Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 sebagaimana diubah
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah, metode pemilihan untuk pengadaan barang/pekerjaan
konstruksi/jasa lainnya pada dasanya dilakukan dengan pelelangan umum. Sejak
penerapan Peraturan Presiden tersebut, pemerintah telah secara massif melakukan
perbaikan tata kelola pengadaan dimulai dengan pengenalan dan pelaksanaan
pelelangan secara elektronik yang diharapkan dapat menjaga penerapan prinsip
pengadaan. Salah satu ukuran keberhasilan pengadaan diukur dari besarnya
penghematan yang dihasilkan melalui proses pelelangan.
Namun demikian harus diakui bahwa keberhasilan penerapan prinsip
pengadaan tidak bisa hanya diukur dari jumlah pelelangan elektronik dan
penghematan yang dilakukan. Harus disadari bahwa masih banyak pelelangan yang
dilakukan “ala kadar” nya, baik karena keterbatasan kemampuan sumber daya
manusia maupun karena upaya persekongkolan yang dibungkus dengan tertib
administrasi. Dalam buku BEGINI TENDER YANG BENAR, kondisi yang saya gambarkan
tersebut di atas adalah pelelangan yang hanya sekedar mematuhi syariat, tanpa
upaya untuk memahami dan menjaga hakikat tahapan-tahapan pelelangan. Hakikat
dari tahapan-tahapan perencanaan pengadaan dan pelelangan sekurangnya adalah
sebagai berikut:
1. Penyusunan Spesifikasi
Spesifikasi merupakan rumusan kebutuhan barang/jasa yang akan
diperoleh melalui kegiatan pengadaan. Spesifikasi harus bersifat terbuka dan
tidak mengarah pada produk tertentu sehingga bisa diikuti oleh sebanyak mungkin
penyedia barang/jasa. Rumusan spesifikasi, akan menjadi dasar kriteria teknis
dalam pelelangan. Karena keterbatasan kemampuan, seringkali spesifikasi
dirumuskan terlalu sederhana, sehingga tidak menggambarkan kriteria teknis yang
seharusnya. Karena kesalahan dalam perumusan spesifikasi, maka pelelangan bisa
menghasilkan barang/jasa yang tidak dapat memenuhi kebutuhan yang diharapkan
atau menghasilkan barang/jasa dengan kualitas yang rendah. Potensi kerugian
negara muncul apabila hasil pengadaan tidak dapat dimanfaatkan atau tidak
berfungsi sebagaimana mestinya.
Dalam kondisi yang lain, spesifikasi dirumuskan secara ketat,
sehingga hanya produk tertentu atau penyedia tertentu saja yang dapat mengikuti
pelelangan. Rumusan spesifikasi yang tidak bersifat terbuka akan membawa dampak
kurangnya persaingan sehingga pelelangan tidak bisa menghasilkan harga yang
terbaik dan berpotensi merugikan keuangan negara.
Kesalahan perumusan spesifikasi juga bisa terjadi apabila
spesifikasi dirumuskan tidak berdasarkan kebutuhan sebenarnya, namun dirumuskan
dengan pendekatan kepentingan tertentu atau penyerapan anggaran yang sudah
tersedia. Pelelangan bisa menghasilkan barang/jasa sesuai spesifikasi yang
ditentukan, namun hasil pengadaan tidak dimanfaatkan karena pada dasarnya
barang/jasa tersebut tidak dibutuhkan dalam pelaksanaan kegiatan sehingga
langsung maupun tidak langsung bisa merugikan keuangan negara.
2. Penetapan Harga Perkiraan Sendiri
Harga Perkiraan Seniri (HPS) mencerminkan harga pasar yang wajar
di lokasi kegiatan. Oleh karena itu, perhitungannya harus dilakukan secara
keahlian dan didukung oleh sumber data yang dapat dipertanggungjawabkan.
Perhitungan HPS terlalu rendah bersamaan dengan rumusan spesifikasi yang tidak
akurat akan mengakibatkan pelelangan gagal atau pelelangan yang menghasilkan
barang/jasa dengan kualitas rendah.
Sebaliknya, jika spesifikasi dirumuskan melebihi kebutuhan yang
seharusnya atau tidak berdasarkan kebutuhan yang sebenarnya, maka HPS yang
ditetapkan tidak mencerminkan harga pasar yang wajar, bahkan berpotensi
mengandung unsur-unsur harga yang tidak seharusnya. Pelelangan bisa berjalan
sebagaimana prosedur yang seharusnya, meskipun HPS mengandung unsur mark up.
Namun harus disadari bahwa pelelangan tersbut tidak akan menghasilkan harga
terbaik bagi negara.
[B]3. Penyusunan Dokumen Pengadaan[/B]
Dokumen Pengadaan yang baik tidak dapat disusun apabila ada
keterbatasan kemampuan Pokja ULP. Pokja ULP sering menggunakan Standar Dokumen
Pengadaan, yang masih mengandung pilihan-pilihan, menjadi Dokumen Pengadaan
yang digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan pelelangan.
Dari sisi peserta pelelangan, kesempurnaan Dokumen Pengadaan belum
menjadi perhatian yang utama. Peserta lebih memusatkan perhatian pada
spesifikasi dan HPS dan cenderung menetapkan strategi bersaing dengan
mengandalkan harga yang rendah. Kondisi lebih buruk terjadi apabila pelelangan
sudah mengabaikan prinsip bersaing, peserta pelelangan terbatas pada sekumpulan
peserta tertentu yang melakukan persekongkolan, maka kualitas Dokumen Pengadaan
tidak menjadi perhatian karena Dokumen Pengadaan hanya menjadi sekedar
pemenuhan persyaratan agar pelelangan bisa dilaksanakan.
Tantangan saat ini adalah, nelum ada indikator yang dapat
digunakan untuk menilai kualitas Dokumen Pengadaan dan belum ada [I]tools[/I]
yang bisa digunakan sebagai penjaminan mutu bahwa Dokumen Pengadaan sudah
disusun berdasarkan prinsip pengadaan.
4. Pengumuman
Kebijakan menggunakan hari kalender dalam pelelangan elektronik
dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi para pihak dan percepatan proses
pelelangan. Masa pengumuman, yang mengandung beberapa hari libur, tidak
melanggar petunjuk teknis. Namun alokasi waktu yang tidak wajar bisa
mengabikatkan tujuan pengumuman agar diketahui sebanyak mungkin calon peserta
bisa tidak tercapai.
5. Pemberian Penjelasan
Perubahan pola pemberian penjelasan dengan tatap muka langsung
menjadi pemberian penjelasan secara elektronik bisa mengakibatkan Pokja ULP
mengambil sikap pasif pada saat pemberian penjelasan. Yang menjadi lebih
mengkhawatirkan jika Pokja ULP memanfaatkan waktu penjelasan dengan menjawab
pertanyaan di akhir masa pemberian penjelasan. Agar tujuan pemberian penjelasan
untuk memberikan pengertian yang sama antara Poja ULP dan peserta pelelangan,
Pokja ULP bisa mengambil inisiftif membuat ringkasan pokok-pokok materi
pemberian penjelasan dan meyampaikan kepada peserta pada saat tahap pemberian
penjelasan.
6. Pemasukan Dokumen Penawaran
Jangka waktu pemasukan dokumen penawaran ditentukan oleh Pokja ULP
dengan memperhatikan jenis dan kompleksitas pekerjaan. Sebagaimana masa
pengumuman, masa pemasukan dokuman penawaran juga menghitung hari kalender.
Yang perlu dipertimbangkan adalah dalam penyiapan dokumen penawraan, peserta
bisa memerlukan keterlibatan pihak lain (misalnya : pabrikan dan asuransi) yang
bekerja pada hari kerja saja. Oleh karena itu, guna memberikan kesempatan
seluas-luasnya kepada peserta untuk mempersiapkan dokumen penawaran dan
pendukungnya, Pokja ULP perlu mengalokasikan hari kerja yang cukup.
7. Pembukaan Dokumen Penawaran
Fenomena dalam pelelangan elektronik adalah jumlah peserta yang
memasukkan dokumen penawaran jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah
pendaftar. Hal ini terjadi karena kemudahan proses pendaftaran secara
elektronik. Resiko terbesar sebuah proses pelelangan adalah adanya
persekongkolan, dan salah satu bentuk persekongkolan yang merugikan adalah
apabila ada sekelompok peserta yang melakukan persekongkolan dengan jumlah
pemasukan 3 peserta guna menghindari pelelangan gagal. Persekongkolan akan
mengakibatkan pelelangan tidak menghasilkan harga yang terbaik. Sebagai
gambarannya adalah : apabila pelelangan diikuti oleh 3 peserta yang melakukan
persekongkolan, maka harga yang ditawarkan menjadi harga kontrak. Sebaliknya
apabila pelelangan (dilanjutkan pelelangan ulang) diikuti oleh hanya 1 peserta,
Pokja memiliki kesempatan untuk melakukan negosiasi harga.
8. Evaluasi Administrasi
Evauasi administrasi bertujuan untuk memastikan bahwa penawaran
diajukan oleh pihak yang sah dan dilampiri dengan jaminan penawaran yang sah
(jika dipersyaratkan). Oleh karena itu, evaluasi administrasi tidak digunakan
sebagai sarana menggugurkan penawaran karena hal-hal yang bersifat tidak
substansial. Dengan menghindari hal-hal yang tidak substansial, maka Pokja ULP
telah mengarahkan persaingan sepenuhnya pada evaluasi administrasi dan harga.
9. Evaluasi Teknis
Resiko pada evaluasi teknis terkait dengan resiko penyusunan
spesifikasi. Tantangan Pokja ULP adalah untuk mengetahui kesesuaian penawaran
(yang menjadi dasar pelaksanaan pekerjaan) dibandingkan dengan kriteria yang
ditetapkan. Pokja ULP melakukan evaluasi terhadap dokumen yang diajukan semata
dan tidak memaksimalkan kewenangannya untuk melakukan klarifikasi teknis.
Evaluasi teknis harus bisa mendapatkan gambaran mengenai penguasaan peserta
terhadap lingkup pekerjaan yang ditawarkan.
Harus diakui bahwa evaluasi teknis ibarat pisau bermata dua, di
satu sisi sebagai “alat uji’ kemampuan peserta, di sisi lain sebagai “alat
bunuh” untuk peserta yang tidak diharapkan menjadi pemenang. Kriteria penilaian
teknis, terlebih jika menggunakan ambang batas, sering tidak transparan dan
terukur sehingga memberikan kewenangan subyektifitas kepada Pokja ULP.
Kriteria evaluasi teknis yang ideal, baik menggunakan sistem gugur
maupun sistem ambang batas, adalah kriteria yang bebas dari subyektifitas dan
bisa dipahami sama oleh Pokja ULP, peserta pemilihan, aparat pengawasan dan
pihak lain. Sehingga siapapun bisa berperan seolah-olah sebagai Pokja ULP dan
mengasilkan kesimpulan hasil evaluasi yang sama.
10. Evaluasi Harga
Resiko dalam evaluasi harga terkait dengan resiko dalam penyusunan
HPS. Resiko lain dalam evaluasi harga adalah apabila terdapat peserta yang
mengajukan penawaran dengan harga sangat rendah. Ada beberapa kemungkinan yang
menjadi penyebab harga sangat rendah, peserta memiliki sumber daya yang sangat
efisien, penyedia tidak memahami lingkup pekerjaan sehingga salah menentukan
harga penawaran, atau peserta dengan sengaja melakukan banting harga. Pokja ULP
memiliki kewenangan untuk melakukan klarifikasi harga, namun seringkali Pokja
ULP tidak memiliki tools untuk dapat mendeteksi alasan peserta mengajukan harga
yang sangat rendah.
Yang perlu menjadi kekhawatiran Pokja ULP adalah motif ekonomi
dari peserta pelelangan. Dengan motif ekonomi, berapapun uang yang diperoleh,
peserta (pada saat menjadi penyedia) akan mengamankan keuntungannya dan
membebankan kerugian pada negara apabila kualitas pelaksanaan kontrak rendah.
Belum dibangunnya sistem pengelolaan kinerja, masih memberikan peluang kepada
penyedia untuk lebih mengutamakan keuntungan jangka pendek dibandingkan menjaga
kinerja jangka panjang.
Dalam kondisi lain, Pokja ULP juga menghadapi resiko harus
menerima harga penawaran yang tinggi atau mendekati HPS karena jika pemasukan
penawaran sudah sah, Pokja ULP tidak memiliki kewenangan melakukan negosiasi
harga.
11. Sanggahan
Sanggahan masih dimaknai sekedar sarana membela diri Pokja ULP,
belum dimaknai sebagai bagian dari proses [I]de-briefing[/I] untuk meningkatkan
kapasitas peserta yang belum memenangkan pelelangan. Oleh karena itu, Pokja ULP
sering memberikan jawaban sanggahan ala kadar – nya dengan asumsi peserta akan
keberatan mengajukan sanggahan banding karena kewajiban jaminan sanggahan
banding. Agar kualitas hasil pelelangan meningkat dan sanggahan bisa dicegah,
Pokja ULP harus menjelaskan penyebab peserta gugur dengan transparan melalui
mekanisme pengumuman hasil pelelangan.
Dalam kondisi lain, tidak terjadi sanggahan dalam proses
pelelangan. Harapannya hal tersebut terjadi karena evaluasi sudah dilakukan
dengan transparan dan terukur, bukan karena hasil skenario persekongkolan.
Pemahaman hak sanggahan juga masih lemah diantara para peserta
pelelangan. Sanggahan yang disediakan untuk membela diri apabila merasa
dirugikan telah berubah menjadi sarana mempertanyakan kemenangan peserta lain.
Peserta yang tidak puas dengan jawaban sanggahan dan keberatan
dengan jaminan sanggahan banding, pada akhirnya memilih jalan lain di luar
prosedur pelelangan, yaitu pengaduan kepada penegak hukum dan pihak lain.
Pihak-pihak yang menerima pengaduan, dengan dasar kewenangan yang dimilikinya
menindaklanjuti pengaduan. Permasalahan menjadi semakin rumit dan mekanisme
yang diatur dalam pasal 117 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 sebagaimana
diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tidak berjalan
sebagaimana mestinya.
Perbaikan secara terus menerus terhadap prosedur pelelangan dan
aplikasinya harus dibarengi dengan peningkatan kualitas PPK, Pokja ULP dan
peserta pelelangan guna mewujudkan cita-cita pelelangan sebagai sarana
mendapatkan value for money yang berbaik.
Diposting oleh : Administrator
Tidak ada komentar:
Posting Komentar