Senin, 06 Maret 2017

Dampak Negatif Pemakaian/ Pengusahaan Air Tanah

DITULIS OLEH;
Dr. Heru H
Teknik Geologi Departemen,
Fakultas Teknik,
Universitas Gadjah Mada

Peningkatan eksploitasi airtanah yang sangat pesat di berbagai sektor di Indonesia telah menuntut perlunya persiapan berupa langkah-langkah nyata untuk menanganinya, khususnya memperkecil dampak negatif yang ditimbulkannya. Airtanah sebagai salah satu sumberdaya air saat ini telah menjadi permasalahan nasional. Airtanah yang merupakan sumberdaya alam terbarukan ( renewal natural resources ) saat ini telah memainkan peran penting di dalam penyediaan pasokan kebutuhan air bagi berbagai keperluan, sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran nilai terhadap airtanah itu sendiri. Airtanah pada masa lalu merupakan barang bebas ( free goods ) yang dapat dipakai secara bebas tanpa batas dan belum memerlukan pengawasan pemanfaatan, tetapi pada era pembangunan saat ini yang disertai dengan peningkatan kebutuhan airtanah yang sangat pesat telah merubah nilai airtanah menjadi barang ekonomis ( economic goods ), artinya airtanah diperdagangkan seperti komoditi yang lain, bahkan di beberapa tempat airtanah mempunyai peran yang cukup strategis. Mengingat peran airtanah semakin penting, maka pemanfaatan airtanah harus didasarkan pada keseimbangan dan kelestarian airtanah itu sendiri, dengan istilah lain pemanfaatan airtanah harus berwawasan lingkungan. Untuk menjamin pemanfaatan airtanah yang berwawasan lingkungan dan pelestariannya, maka perlu dilakukan pengelolaan  airtanah.
Pengelolaan airtanah dalam arti luas adalah segala upaya yang mencakup inventarisasi, pengaturan pemanfaatan, perijinan, pengendalian serta pengawasan dalam rangka konservasi airtanah. Pengelolaan airtanah pada hakekatnya melibatkan banyak pihak dan harus dilakukan secara bijaksana dengan mendasarkan aspek hukum dan aspek teknis. Pengelolaan airtanah harus didasarkan pada konsep pengelolaan cekungan airtanah ( Groundwater Basin Management ). Secara umum pengelolaan airtanah yang berwawasan lingkungan mencakup kegiatan untuk pelaksanaan konservasi airtanah dan pemantauan keseimbangan pemanfaatan airtanah. Perlindungan sumber air baku merupakan bagian dari strategi pelaksanaan pengelolaan airtanah berwawasan lingkungan perlu dilakukan secara benar dengan meningkatkan koordinasi berbagai tingkatan instansi, serta dengan meningkatkan pemanfaatan data dan informasi airtanah secara terpadu.
Pada saat ini pengelolaan airtanah dan kegiatan konservasi airtanah telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak, baik Instansi Pemerintah maupun Swasta. Tetapi pada kenyataannya hasil pengelolaan maupun konservasi airtanah belum dapat mencapai sasaran dan masih relatif jauh dari titik optimal. Memperkecil dampak negatif akibat pemanfaatan/pengeboran airtanah, merupakan salah satu upaya nyata yang harus dilaksanakan dalam rangka pengelolaan airtanah secara terpadu.


Pengembangan dan Pemanfaatan  Airtanah

-     Sumberdaya airtanah mempunyai peran cukup penting sbg. pasokan air untuk berbagai sektor pembangunan, a.l. :
-   Air minum perkotaan / pedesaan
-   Air Industri
-   Air Irigasi, dll.

-   Data pemanfaatan airtanah
-          Air minum perkotaan / pedesaan - 70 %
-          Industri 90 %
-          Airtanah yang sebelumnya dianggap sebagai barang bebas yang dapat dimanfaatkan tanpa batas telah berubah menjadi barang komoditi ekonomis, bahkan sudah dapat digolongkan sebagai barang strategis.

Keunggulan  sumberdaya airtanah

-    Secara Hygienis lebih sehat karena telah mengalami proses filtrasi   secara alamiah.
-  Cadangan relatif tetap sepanjang  tahun.
-  Mutu relatif tetap.
-    Apabila airtanah tersedia, dapat diperoleh di tempat tsb. tanpa peralatan mahal.

Kekurangan  sumberdaya airtanah

-    Terdapat di bawah permukaan tanah, untuk pemanfaatannya harus dilakukan dengan membuat sumur gali / bor.
-   Keterdapatan tidak merata pada setiap tempat.
-    Cadangannya terbatas, untuk keperluan air minum perkotaan atau air irigasi / industri yang cukup besar, mungkin cadangan tidak mencukupi.

-   Air minum Pedesaan
-   80 % penduduk Indonesia tinggal di desa
-   Diperkirakan baru ± 35 % dari penduduk pedesaan mendapat air bersih dan sehat.
-   Pemanfaatan airtanah u. pedesaan ± 70 %


-   Air minum dan Industri Perkotaan
·         Karena tingkat dan taraf kehidupan masyarakat yang lebih tinggi kebutuhan air lebih tinggi dibanding dengan daerah pedesaan.
-   Daerah Kota kebutuhan air : 200 liter/orang/hari, beberapa kota besar telah mencapai 400 liter/orang/hari
-   Daerah Pedesaan kebutuhan air : 60 liter/orang/hari
·         Daerah-daerah perkotaan besar seperti, Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Ujung Pandang  kebutuhan air masih mengandalkan pasokan dari airtanah.

-   Air Irigasi
·         Dalam upaya swasembada pangan, pemerintah sejak awal 1970 melalui P2AT, melaksanakan kegiatan penyelidikan dan eksplorasi airtanah di berbagai daerah di propinsi Jawa Timur.
·         Hingga akhir 1990, pengembangan airtanah untuk irigasi di Jawa Timur   tercapai
24.400 ha;
·         Pengembangan airtanah untuk irigasi dikembangkan di Jawa Tengah, DIY, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Jawa Barat, Aceh, Lampung, Sulawesi Utara.


Dampak Pemanfaatan Airtanah



Pada kenyataannya pemanfaatan air untuk memenuhi kebutuhan sektor industri dan jasa masih mengandalkan airtanah secara berlebih  menimbulkan dampak negatif terhadap sumberdaya airtanah maupun lingkungan, antara lain :
-          Penurunan muka airtanah
-          Intrusi air laut
-          Amblesan tanah


Penurunan  Muka Airtanah
·         Pemanfaatan airtanah yang terus meningkat menyebabkan penurunan muka airtanah. Hasil rekaman muka airtanah pada sumur-sumur pantau didaerah pengambilan airtanah intensif seperti: Cekungan Jakarta, Bandung, Semarang, Pasuruan, Mojokerto menunjukkan kecenderungan muka airtanahnya yang terus menurun. Demikian juga di daerah DIY.
Intrusi Air Laut
·         Apabila keseimbangan hidrostatik antara airtanah tawar dan airtanah asin di daerah pantai terganggu, maka terjadi pergerakan airtanah asin/air dari laut ke arah darat.
·         Intrusi air laut teramati di daerah pantai Jakarta, Semarang, Denpasar, Medan.


Amblesan Tanah
·         Permasalahan amblesan tanah timbul akibat pengambilan airtanah yang berlebihan dari lapisan akuifer, khususnya akuifer  tertekan.
·         Amblesan tanah tidak dapat dilihat seketika, namun dalam kurun waktu yang lama dan terjadi pada daerah yang luas, sehingga dapat mengakibatkan dampak negatif yang lain, antara lain :

-    Banjir dan masuknya air laut ke arah darat pada saat pasang naik, sehingga menggenangi perumahan, jalan, atau bangunan lain yang lebih rendah.
-    Menyusutnya ruang lintas pada kolong jembatan, sehingga mengganggu lalu lintas. Secara regional amblesan tanah mengakibatkan pondasi jembatan menurun dan mempersempit kolong jembatan. Berkurangnya kapasitas penyimpanan gudang dan terganggunya pelaksanaan arus bongkar/muat barang.
-    Rusaknya bangunan fisik seperti pondasi jembatan/bangunan gedung tinggi, sumur bor, dan retaknya pipa saluran air limbah dan jaringan yang lain.



Contoh Kasus : Dampak Pemanfaatan Airtanah



Sebagai contoh kasus dari dampak negatif akibat pemboran airtanah secara berlebihan, antara lain :

1.  Penurunan  Muka Airtanah

Pemanfaatan airtanah yang terus meningkat menyebabkan penurunan muka airtanah. Hasil rekaman muka airtanah pada sumur-sumur pantau di daerah pengambilan airtanah intensif, antara lain terjadi di daerah :

    Cekungan Jakarta

Pengambilan airtanah, khususnya airtanah dalam (deep groundwater) dari sumur bor yang terdaftar menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat :
1985 dengan jumlah pengambilan airtanah sekitar 30 juta m3/tahun, 1991 meningkat menjadi 31 juta m3/tahun dari sejumlah 2640 sumur,
1993 pengambilannya tercatat 32,6 juta m3/tahun dari sekitar 2800 sumur, 1994, pengambilan airtanah telah mencapai 33,8 juta m3.

Jumlah pengambilan airtanah yang sebenarnya relatif jauh lebih besar dari angka-angka tersebut di atas, karena masih banyaknya sumur-sumur produksi yang belum terdaftar. Berdasarkan hasil kalibrasi pada 1985, jumlah pengambilan airtanah pada 1994 diperkirakan telah mencapai sekitar 53 juta m3.

Muka airtanah pada sistem akuifer tidak tertekan (kedalaman 0 - 40 m)

-    Muka airtanah pada sistem akuifer ini menunjukkan pola fluktuasi dengan kecenderungan turun selama periode pemantauan. Di wilayah DKI Jakarta, kecepatan penurunan pada pemantauan >2 tahun (periode panjang) antara 0,12 m/tahun (Tongkol) dan 0,46 m/tahun (Kuningan), sedangkan di luar wilayah DKI Jakarta terhitung 0,07 m/tahun (Cibinong). Pada periode 1994, kecepatan penurunannya antara 0,06 m/tahun (Cibinong) dan 4,44 m/tahun (Cilandak).
-    Pola perubahan muka airtanah pada sistem akuifer tidak tertekan dipengaruhi oleh pola curah hujan di daerah sekitarnya. Pada saat berlangsungnya musim


penghujan, muka airtanah umumnya cenderung naik karena proses pengisian kembali, sementara penurunan muka airtanah secara alamiah (natural groundwater depletion) terjadi pada saat musim kemarau. Di beberapa lokasi seperti di Monas, Senayan, pasar Rebo dan Cilandak, perubahan muka airtanah sangat terkait dengan pola pemompaan di sekitar lokasi pemantauan.

Muka Airtanah pada Sistem Akuifer Tertekan Atas (40 – 100 m)

Rekaman muka airtanah pada periode >2 tahun menunjukkan gejala penurunan pada semua lokasi pemantauan, sedangkan pada periode terakhir (Januari-Desember 1994) kenaikan muka airtanah hanya terjadi di Cakung (0,12 m/tahun). Di wilayah DKI Jakarta, kecepatan penurunan muka airtanah selama kurun waktu >2 tahun terhitung antara 0,08 m/tahun (Cakung) dan 1,71 m/tahun (Joglo), sedangkan di luar wilayah DKI kecepatannya antara 0,74 m/tahun (Cipondoh) dan 1,81 m/tahun (Porisgaga). Selama periode 1994, kecepatan penurunan muka airtanah terhitung antara 0,12 m/tahun (kompleks PT Yamaha Motor) dan 5,76 m/tahun (kompleks National Gobel).

Faktor utama yang mempengaruhi pola perubahan muka airtanah pada sistem akuifer tertekan bagian atas adalah jumlah pengambilan airtanah (Qabs), disamping pola curah hujan di daerah sekitar. Di Senayan, Duren Sawit, Jagakarsa, pasar Minggu, Joglo, Cilodong dan Pondok Cina, pola curah hujan merupakan faktor pengaruh yang lebih dominan.

Muka Airtanah pada Sistem Akuifer Tertekan Tengah (100 – 140m)

Pada sistem akuifer ini, gejala kenaikan muka airtanah selama periode >2 hanya terjadi di Tongkol (0,43 m/tahun), sedangkan pada 1994 terjadi di kompleks PAM Darmawangsa (0,24 m/tahun). Diwilayah DKI Jakarta, kecepatan penurunan muka airtanah selama periode >2 tahun terhitung antara 0,22 m/bulan (Sunter) dan 2,47 m/bulan (kompleks Jakarta Land), sementara di luar wilayah DKI Jakarta mencapai 0,81 m/bulan (Teluk Pucung). Selama periode 1994, gejala penurunan muka airtanah di wilayah DKI Jakarta terhitung dengan kecepatan antara 0,72 m/tahun (Walang Baru dan kompleks Hotel Borobudur)


dan 3,96 m/tahun (Senayan), sedangkan di luar wilayah DKI Jakarta mencapai 1,20 m/tahun di Teluk Pucung.

Perubahan muka airtanah yang didominasi oleh gejala penurunan, berkaitan dengan pola Qabs di daerahs sekitarnya, yaitu pada periode Januari 1993 – November 1994 umumnya sesuai dengan pola Qabs di wilayah DKI Jakarta. Meskipun di beberapa lokasi pemantauan menunjukkan pola muka airtanah yang sesuai dengan pola curah hujan, terutama gejala penurunan muka airtanah yang terjadi pada saat musim kemarau, namun karena kedudukan lapisan akuifer tertekan tengah cukup dalam, maka diduga tidak ada pengaruh yang berarti dari curah hujan, kecuali terjadi kebocoran pada konstruksi sumur.

Muka Airtanah pada Sistem Akuifer Tertekan Bawah (140 – 250m )

Pola muka airtanah pada periode panjang (>2 tahun) menunjukkan gejala penurunan pada semua lokasi pemantauan, sedangkan pada 1994 kenaikan muka airtanah terjadi di kompleks DPRD Kebon Sirih (4,20 m/tahun) dan Cengkareng-Pedongkelan (0,24 m/tahun). Kecepatan penurunan muka airtanah pada periode >2 tahun antara 0,19 m/bulan (Sunter) dan 2,25 m/bulan (Porisgaga), sementara selama periode 1994 kecepatan penurunan antara 0,24 m/tahun (Tongkol) dan 4,70 m/tahun (kompleks PT BASF).

Pola perubahan muka airtanah pada sistem akuifer tertekan bawah berhubungan erat dengan pola Qabs di daerah sekitarnya, di mana pola perubahan pada periode Januari 1993 – November 1994 umumnya sesuai dengan pola Qabs di wilayah DKI Jakarta.

Didaerah Jakarta Utara pemanfaatan airtanah sudah tidak memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut, terutama untuk proses industri (Zone IV pada Peta Konservasi Airtanah Jakarta 1993/1994). Pola perubahan airtanah pada sistem akuifer tertekan (dalam) pada periode 1994 masih didominasi oleh kecenderungan penurunan. Gejala yang mengarah pada pemulihan kedudukan muka airtanah, ditunjukkan oleh kecenderungan kenaikan, terjadi di Cakung (sistem akuifer tertekan atas), kompleks DPRD Kebon Sirih dan


Cengkareng Pedongkelan (akuifer tertekan bawah). Tetapi hasil pemantauan periode panjang (>2 tahun) masih menunjukkan gejala penurunan di semua lokasi pemantauan termasuk di tiga lokasi pemantaun. Kondisi tersebut merupakan bukti upaya pengawasan/kontrol terhadap jumlah pengambilan airtanah di daerah tutupan tersebut (Zone IV) masih belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan.

    Cekungan Bandung

Gambaran umum mengenai kedudukan muka airtanah dan perubahannya didaerah padat industri selama periode 1993-1994 di akuifer tengah pada kedalaman 35 150 m.bmt diuraikan berikut ini :
·         Daerah : Batujajar, Giriasih, Cangkorah dan Gadobangkong, muka airtanah statis (MAS)nya : 12,90 – 58,93 m di bawah muka tanah setempat (bmt) dengan penurunan 1,79 – 3.02 m/tahun
·         Daerah : Leuwigajah, Cimindi, Utama, Cibaligo, MASnya : 45,26 81,00 m bmt, dengan penurunan : 2,47 – 9,48 m/tahun.
·         Daerah : Cijerah, Cibuntu, Garuda, Maleber, Arjuna, Husen dan Pasirkaliki, MASnya : 36,73 54,17 m.bmt dengan penurunan : 1,18 –5,72 m/tahun.
·         Daerah : Buahbatu, Kiaracondong, Kebonwaru, MASnya : 15,24 – 37,13 m.bmt dengan penurunan : 1,03 2,19 m/tahun. AWLR di kantor Dipenda Jl. Soekarno Hatta menunjukkan penurunan 1,85 m/tahun.
·         Daerah : Moh.Toha, Dayeuhkolot, MASnya : 21,89 –73,63 m/tahun, dengan penurunan : 2,71–11,50 m/tahun. AWLR di Jl. Moh. Toha menunjukkan penurunan 2,71 m/tahun.
·         Daerah : Cicaheum, Ujungberung, Gedebage, Cipadung dan Cibiru MASnya 16,38-59,50 m.bmt, dengan penurunan 0,23 – 2,72 m/tahun. AWLR di PT Grandtex dan PT BTN masing-masing menunjukkan penuruna 0,72 dan 0,23 m/tahun.
·         Daerah : Cikeruh, Rancaekek, Cimanggung, Cikancung MASnya 7,25-33,41 m.bmt, dengan penurunan : 0,47 6,00 m/tahun. AWLR di PT Kewalram dan Bojongsalam masing-masing menunjukkan penurunan 4,60 m dan 0,61 m/tahun.


·         Daerah : Majalaya, MASnya 27,80-32,30 m.bmt, dengan penurunan : 0,58 – 1,50 m/tahun
·         Daerah : Ciparay, Banjaran, Pameungpeuk, MASnya : 10,25 –19,18 m.bmt, penurunan mencapai 2,61 m/tahun.
·         Daerah : Katapang, soreang, MASnya : 2,66 31,50m.bmt, penurunan : 0,34 – 1,95 m/tahun. AWLR di lokasi Bojongkunci dan Cipadung masing-masing menunjukkan penurunan 0,34 dan 0,43 m/tahun.
·         Daerah dengan kedudukan MAS paling dalam didaerah tersebut diatas, pada periode Agustus 1994 membentuk kerucut penurunan (cone of depression) muka airtanah utama di daerah Cimahi Selatan, Kiaracondong, Dayeuhkolot dan Majalaya.

    Cekungan  Semarang

Perubahan kedudukan muka airtanah di cekungan Semarang periode 1993- 1994 diuraikan berikut ioni :
·         Daerah Semarang Utara meliputi Pusat Kota, pemukiman Tanah Mas dan daerah industri Kaligawe, MASnya antara 14,19 – 28,91m. bmt, dengan penurunan antara 0,6-1,9 m/tahun.
·         Daerah Semarang Selatan meliputi daerah Candi, Banyumanik MASnya antara 20,24 - 48,24 m.bmt dengan penurunan antara 0,37- 0,70 m/tahun.
·         Daerah Kendal meliputi Kec. Kaliwungu, kota Kendal MAS nya antara +1,0 hingga 21,16 m.bmt dengan penurunan antara 0,20 0,55 m/tahun.
·         Daerah Demak meliputi Kota demak dan Mranggen MASnya antara +0,50 hingga 25,40 m.bmt dengan penurunan antara 0,15 –0,45 m/tahun.

Cekungan Pasuruan Mojokerto

Perbandingan hasil pengamatan muka airtanah di cekungan ini selama 1992 hingga 1993 secara umum menunjukkan terjadinya perubahan, yaitu :
·         MAS di daerah Mojokerto, yakni di Mojosari turun 2 m/tahun, di Mananggul naik 0,3 m/tahun, di Ngoro naik 0,3 m/tahun dan di Sidorejo turun 0,1 m/tahun.
·         Untuk daerah Pasuruan : di Bangil naik 0,3 m/tahun, di Gempol turun 1 m/tahun dan di Pandaan naik 0m1 m/tahun.

2.  Intrusi Air Laut
Apabila keseimbangan hidrostatik antara airtanah tawar dan airtanah asin di daerah pantai terganggu, maka akan terjadi pergerakan airtanah asin/air laut ke arah darat dan terjadilah intrusi air laut.
Terminologi intrusi pada hakekatnya digunakan hanya setelah ada aksi, yaitu pengambilan airtanah yang mengganggu keseimbangan hidrostatik. Adanya intrusi air laut ini merupakan permasalahan pada pemanfaatan airtanah di daerah pantai, karena berakibat langsung pada mutu airtanah.
Airtanah yang sebelumnya layak digunakan untuk air minum, karena adanya intrusi air laut, maka terjadi degradasi mutu, sehingga tidak layak lagi digunakan untuk air minum.
Intrusi air laut teramati didaerah pantai Jakarta, Semarang, Denpasar, Medan dan daerah-daerah pantai lainnya yang pemanfaatan airnya telah demikian intensif.
   
 Cekungan Jakarta
Batas sebaran zona airtanah payau/asin pada setiap sistem akuifer (Juni- Agustus 1993) berikut perubahannnya selama 2 tahun terakhir, yakni antara periode 1991 –1993 adalah sebagai berikut :
·         Zona Airtanah Payau/Asin pada Sistem Akuifer tidak tertekan (< 40 m)
Batas antara airtanah payau/asin dengan airtanah tawar pada sistem akuifer ini kurang lebih melewati daerah Pakuaji – Salembaran – Cengkareng – Grogol – Pulogadung Tambun Rawarengas selatan Babelan. Sebaran zone ini secara umum relatif meluas ke arah timur.

Pada periode Juni-Agustus 1993, jarak batas zona airtanah payau/asin dengan airtanah tawar di beberapa lokasi adalah :
·         Daerah Cengkareng Pedongkelan Grogol Gambir antara 5,0 6,0 km
·         Daerah Pulogadung Cakung Tambun Rawarengas antara 8,0 11,5 km


Dibandingkan dengan periode sebelumnya (1991-1993), sebaran zone ini mempunyai pola yang relatif sama, namun di beberapa tempat menunjukkan pergeseran sebagai berikut :
·         Di daerah Pulogadung, Cakung dan Tambun Rawarengas batas zona pada periode 1993 bergeser ke arah darat antara 0,5 1,5 km, dengan pergeseran terbesar terjadi di Pulogadung.
·         Di sekitar Babelan, pergeseran ke arah darat mencapai sekitar 3,0 km.
·         Di tempat lain, khususnya di bagian barat daerah pantai, batas zona relatif tidak berubah dibandingkan pada periode 1992.

·         Zona Airtanah Payau/Asin pada Sistem Akuifer tertekan atas (40 -140 m)
Batas zona airtanah payau/asin dengan airtanah tawar melewati daerah : selatan Pekayon- selatan Bandara Soekarno Hatta- selatan Cengkareng Pedongkelan – Gambir – Kelapagading- Bojongkaratan. Jarak garis batas ini, dari garis pantai, adalah :
·         Daerah antara Pekayon Bandara Soekarno Hatta antara 5,0 13 km
·         Cengkareng Pedongkelan - Grogol- Kelapagading antara 8,0 10 km
·         Di bagian timur di sekitar Bojongkaratan antara 3,0 6,0 km.

Selama dua tahun terakhir, yakni antara 1991 hingga 1993 garis batas ini menunjukkan pergeseran ke arah darat. Dibandingkan dengan hasil survei pada Juni-Agustus 1993, pergeseran yang mencolok terjadi dibagian barat dataran pantai, yaitu antara daerah Pekayon sampai Cengkareng (Bandara Soekarno Hatta). Namun hal ini disebabkan perluasan daerah studi pada periode 1993 dan penambahan perolehan data. Adapun pergeseran batas zona yang disebabkan oleh perubahan salinitas airtanah adalah :
·         Daerah antara Cengkareng Pedongkelan dan grogol terjadi pergeseran ke arah darat antara 0,25 1,5 km.
·         Daerah antara Kelapagading Bojongkaratan bergeser 0,75 6,0 km ke arah darat


·         Zona Airtanah Payau/Asin pada Sistem Akuifer tertekan bawah (>140 m) Sebaran zona ini hanya terbatas di dataran pantai antara Kapuk, Jakarta Kota, dan Cilincing. Sebaran di bagian barat, yakni antara Kapuk dan Jakarta Kota relatif lebih luas dibandingkan di bagian timur. Jarak batas zona airtanah payau/asin dengan airtanah tawar, didaerah Kapuk Jakarta Kota mencapai 5,75 km, sementara didaerah Walang- Cilincing sekitar 2,5 km.

Pergeseran batas zona airtanah payau/asin ke arah darat di dataran antara Kapuk dan Jakarta Kota, pada periode antara 1991-1993 mencapai sekitar 0,50 km. Namun antara periode 1992-1993, sebarannya cukup meluas mulai dari Tamansari sampai daerah Cilincing.
  

2.2 Cekungan Semarang

Daerah Semarang bagian utara penyusupan air asin semakin meningkat sejak beberapa tahun terakhir, terutama pada daerah pemukiman pusat perkotaan, dan di beberpa wilayah industri di bagian utara, miksalnya daerah sekitar Muara Kali Garang, Tanah Mas, Pengapon, Simpang Lima. Data penyusupan air asin tersebut diatas adalah berdasarkan hasil pemantauan dari beberapa sumur gali penduduk yang tersebar, maupun dari kualitas sumur bor di beberapa tempat. Didaerah Semarang penyusupan air asin ini diperkirakan sudah mencapai sejauh 2 km ke arah selatan garis pantai.
Daerah Kendal penyusupan air asin, dideteksi di utara Kaliwungu, Murorejo, Kumpulrejo sampai sekitar Sukolilan. Sumurbor yang dikelola oleh PDAM Kendal yakni di Kamp. Pegandon airtanahnya sudah dipengaruhi oleh penyusupan air asin, yang diperkirakan berasal dari aliran air sungai K. Bodri, akibat kurang sempurnanya sistem konstruksi sumurbor. Nilai (DHL) air sumurbor tersebut melebihi 2000 umhos/cm, dengan jarak lokasi sumurbor dari garis pantai kurang lebih 5 km.

3.  Amblesan Tanah

Permasalahan amblesan tanah (land subsidence) dapat akibat pengambilan airtanah yang berlebihan dari lapisan akuifer yang tertekan (confined aquifers). Akibat pengambilan yang berlebihan (over pumpage), maka airtanah yang tersimpan dalam


pori-pori lapisan penutup akuifer (confined layer) akan terperas keluar dan mengakibatkan penyusutan lapisan penutup tersebut. Refleksinya adalah penurunan permukaan tanah.
Penurunan tanah tercatat di Jakarta berdasarkan pengamatan tahun 1972 s/d 1991, total penurunan yang terdalam mencapai 99,7 cm di daerah Rawa Buaya, dengan kecepatan penurunan tertinggi tercatat 34 cm/tahun di Penjaringan, Jakarta Utara.
Amblesan tanah terjadi juga didaerah pantai utara Semarang dengan indikasi telah mulai tampak antara lain :
·         Fondasi sumurbor pantau di kompleks Sekolah STM Perkapalan dekat Muara kali Garang, Tambak Ikan seolah-olah terangkat kurang lebih 20 cm (Juli1994), namun pada kenyataan permukaan tanah di sekitarnya yang mengalami penurunan.
·         Terjadinya retakan-retakan pada lantai bangunan Sekolah Pelayaran Singosari, hampir pada semua bangunan di kompleks tersebut.
·         Terjadinya genangan air laut di daerah pantai, dan banjir di bagian Muara Kali Karang yang sebelumnya belum pernah terjadi.

Amblesan tanah tidak dapat dilihat seketika, tetapi teramati dalam kurun waktu yang lama dan berakibat pada daerah yang luas. Meskipun penyebab penurunan tersebut masih memerlukan penelitian dan pemantaun rinci, namun bila mengacu fenomena serupa beberapa kota dunia seperti Bangkok, Venesia, Tokyo maupun Meksiko dapat diyakini, bahwa penurunan tersebut adalah bukti amblesan tanah yang disebabkan oleh pengambilan airtanah yang   berlebihan.

Upaya Pengendalian dari Aspek Teknis

Mengingat sebaran airtanah tidak dibatasi oleh batas-batas administratif suatu daerah, maka pengelolaan airtanah berdasarkan aspek teknis seharusnya mengacu pada suatu cekungan airtanah, yakni suatu wilayah yang ditentukan oleh  batasan-


batasan hidrogeologi, di mana semua event hidrolika (pengisian, pengambilan dan pengaliran airtanah) berlangsung.
Batasan-batasan teknis hidrogeologi ini menyangkut geometri dan parameter akuifer, jumlah dan mutu airtanah, pengaliran dan keterdapatan airtanah. Batasan- batasan tersebut menentukan berapa jumlah airtanah yang dapat dimanfaatkan dan bagaimana upaya konservasi airtanah harus  dilakukan.
Beberapa tindakan upaya pengendalian dampak negatif akibat pemompaan airtanah secara berlebihan, antara lain :

1.  Penentuan Lokasi Pemompaan.
Mengingat keterdapatan lapisan pembawa airtanah tidak merata, maka penentuan lokasi pengambilan airtanah sangat menentukan, agar sumberdaya airtanah dapat dimanfaatkan seoptimal  mungkin.
Disamping itu, pengaruh pengambilan airtanah melalui sumur-sumur yang berdekatan akan mengakibatkan penurunan muka airtanah yang lebih dalam, maka penentuan lokasi dan jarak antar sumur, akan dapat mencegah pengaruh di atas.

2. Pengaturan  Kedalaman Penyadapan
Suatu daerah sering mempunyai akuifer berlapis banyak (multi layer aquifer). Kondisi yang demikian sangat memungkinkan untuk dilakukan pengaturan kedalaman penyadapan pada lapisan akuifer tertentu.
Dengan pengaturan kedalaman penyadapan akan dapat dihindari terjadinya eksploitasi airtanah yang terkonsentrasi hanya pada satu lapisan akuifer tertentu, yang dampaknya tentu berbeda dengan penyadapan yang dilakukan pada beberapa lapisan akuifer.
Peruntukan airtanah untuk berbagai keperluan, diatur dengan mengambil airtanah dari berbagai kedalaman yang berbeda. Namun pada dasarnya pengaturan kedalaman penyadapan airtanah tetap mengacu pada prioritas peruntukan airtanah, di mana air minum merupakan prioritas utama di atas segala-galanya.

3. Pembatasan Debit Pemompaan
Pembatasan besarnya airtanah yang disadap ini, bertujuan agar penurunan muka airtanah dapat dibatasi pada kedudukan yang aman. Pengertian   aman


mempunyai arti dapat mencegah terjadinya intrusi air laut pada pengambilan airtanah di daerah pantai, maupun kemungkinan terjadinya amblesan, serta untuk menyesuaikan dengan cadangan airtanah yang tersedia. Namun konsekuensi dari pembatasan ini adalah, harus dapat disediakan sumber-sumber pasokan air yang lain, misalnya dari air permukaan.
Kondisi hidrogeologi suatu daerah sangat menentukan besar cadangan dan kualitas airtanah, sehingga berapa batas yang aman jumlah debit pengambilan airtanah, sangat berbeda dari suatu daerah ke daerah yang lain. Tetapi secara kualitatif dapat ditentukan, bahwa jumlah pengambilan airtanah hendaknya tidak melebihi jumlah imbuhan airtanah.

4. Penambahan  Imbuhan
Berdasarkan pada daur hidrologi, sumber utama airtanah adalah berasal dari air hujan. Indonesia yang beriklim tropis basah, umumnya mempunyai curah hujan yang relatif tinggi, lebih dari 1000 mm/tahun, dengan hari hujan yang relatif panjang. Kondisi ini sangat menguntungkan dalam imbuhan airtanah secara alami, di mana pada saat musim hujan terjadi pengisian dan penggantian dari defisit airtanah yang terjadi pada musim kemarau. Dengan demikian akuifer akan mendapat penambahan cadangan airtanah.
Permasalahannya adalah di daerah-daerah yang telah berkembang, terutama di kota-kota besar, peristiwa pengisian kembali airtanah pada musim hujan terhambat karena adanya perubahan lingkungan. Daerah-daerah yang sebetulnya merupakan daerah imbuh airtanah telah berubah fungsi, sehingga hanya sebagian kecil air hujan yang meresap dan mengimbuh airtanah. Pada daerah yang demikian, perlu upaya penampungan air hujan untuk dimasukkan ke dalam sumur-sumur resapan.

5. Penentuan Kawasan Lindung
Kawasan lindung airtanah mengarah kepada penataan ruang suatu daerah dengan maksud untuk melindungi jumlah dan mutu sumberdaya airtanah. Oleh sebab itu, untuk menentukan kawasan lindung airtanah, disamping kondisi hidrogeologi, maka penggunaan lahan dan keberadaan infrastruktur harus   dipertimbangkan.


Penentuan kawasan lindung ini merupakan suatu hal yang tidak mudah untuk dilaksanakan, karena sering terjadi pertentangan kepentingan. Misalnya, di daerah imbuh airtanah, sering terjadi tuntutan pembangunan sebagai daerah pemukiman, industri, buangan sampah, dan penggunaan lahan yang lain yang berdampak negatif terhadap jumlah maupun mutu airtanah. Oleh sebab itu banyak kendala untuk memberlakukan secara efisien upaya perlindungan airtanah. Meskipun demikian usaha-usaha perlindungan airtanah dapat ditetapkan dari sudut pandang hidrogeologi dan geologi  lingkungan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar