Posted by Samsul Ramli | Jul 11, 2017 | Pengadaan Barang/Jasa | 0 |
Pokja
dan PPK seringkali disibukkan oleh status penyedia terkait daftar hitam. Untuk
itu ketentuan daftar hitam ini harus secara tegas tertuang dalam dokumen
pengadaan barang/jasa. Daftar hitam adalah salah satu unsur yang dijadikan
dasar dalam rangkaian proses pemilihan penyedia, penandatanganan kontrak hingga
pelaksanaan pekerjaan. Sebagaimana tertuang dalam Perpres 54/2010 Pasal 19 ayat
1 huruf n bahwa Penyedia Barang/Jasa dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
wajib memenuhi persyaratan tidak masuk dalam Daftar Hitam.
Kriteria
Daftar Hitam
Dari sisi kriteria Daftar Hitam diatur
dalam pasal 124 :
- K/L/D/I membuat Daftar Hitam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (2) huruf b, yang memuat identitas Penyedia Barang/Jasa yang dikenakan sanksi oleh K/L/D/I.
- Daftar Hitam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat:
- Penyedia Barang/Jasa yang dilarang mengikuti Pengadaan Barang/Jasa pada K/L/D/I yang bersangkutan;
- Penyedia Barang/Jasa yang dikenakan sanksi oleh Negara/ Lembaga Pemberi Pinjaman/Hibah pada kegiatan yang termasuk dalam ruang lingkup Peraturan Presiden ini.
- K/L/D/I menyerahkan Daftar Hitam kepada LKPP untuk dimasukkan dalam Daftar Hitam Nasional.
- Daftar Hitam Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dimutakhirkan setiap saat dan dimuat dalam Portal Pengadaan Nasional.
Dari
definisi pasal 124 setidaknya ada 2 nomenklatur yang patut diperhatikan tentang
Daftar Hitam. Daftar Hitam ternyata mengikat pada dua nomeklatur yaitu:
1.
Daftar
Hitam; dan
2.
Daftar
Hitam Nasional
Untuk
itu sesuai amanat pasal 134 definisi rinci bisa dilihat pada teknis
operasional tentang Daftar Hitam Peraturan Kepala LKPP-RI Nomor 18 Tahun
2014 tentang Daftar Hitam Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Perka 18/2014
pasal 1 angka 6 dan 7 mendefinisikan sebagai berikut :
6. Daftar Hitam
adalah daftar yang
dibuat oleh K/L/D/I yang memuat identitas Penyedia Barang/Jasa yang dikenakan sanksi
oleh PA/KPA berupa larangan mengikuti Pengadaan Barang/Jasa pada K/L/D/I dan/atau yang dikenakan sanksi oleh Negara/Lembaga Pemberi Pinjaman/Hibah pada kegiatan yang termasuk dalam ruang lingkup Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
dibuat oleh K/L/D/I yang memuat identitas Penyedia Barang/Jasa yang dikenakan sanksi
oleh PA/KPA berupa larangan mengikuti Pengadaan Barang/Jasa pada K/L/D/I dan/atau yang dikenakan sanksi oleh Negara/Lembaga Pemberi Pinjaman/Hibah pada kegiatan yang termasuk dalam ruang lingkup Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
7. Daftar Hitam
Nasional adalah kumpulan Daftar Hitam yang dimuat dalam Portal
Pengadaan Nasional.
Jika
dicermati angka 6, kriteria Daftar Hitam harus memenuhi beberapa persyaratan
yaitu:
- Daftar
- Daftar dibuat K/L/D/I
- Daftar Berisi Identitas Penyedia yang kena sanksi
- Sanksi berasal dari K/L/D/I
- Sanksi bisa juga berasal dari Negara/Lembaga Pemberi Pinjaman/Hibah
- Obyek pelanggaran terhadap pelaksanaan kegiatan yang termasuk dalam ruang Lingkup Perpres Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
- Bentuk Larangan adalah dilarang mengikuti Pengadaan pada K/L/D/I.
Sedangkan
angka 7 hanya menambahkan ketentuan bahwa jika daftar hitam sesuai kriteria
angka 6 telah dimasukkan dalam Portal pengadaan Nasional maka sebutannya
adalah Daftar Hitam Nasional.
Pilih
Daftar Hitam dan Daftar Hitam Nasional
Menukik
pada perdebatan yang sering muncul. Yaitu perdebatan tentang apakah yang
dikenakan sanksi larangan mengikuti pengadaan pada K/L/D/I hanya
penyedia yang masuk dalam Daftar Hitam Nasional/yang ada dalam Portal
Pengadaan Nasional?
Perdebatan
ini bisa dimaklumi terkait dengan kepastian status sanksi ke penyedia. Jika
dari satu sumber tentu mengurangi potensi sengketa. Disisi lain pokja dan PPK
tidak disibukkan dengan klarifikasi terhadap sanksi-sanksi yang tidak di
publikasikan pada portal pengadaan nasional.
Terlepas
dari itu, hal yang wajib dipahami dalam pelaksanaan tetaplah mengikat pada
nomenklatur peraturan. Jika dibaca lagi Perpres 54/2010 pasal 19 ayat huruf n.
Nomenklatur yang dipakai adalah Daftar Hitam bukan Daftar Hitam
Nasional.
Dari
pasal 19 ini sebenarnya sudah sangat jelas jawaban pertanyaan di atas. Penyedia
yang dikenakan sanksi larangan mengikuti pengadaan pada K/L/D/I adalah
yang masuk dalam Daftar Hitam bukan hanya yang masuk dalam Daftar
Hitam Nasional. Artinya penyedia yang telah memenuhi 14 kriteria melakukan
“kejahatan”, sebagaimana Perka 18/2014 Pasal 3 ayat 2. Kemudian ditetapkan dan
diumumkan oleh K/L/D/I dalam Daftar K/L/D/I, meskipun belum diumumkan pada
Portal Pengadaan Nasional tetap memenuhi syarat untuk di larang mengikuti
pengadaan pada K/L/D/I.
Sayangnya
menurut cerita beberapa teman, baik penyedia, pokja maupun PPK, dalam beberapa
pertimbangan aturan justru mengarah pada pemenuhan Daftar Hitam Nasional.
Artinya larangan mengikuti pengadaan pada K/L/D/I hanya kepada penyedia
yang masuk dalam daftar hitam dan diumumkan melalui Portal Pengadaan
Nasional (Daftar Hitam Nasional).
Kondisi
ini justru membuat bingung para pihak yang ujungnya akan berdampak pada
efisiensi dan efektifitas pencapaian pengadaan barang/jasa. Untuk penting bagi
organisasi pengadaan barang/jasa bahkan K/L/D/I untuk menegaskan tentang Daftar
Hitam yang mana yang harus dijadikan acuan larangan.
Setidaknya
ada dua kondisi yang harus ditegaskan apakah sanksi larangan mengikuti
pengadaan pada K/L/D/I dikenakan kepada penyedia yang tercantum dalam
Daftar Hitam saja atau Daftar Hitam Nasional.
Putusan
ini kedua-duanya memiliki risiko manajerial dan hukum tersendiri, diantaranya :
- Misal
jika yang dipilih adalah Daftar Hitam Nasional. Artinya
penyedia Daftar Hitam, ketika terpilih menjadi penyedia pemenang dan pelaksana pekerjaan, maka perilaku “jahat” yang pernah dilakukan penyedia Daftar Hitam, berpotensi besar dilakukan kembali pada pekerjaan yang dimenangkan. Masih terdapat beberapa risiko yang sudah barang tentu tidak dapat dibahas singkat, terpenting para pihak bisa memitigasi dan mengendalikan risiko dengan baik. - Untuk
pilihan Daftar Hitam saja, risikonya
sudah tergambarkan di awal yaitu para pihak harus mencari referensi diberbagai sumber terkait penyedia yang di masukkan daftar hitam. Tidak hanya pada portal pengadaan nasional tapi juga waspada dengan informasi K/L/D/I lain. Termasuk juga memperhatikan informasi sanksi dari Negara/Lembaga Pemberi Pinjaman/Hibah yang melaksanakan kegiatan yang termasuk dalam ruang Lingkup Perpres. Artinya harus ada effort yang lebih besar untuk mengklarifikasi.
Apapun
langkah yang diputuskan sebaiknya dilindungi oleh peraturan yang mengikat,
dengan pertimbangan hukum yang cukup meyakinkan para pihak untuk menerima dan
melaksanakan. Jika pilihan tentang Daftar Hitam atau Daftar Hitam
Nasional berkekuatan hukum tetap maka dokumen pengadaan harus juga tertuang
jelas. Jika pilihan Daftar Hitam Nasional maka seluruh klausul daftar hitam
dalam dokumen pengadaan diarahkan pada Daftar Hitam Nasional. Jika tidak
maka tidak perlu dilakukan perubahan.
Kejelasan
tidak hanya tentang unsur dan kriteria tapi juga tata cara penerapan pada tahap
evaluasi, penandatangan kontrak, pelaksanaan pekerjaan hingga
pertanggungjawaban hasil pekerjaan.
Untuk
itu dapat disimpulkan bahwa :
1.
Daftar
Hitam terdiri dari 2 definisi yaitu Daftar Hitam atau Daftar Hitam
Nasional.
2.
Dalam
menetapkan tata cara yang diterapkan terkait Daftar Hitam harus didukung dengan
kebijakan yang berkekuatan hukum cukup melindungi para pihak.
Pilihan
kriteria dan tata cara terhadap daftar hitam harus tertuang jelas dalam dokumen
pengadaan.(redaksi:scs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar