka
airtanah, ditunjukkan oleh kecenderungan kenaikan, terjadi di Cakung (sistem
akuifer tertekan atas),
kompleks DPRD Kebon Sirih dan
Cengkareng Pedongkelan (akuifer tertekan bawah). Tetapi
hasil pemantauan periode panjang
(>2 tahun) masih menunjukkan gejala penurunan di semua lokasi
pemantauan termasuk di tiga lokasi pemantaun. Kondisi tersebut merupakan bukti upaya pengawasan/kontrol terhadap
jumlah pengambilan airtanah di daerah tutupan tersebut (Zone IV) masih belum
menunjukkan hasil seperti yang diharapkan.
Cekungan Bandung
Gambaran umum mengenai
kedudukan muka airtanah dan perubahannya didaerah padat industri selama
periode 1993-1994 di akuifer tengah
pada kedalaman 35 – 150 m.bmt
diuraikan berikut ini
:
·
Daerah : Batujajar, Giriasih,
Cangkorah dan Gadobangkong, muka airtanah statis (MAS)nya : 12,90 – 58,93 m
di bawah muka tanah setempat (bmt) dengan
penurunan 1,79 – 3.02 m/tahun
·
Daerah : Leuwigajah, Cimindi, Utama, Cibaligo, MASnya : 45,26
– 81,00 m bmt,
dengan penurunan : 2,47 – 9,48 m/tahun.
·
Daerah : Cijerah, Cibuntu, Garuda, Maleber,
Arjuna, Husen dan Pasirkaliki, MASnya : 36,73
– 54,17 m.bmt
dengan penurunan : 1,18 –5,72
m/tahun.
·
Daerah : Buahbatu,
Kiaracondong, Kebonwaru, MASnya : 15,24 – 37,13 m.bmt dengan penurunan : 1,03 – 2,19 m/tahun.
AWLR di kantor Dipenda Jl. Soekarno
Hatta menunjukkan penurunan 1,85 m/tahun.
·
Daerah : Moh.Toha, Dayeuhkolot, MASnya : 21,89
–73,63 m/tahun, dengan penurunan :
2,71–11,50 m/tahun. AWLR di Jl. Moh. Toha menunjukkan penurunan 2,71 m/tahun.
·
Daerah : Cicaheum, Ujungberung,
Gedebage, Cipadung dan Cibiru MASnya 16,38-59,50 m.bmt, dengan
penurunan 0,23 – 2,72 m/tahun. AWLR di PT Grandtex dan PT BTN masing-masing menunjukkan penuruna 0,72 dan 0,23
m/tahun.
·
Daerah : Cikeruh,
Rancaekek, Cimanggung, Cikancung MASnya 7,25-33,41
m.bmt, dengan penurunan : 0,47 – 6,00 m/tahun. AWLR di PT Kewalram dan Bojongsalam masing-masing menunjukkan
penurunan 4,60 m dan 0,61 m/tahun.
·
Daerah : Majalaya, MASnya 27,80-32,30 m.bmt,
dengan penurunan : 0,58 – 1,50 m/tahun
·
Daerah : Ciparay, Banjaran, Pameungpeuk, MASnya :
10,25 –19,18 m.bmt, penurunan mencapai 2,61 m/tahun.
·
Daerah : Katapang, soreang, MASnya : 2,66 – 31,50m.bmt, penurunan : 0,34 – 1,95 m/tahun. AWLR di lokasi
Bojongkunci dan Cipadung masing-masing menunjukkan penurunan 0,34 dan 0,43 m/tahun.
·
Daerah dengan kedudukan MAS paling dalam didaerah tersebut
diatas, pada periode Agustus
1994 membentuk kerucut
penurunan (cone of depression)
muka airtanah utama di daerah Cimahi Selatan,
Kiaracondong, Dayeuhkolot dan Majalaya.
Cekungan
Semarang
Perubahan kedudukan muka airtanah di cekungan Semarang
periode 1993- 1994 diuraikan berikut ioni :
·
Daerah Semarang Utara meliputi Pusat Kota,
pemukiman Tanah Mas dan daerah industri Kaligawe, MASnya antara 14,19 – 28,91m.
bmt, dengan penurunan antara 0,6-1,9 m/tahun.
·
Daerah Semarang Selatan meliputi
daerah Candi, Banyumanik MASnya antara 20,24 - 48,24 m.bmt
dengan penurunan antara
0,37- 0,70 m/tahun.
·
Daerah Kendal meliputi Kec. Kaliwungu, kota Kendal
MAS nya antara +1,0 hingga 21,16 m.bmt dengan penurunan antara
0,20 – 0,55 m/tahun.
·
Daerah Demak meliputi
Kota demak dan Mranggen MASnya antara +0,50 hingga 25,40 m.bmt dengan penurunan antara
0,15 –0,45 m/tahun.
Cekungan Pasuruan
– Mojokerto
Perbandingan hasil pengamatan muka airtanah di cekungan ini
selama 1992 hingga 1993 secara umum menunjukkan terjadinya perubahan, yaitu :
·
MAS di daerah Mojokerto, yakni di Mojosari
turun 2 m/tahun,
di Mananggul naik 0,3
m/tahun, di Ngoro
naik 0,3 m/tahun
dan di Sidorejo turun 0,1 m/tahun.
·
Untuk daerah Pasuruan : di Bangil
naik 0,3 m/tahun,
di Gempol turun 1 m/tahun dan di Pandaan naik
0m1 m/tahun.
2. Intrusi Air Laut
Apabila keseimbangan
hidrostatik antara airtanah tawar dan airtanah asin di daerah pantai
terganggu, maka akan terjadi pergerakan airtanah asin/air laut ke arah darat dan terjadilah intrusi
air laut.
Terminologi intrusi pada
hakekatnya digunakan hanya setelah ada aksi, yaitu pengambilan airtanah
yang mengganggu keseimbangan hidrostatik. Adanya intrusi
air laut ini merupakan permasalahan pada pemanfaatan airtanah di daerah
pantai, karena berakibat langsung pada
mutu airtanah.
Airtanah yang sebelumnya layak
digunakan untuk air minum, karena adanya intrusi air laut, maka terjadi degradasi mutu, sehingga tidak
layak lagi digunakan untuk air minum.
Intrusi air laut teramati
didaerah pantai Jakarta, Semarang, Denpasar, Medan dan daerah-daerah pantai lainnya
yang pemanfaatan airnya
telah demikian intensif.
Cekungan Jakarta
Batas sebaran zona airtanah payau/asin pada setiap
sistem akuifer (Juni- Agustus 1993) berikut
perubahannnya selama 2 tahun terakhir, yakni antara periode 1991 –1993
adalah sebagai berikut :
·
Zona Airtanah
Payau/Asin pada Sistem
Akuifer tidak tertekan
(< 40 m)
Batas antara airtanah payau/asin dengan airtanah
tawar pada sistem
akuifer ini kurang lebih
melewati daerah Pakuaji – Salembaran – Cengkareng – Grogol – Pulogadung – Tambun Rawarengas – selatan Babelan.
Sebaran zone ini secara
umum relatif meluas ke arah timur.
Pada periode Juni-Agustus 1993,
jarak batas zona airtanah payau/asin dengan airtanah tawar di beberapa lokasi
adalah :
·
Daerah Cengkareng – Pedongkelan – Grogol – Gambir antara
5,0 – 6,0 km
·
Daerah Pulogadung – Cakung – Tambun Rawarengas antara 8,0 – 11,5 km
Dibandingkan dengan periode sebelumnya
(1991-1993), sebaran zone ini mempunyai pola yang relatif sama, namun di
beberapa tempat menunjukkan pergeseran sebagai
berikut :
·
Di daerah Pulogadung, Cakung
dan Tambun Rawarengas batas zona pada periode 1993 bergeser ke arah darat
antara 0,5 – 1,5 km, dengan pergeseran terbesar terjadi di Pulogadung.
·
Di sekitar Babelan,
pergeseran ke arah darat mencapai
sekitar 3,0 km.
·
Di tempat lain, khususnya di bagian barat daerah pantai,
batas zona relatif tidak berubah
dibandingkan pada periode
1992.
·
Zona Airtanah
Payau/Asin pada Sistem
Akuifer tertekan atas (40 -140 m)
Batas zona airtanah payau/asin dengan airtanah tawar melewati daerah
: selatan Pekayon- selatan Bandara Soekarno Hatta- selatan Cengkareng Pedongkelan – Gambir – Kelapagading- Bojongkaratan.
Jarak garis batas ini, dari garis pantai,
adalah :
·
Daerah antara Pekayon
– Bandara Soekarno
Hatta antara 5,0 – 13 km
·
Cengkareng Pedongkelan - Grogol- Kelapagading antara 8,0 – 10 km
·
Di bagian timur di sekitar
Bojongkaratan antara 3,0 – 6,0 km.
Selama
dua tahun terakhir, yakni antara 1991 hingga 1993 garis batas ini menunjukkan pergeseran ke arah darat.
Dibandingkan dengan hasil
survei pada Juni-Agustus 1993,
pergeseran yang mencolok
terjadi dibagian barat dataran
pantai, yaitu antara daerah Pekayon sampai Cengkareng (Bandara Soekarno
Hatta). Namun hal ini disebabkan perluasan daerah studi pada periode 1993 dan penambahan perolehan data. Adapun
pergeseran batas zona yang disebabkan oleh perubahan salinitas airtanah adalah :
·
Daerah antara Cengkareng Pedongkelan dan grogol terjadi
pergeseran ke arah darat
antara 0,25 – 1,5 km.
·
Daerah antara Kelapagading – Bojongkaratan bergeser
0,75 – 6,0 km ke arah darat
·
Zona
Airtanah Payau/Asin pada Sistem Akuifer tertekan bawah (>140 m) Sebaran zona ini hanya terbatas
di dataran pantai
antara Kapuk, Jakarta
Kota, dan Cilincing. Sebaran di bagian barat, yakni antara Kapuk dan
Jakarta Kota relatif lebih luas dibandingkan di bagian timur. Jarak batas
zona airtanah payau/asin dengan airtanah tawar, didaerah Kapuk – Jakarta
Kota mencapai 5,75 km, sementara didaerah
Walang- Cilincing sekitar
2,5 km.
Pergeseran batas zona airtanah payau/asin ke arah darat di
dataran antara Kapuk dan Jakarta
Kota, pada periode
antara 1991-1993 mencapai
sekitar 0,50 km. Namun
antara periode 1992-1993, sebarannya cukup meluas
mulai dari Tamansari sampai daerah
Cilincing.
2.2
Cekungan Semarang
Daerah Semarang bagian utara penyusupan air asin semakin
meningkat sejak beberapa tahun
terakhir, terutama pada daerah pemukiman pusat perkotaan, dan di
beberpa wilayah industri
di bagian utara, miksalnya daerah sekitar Muara Kali Garang, Tanah Mas, Pengapon,
Simpang Lima. Data penyusupan air asin tersebut diatas adalah berdasarkan hasil pemantauan dari beberapa sumur
gali penduduk yang tersebar,
maupun dari kualitas sumur bor di beberapa tempat. Didaerah Semarang penyusupan air asin ini diperkirakan sudah mencapai sejauh
2 km ke arah selatan
garis pantai.
Daerah Kendal penyusupan air asin, dideteksi
di utara Kaliwungu, Murorejo, Kumpulrejo sampai
sekitar Sukolilan. Sumurbor yang dikelola oleh
PDAM Kendal yakni
di Kamp. Pegandon airtanahnya sudah dipengaruhi oleh penyusupan air asin, yang diperkirakan
berasal dari aliran air sungai K. Bodri, akibat kurang sempurnanya sistem
konstruksi sumurbor. Nilai (DHL) air sumurbor tersebut
melebihi 2000 umhos/cm,
dengan jarak lokasi sumurbor
dari garis pantai
kurang lebih 5 km.
3. Amblesan Tanah
Permasalahan amblesan tanah
(land subsidence) dapat akibat pengambilan
airtanah yang berlebihan dari lapisan
akuifer yang tertekan
(confined aquifers). Akibat pengambilan yang berlebihan (over
pumpage), maka airtanah
yang tersimpan dalam
pori-pori
lapisan penutup akuifer (confined layer) akan terperas keluar dan mengakibatkan penyusutan lapisan
penutup tersebut. Refleksinya adalah penurunan permukaan tanah.
Penurunan tanah tercatat di Jakarta berdasarkan pengamatan tahun 1972 s/d
1991, total penurunan yang terdalam mencapai
99,7 cm di daerah Rawa Buaya,
dengan kecepatan penurunan
tertinggi tercatat 34 cm/tahun di Penjaringan, Jakarta Utara.
Amblesan tanah terjadi juga didaerah pantai
utara Semarang dengan indikasi
telah mulai tampak antara lain :
·
Fondasi sumurbor pantau di kompleks Sekolah
STM Perkapalan dekat
Muara kali Garang,
Tambak Ikan seolah-olah terangkat kurang lebih 20 cm (Juli1994), namun pada kenyataan permukaan tanah di sekitarnya
yang mengalami penurunan.
·
Terjadinya retakan-retakan pada lantai bangunan
Sekolah Pelayaran Singosari, hampir pada semua bangunan
di kompleks tersebut.
·
Terjadinya genangan
air laut di daerah pantai,
dan banjir di bagian Muara Kali
Karang yang sebelumnya belum pernah
terjadi.
Amblesan tanah tidak dapat
dilihat seketika, tetapi
teramati dalam kurun
waktu yang lama dan berakibat pada daerah yang luas. Meskipun penyebab
penurunan tersebut masih memerlukan penelitian dan pemantaun rinci, namun bila mengacu
fenomena serupa beberapa
kota dunia seperti
Bangkok, Venesia, Tokyo
maupun Meksiko dapat diyakini, bahwa
penurunan tersebut adalah
bukti amblesan tanah
yang disebabkan oleh pengambilan
airtanah yang berlebihan.
Upaya Pengendalian dari Aspek Teknis
Mengingat sebaran
airtanah tidak dibatasi
oleh batas-batas administratif suatu daerah, maka pengelolaan airtanah berdasarkan aspek teknis
seharusnya mengacu pada suatu
cekungan airtanah, yakni suatu wilayah yang ditentukan oleh batasan-
batasan hidrogeologi, di mana semua event hidrolika
(pengisian, pengambilan dan pengaliran airtanah)
berlangsung.
Batasan-batasan teknis
hidrogeologi ini menyangkut geometri dan parameter
akuifer, jumlah dan mutu airtanah, pengaliran dan keterdapatan airtanah.
Batasan- batasan tersebut menentukan berapa jumlah airtanah yang dapat dimanfaatkan dan bagaimana upaya konservasi
airtanah harus dilakukan.
Beberapa tindakan upaya pengendalian dampak negatif akibat
pemompaan airtanah secara berlebihan, antara lain :
1. Penentuan
Lokasi Pemompaan.
Mengingat keterdapatan lapisan pembawa airtanah
tidak merata, maka penentuan lokasi pengambilan airtanah sangat menentukan,
agar sumberdaya airtanah dapat dimanfaatkan
seoptimal mungkin.
Disamping itu, pengaruh pengambilan airtanah
melalui sumur-sumur yang berdekatan akan mengakibatkan penurunan muka airtanah
yang lebih dalam,
maka penentuan lokasi dan
jarak antar sumur,
akan dapat mencegah
pengaruh di atas.
2. Pengaturan
Kedalaman Penyadapan
Suatu daerah sering mempunyai
akuifer berlapis banyak (multi layer
aquifer). Kondisi yang demikian sangat memungkinkan untuk
dilakukan pengaturan kedalaman penyadapan
pada lapisan akuifer tertentu.
Dengan pengaturan kedalaman penyadapan akan dapat dihindari terjadinya eksploitasi airtanah yang terkonsentrasi hanya pada satu lapisan akuifer
tertentu, yang dampaknya
tentu berbeda dengan penyadapan yang dilakukan pada beberapa lapisan akuifer.
Peruntukan airtanah untuk
berbagai keperluan, diatur
dengan mengambil airtanah dari berbagai
kedalaman yang berbeda.
Namun pada dasarnya pengaturan kedalaman penyadapan airtanah
tetap mengacu pada prioritas peruntukan airtanah, di mana air minum merupakan prioritas utama di atas segala-galanya.
3. Pembatasan
Debit Pemompaan
Pembatasan besarnya airtanah
yang disadap ini, bertujuan agar penurunan muka airtanah dapat dibatasi pada
kedudukan yang aman. Pengertian aman
mempunyai
arti dapat mencegah terjadinya intrusi air laut pada pengambilan airtanah di daerah pantai, maupun kemungkinan
terjadinya amblesan, serta untuk menyesuaikan dengan cadangan airtanah yang
tersedia. Namun konsekuensi dari pembatasan ini adalah, harus dapat disediakan sumber-sumber pasokan air yang
lain, misalnya dari air permukaan.
Kondisi hidrogeologi suatu
daerah sangat menentukan besar cadangan dan kualitas airtanah, sehingga
berapa batas yang aman jumlah debit pengambilan airtanah, sangat berbeda dari
suatu daerah ke daerah yang lain. Tetapi secara kualitatif dapat ditentukan, bahwa jumlah pengambilan airtanah hendaknya
tidak melebihi jumlah imbuhan airtanah.
4. Penambahan Imbuhan
Berdasarkan pada daur hidrologi, sumber utama airtanah
adalah berasal dari air hujan. Indonesia yang beriklim tropis basah, umumnya
mempunyai curah hujan yang relatif
tinggi, lebih dari 1000 mm/tahun,
dengan hari hujan yang relatif
panjang. Kondisi ini sangat
menguntungkan dalam imbuhan
airtanah secara alami,
di mana pada saat musim hujan terjadi pengisian dan
penggantian dari defisit airtanah yang terjadi
pada musim kemarau.
Dengan demikian akuifer
akan mendapat penambahan cadangan airtanah.
Permasalahannya adalah
di daerah-daerah yang
telah berkembang, terutama di kota-kota besar, peristiwa
pengisian kembali airtanah
pada musim hujan terhambat
karena adanya perubahan lingkungan. Daerah-daerah yang sebetulnya merupakan daerah imbuh airtanah telah berubah fungsi,
sehingga hanya sebagian
kecil air hujan yang meresap dan mengimbuh
airtanah. Pada daerah yang demikian, perlu upaya penampungan air hujan untuk
dimasukkan ke dalam
sumur-sumur resapan.
5. Penentuan Kawasan Lindung
Kawasan lindung airtanah
mengarah kepada penataan ruang suatu daerah dengan maksud untuk melindungi jumlah dan mutu
sumberdaya airtanah. Oleh
sebab itu, untuk menentukan kawasan lindung airtanah,
disamping kondisi hidrogeologi, maka penggunaan lahan dan keberadaan infrastruktur harus dipertimbangkan.
Penentuan kawasan lindung ini merupakan suatu hal yang tidak mudah
untuk dilaksanakan, karena sering terjadi pertentangan kepentingan. Misalnya,
di daerah imbuh airtanah, sering terjadi tuntutan pembangunan sebagai daerah
pemukiman, industri, buangan sampah, dan penggunaan lahan yang lain yang
berdampak negatif terhadap jumlah maupun
mutu airtanah. Oleh sebab itu banyak kendala
untuk memberlakukan secara efisien upaya perlindungan airtanah.
Meskipun demikian usaha-usaha
perlindungan airtanah dapat ditetapkan dari sudut pandang hidrogeologi dan geologi lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar